Monday 28 February 2011

CATATAN BUDAYA NUSANTARA

Oleh
Jajang Suryana



Kita begitu yakin, berdasarkan buku-buku sumber sejarah yang diwariskan oleh Belanda, bahwa bangsa Indonesia adalah murni sebagai petani. Keyakinan tersebut didukung oleh kenyataan masa kini yang dilengkapi bukti bahwa keterkaitan dengan urusan kerja-tani tampak di mana-mana. Sedangkan, kerja-laut hanya tampak pada sebagian kecil masyarakat kita. Padahal, sejak awal, ketika Belanda dan bangsa lain yang kemudian menjajah masyarakat Indonesia mulai memasuki kawasan Nusantara, bangsa kita adalah pelaut-pelaut ulung yang aktif.

Periksalah kawasan Kerajaan Sriwijaya. Penguasa kerajaan “perairan” itu pernah berjaya mempersatukan kawasan Nusantara. Laut, ketika itu, bukan menjadi penghalang, pemisah. Laut adalah pemersatu pulau-pulau Nusantara. Bisa diperiksa juga hasil inderaja (penginderaan jarak jauh) situs Trowulan. Ternyata, air telah menjadi sarana jalan penghubung yang sangat vital pada masa jaya kerajaan tersebut. Dan, perahu adalah kendaraan kebanggaan, seperti sepeda motor dan mobil pada masa sekarang.

“Keyakinan” bahwa masyarakat Indonesia adalah petani murni, memberi dampak ketidakseimbangan perhatian kita terhadap lahan hidup yang menjadi kekayaan tak ternilai milik masyarakat Indonesia. Lahan darat seolah dibanggakan menjadi tempat paling utama yang “memberi hidup” bangsa kita. Memang alam daratan Indonesia sangat bisa meyakinkan siapa pun bahwa bangsa kita adalah petani ulung, pengolah tanah yang piawai. Tetapi kenyataannya, bangsa kita hanya petani gurem yang cenderung dijerat para tengkulak. Apalagi ketika pemberlakuan “penyeragaman” pola tanam dan jenis tanam berlangsung sangat politis. Para petani hanyalah menjadi objek penderita bagi keuntungan para pemodal, para orang kota. Cokelat ditanam di mana-mana, hasilnya karena terlalu banyak kemudian ditimbun. Oleh karena itu harganya menjadi murah. Begitu pun dengan nasib pohon cengkih, vanilli, jeruk, kelapa sawit, dan bahkan padi. Orang Papua, misalnya, diharuskan menanam padi. Para transmigran ahli mengolah sawah dikirim ke tanah Cenderawasih. Alasan penganekaragaman sumber hayati menjadi pegangan utama Pemerintah saat itu. Masyarakat yang terkena proyek transmigrasi bisa berganti pola makan, meniru pola makan para transmigran, atau dipaksa menyesuaikan diri dengan pola proyek. Yang dulu makan sagu, kini makan nasi. Masyarakat kota-kota besar, lebih khusus masyarakat ibu kota, tetap dalam pola lama. Kalaupun berubah, perubahannya mengacu pola Barat, pola yang kurang membumi. Pola “kesatuan” telah disistematisasikan menjadi pasungan bagi kebhinnekaan. Begitu menurut para ahli.

Peribahasa lama yang berbunyi “bebek berenang mau minum mencari air”, jika dikaitkan dengan keberadaan bangsa Indonesia menjadi sangat pas. Gambaran menyakitkan itu telah tampak pada para petani Indonesia yang piawai mengolah tanah tetapi tak bisa mendapatkan hasil yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Entah mengapa, beras harus didatangkan dari Jepang dan Thailand. Begitu pun hasil proyek sensasional IPTN kemudian hanya untuk ditukar kedelai. Yang paling menyakitkan bagi para petani, ketika mereka panen, ada saja oknum orang kaya, oknum pemerintah, yang merusak “kebahagiaan” para wong cilik itu, misalnya dengan mengimpor beras dari luar negeri. Masya Allah!

Soekarno pernah mengingatkan kondisi negara kita dengan istilah kawasan yang “hijau royo-royo”. Ya, negara yang tanahnya hijau royo-royo itu tidak memberi kesempatan hidup makmur kepada pemiliknya. Kecintaan terhadap tanah Pertiwi yang gemah ripah loh jinawi, juga tidak tampak. Begitu banyak para penikmat kehidupan instan yang sangat suka membabat hutan untuk kepentingan instan juga, untuk kepentingan sesaat, kepentingan diri sendiri dan kelompoknya yang sangat terbatas. Itulah, sejak dahulu kita belum betul-betul punya konsep pendidikan penghargaan yang mantap, yang bisa menumbuhkan rasa tanggung jawab kepemilikan terhadap bumi pertiwi. Yang banyak tumbuh justru rasa memiliki yang tidak bertanggung jawab, rasa memiliki yang terlalu bersifat pribadi.     

Lalu, kesadaran baru pernah dimunculkan. “Kita memiliki hamparan laut yang sangat luas. Di dalamnya terkandung aneka jenis ikan yang bisa membikin masyarakat Indonesia tidak akan kelaparan. “Laut itu harus diolah. Jangan sampai dijarah bangsa lain”, demikian antara lain pernyataan para ahli. Tetapi kenyatannya, sudah sekian lama laut kita menjadi ladang subur bagi para pencari ikan bangsa lain. Entah “legal” entah mencuri. Para nelayan negeri tetangga kerap rajin mengeruk kekayaan laut Indonesia. Sedangkan para nelayan asli bangsa kita, yang peralatan kelautannya masih sangat sederhana, karena tidak pernah mendapat perhatian sungguh-sungguh dari Pemerintah, keberadaannya tetap dalam kondisi miskin. Sekali waktu panen ikan, ikan-ikan tak bisa diolah. Sungguh sangat menyakitkan.

