Friday 21 May 2010

Tema-tema Lukisan

Sebuah hasil pengamatan yang lumayan lengkap tentang tema lukisan Indonesia masa kini, dipaparkan dalam Modern Indonesian Art yang disunting oleh Joseph Fischer (1990). Dikemukakan, tema lukisan seniman Indonesia banyak menunjukkan penggunaan kembali nilai-nilai tradisi. Fischer meninjau tampilan luar lukisan-lukisan yang terkumpul untuk Pameran KIAS (1990-1991), yaitu lukisan-lukisan yang “mewakili” angka tahun 1945-1990.

Yang ditunjuk oleh Fischer sebagai nilai tradisi adalah adanya tema-tema lukisan yang menggambarkan perahu kematian, tarian, peristiwa suci, perayaan di sekitar candi-candi, kaligrafi, badan dan wajah manusia tiruan topeng atau wayang, dan terutama pohon hayat atau gunungan. Tanpa mempermasalahkan kekentalan ikatan para pelukis dengan nilai tradisi, kita bisa menemukan adanya tanda keterikatan para seniman dengan nilai tradisi miliknya, paling tidak yang pernah dikenalnya.

Hasil pengamatan Fischer, memang, belum bisa dijadikan sumber simpulan yang meyakinkan. Apakah ketertarikan para pelukis Indonesia itu menggambarkan kekentalan ikatan pikir-rasa-pengalaman seniman dengan nilai tradisi, atau hanya sekedar comotan simbol-simbol tradisi untuk kebutuhan mengusung nilai estetis semata?

Lukisan-lukisan yang dipajang pada pameran tertentu, atau yang digantung di galeri dan artshop, banyak yang bertema sama, hampir seragam. Contoh nyata, lukisan bertema penari, penari Bali khususnya, bisa kita temukan berserakan dalam kanvas-kanvas para pelukis Indonesia. Ketika mereka melukis, boleh jadi banyak di antara mereka ada yang sama sekali tidak pernah melihat penari Bali yang sebenarnya. Mungkin ada yang mengambil contohan dari foto, sejenis kartu pos. Mungkin pula dari majalah. Atau, bahkan sangat mungkin dari lukisan orang lain. Dan, ada juga yang menghayalkan objek, kemudian menjadi lukisan yang objeknya jauh dari ketepatan penggambaran.

Sementara orang berpendapat bahwa “melukis tidak sama dengan membuat foto; melukis adalah menggambar dengan memasukkan unsur emosi”. Tetapi, sekalipun emosi mendominasi lukisan, kalau lukisan tersebut masih dibebani judul atau tema tertentu yang “nyata”, penanda objek yang menjadi judul atau tema mestinya mendekati ciri-ciri sebenarnya. Paling tidak, ciri utama, esensi objek, bisa ditampilkan oleh pelukisnya.

Tema tertentu seringkali menjadi trend. Memeriksa lukisan-lukisan masa lalu, lukisan yang pernah dibuat oleh para pelukis Barat yang tersohor pada masanya, akan ditemukan juga bukti tentang hal itu. Para pelukis seperti Leonardo da Vinci, Picasso, Braque, dan Vincent van Gogh misalnya, pada suatu periode tertentu melukis dengan memilih tema yang menjadi perhatian banyak pelukis. Bukan hanya tema lukisan saja yang kemudian menjadi trend tiruan, tetapi objek lukis pun demikian. Ketika tema still life digandrungi misalnya, bentuk biola dan bejana kaca menjadi objek lukisan yang paling disukai pada zaman mereka. Dan, Van Gogh, Braque, Frans Leger, Amėėde Ozenfan, melukis hal yang sama tersebut.

Banyak pelukis masa kini yang juga mengolah tema tertentu saja. Alasan mengusung nilai kepribadian yang begitu gigih diperjuangkan oleh para pelukis seangkatan Affandi, boleh jadi, kini mulai ditinggalkan oleh para pelukis muda. Banyak pelukis muda yang lebih senang bergerak dalam komunitas dibanding dalam individu. Entah meniru, entah turut-turutan, entah karena tema tertentu menjadi tema yang laku dijual, sebagai berita sensasi atau sebagai komoditi, begitu banyak pelukis muda yang mengolah tema tertentu yang sedang in.

Gaya “naif”, kalau disa dibilang begitu, atau gaya “kungfu painting” (meminjam istilah Hardiman), begitu marak dalam kanvas-kanvas masa kini. Banyak pelukis mengolah bentuk dan citra kekanak-kanakan –boleh jadi karena pengaruh menangnya lukisan-lukisan bergaya sama pada lomba yang  diselenggarakan Yayasan Philip Morris belakangan ini. Banyak juga pelukis yang seperti “mengamuk” memenuhi kanvas dengan sabetan-sabetan (meminjam istilah pedalangan) kuas besar untuk menghasilkan gaya abstrak. Kemudian, untuk menunjukkan bahwa gaya tersebut berciri daerah, tidak sama dengan gaya para pendahulu gaya abstrak, dinamailah abstrak filosofis. Memang, beberapa unsur tradisi masuk ke dalam bidang kanvas. Seperti hasil pengamatan Fischer, Atau, banyak juga pelukis yang beralih mengolah gambar dengan gaya vignette, sebagai kegiatan drawing.