Konon, daerah perairan samudera sekitar Nusa Kambangan adalah lahan berkeliarannya para ikan tuna kelas terbaik. Lahan itu, tentu saja sangat menjanjikan bagi para nelayan kita. Tetapi, nelayan asing juga yang kemudian menikmatinya. Nelayan kita tetap kalah terampil, karena ketidakmampuan peralatan. Yang aneh, mengapa nelayan asing bisa mengeruk kekayaan laut kita.”Pengamanan laut kita belum optimal”, kata para ahli. Angkatan laut kita belum mampu mengamankan kawasan laut yang demikian luas bentangannya. Lalu, sampai di situ saja solusi jawabannya? Mengapa tidak diamankan saja lebih ketat (sementara) bagian bentangan samudera yang telah diketahui isi dan  kandungannya? Mengamankan yang sedikit, tetapi telah jelas isinya, lebih arif ketimbang menunggu memiliki kemampuan mengamanakan seluruh wilayah Nusantara yang begitu luas itu.

Sudah sejak masa Nusantara Lama laut dianggap sebagai pemersatu, bukan pemisah nusa-antara, pulau-pulau kepulauan Indonesia kini. Lautan adalah bagian integral dari bumi Nusantara. Seorang raja Jawa gampang saja lari ke Sumatera atau Kalimantan untuk menjadi raja di tempat pelariannya. Atau sebaliknya. Kedekatan penghuni pulau-pulau Nusantara, dulu, sangat erat. Bahkan, mereka sekerabat. Ya, laut telah begitu akrab dengan mereka. Kini, setelah laut hampir banyak dilupakan, kekerabatan itu hampir-hampir terputus.

Catatan sejarah bangsa Indonesia memang tak lurus. Berita yang dikandung buku-buku informasi kesejarahan tak jernih. Bahkan ada sejenis missing link. Generasi masa kini menjadi bingung menelusuri daerah missing tersebut. Bisa diperiksa, catatan sejarah tentang kerajaan masa lalu hanya menceritakan raja Anu berkuasa dari tahun sekian hingga tahun sekian. Raja Anu yang lain wafat tahun sekian, diganti oleh raja Anu keturuanannya. Peninggalan kerajaan Anu adalah bangunan megah, patung-patung, atau benda-benda yang kelihatan saja. Sementara cerita tentang kepiawaian masyarakatnya, kekayaan negaranya, kemajuan ekonominya, ketangkasan pikir masyarakatnya, tidak pernah diceritakan dalam buku-buku sejarah tersebut. Kita telah kehilangan catatan penting tentang masyarakat Indonesia masa lalu. Akanklah catatan tak lengkap itu diwariskan lagi kepada generasi setelah kita?

8 comments:

  1. I putu Githa Herdia Wiradana (0812031021)
    Banyak hal yang dapat saya ketahui dan menambah pengetahuan saya tentang kesenirupaan selelah membaca posting bapak. Menurut pendapat saya, kedepannya warisan yang kita berikan kepada generasi muda selanjutnya haruslah tercatat dengan lengkap, hal ini sangatlah penting sebab akan mempengaruhi pengetahuan mereka selanjutnya. Bila pengetahuan mereka lengkap, maka niscaya dapat membangun negara ini secara utuh.

    ReplyDelete
  2. saya stuju dg bpak.. bhwa laut bkanlah pemisah.. ttp pemersatu kt,,, knp?? karena dg laut kt bisa menemukan budaya nusantara... kita jg harus menjga kelestarian laut kita,, bagi kita generasi muda marilah jaga klestarian laut,, krn laut mncerminkan nusantara kita.

    ReplyDelete
  3. IPUTU SUHARTAWAN 1012031030
    B SMSTR 2
    maaf pak anonim saya d atas lupa mngisi nama...
    saya stuju dg bpk...bahwa laut bukanlah pemisah..ttp pemersatu kita,knp? krn dg laut kt bisa menemukan budaya nusantara..kita jg harus mnjgga kelestarian laut kita,,bagi kita generasi muda marilah jga kelestrian laut.., karn laut mncerminkan budaya nusantara kita.

    ReplyDelete
  4. bagus pak..saya setuju dengan pendapat bapak..smoga artikel yang bapak buat bisa bermanfaat bagi kita semua
    Nama;putu yuniartha
    nim :1012031032
    kelas : 2b

    ReplyDelete
  5. bagus pak ...saya sangat salut dengan kata2 bapak...

    NAma : koi sanda
    nim: 1012031024
    kls ;2 b

    ReplyDelete
  6. NAMA: A.A. GEDE RAI SEDANA
    NIM: 1012031001
    KELAS: A

    semoga seni rupa di indonesia semakin diperhatikan oleh pemerintah

    ReplyDelete
  7. , kurangnya perhatian pemerintah terhadap masyarakat kecil,dari semua bidang


    PANDE RIYA ANORAGA
    0712031011
    A

    ReplyDelete
  8. keren.......andai saja benar-benar waktu itu diketahui lebih dalam tentang kepandaian dan cara berpikir masyarakat dulu sampai ada sekarang ini tentu yang baca sejarah tentang indonesia tidak bosen karna hanya menyebutkan tahun-tahun tanpa diceritakan makna yang dilakukan dari setiap peristiwa sejarah......sejarah jadinya bukan sebagai pembelajaran unntuk masa depan tetapi suatu masalah yang penuh misteri yang belum bisa dipecahkaan....hehehhe...artikel yang menarik..

    ReplyDelete