Saturday 19 September 2009

Komik dan Pengaruhnya terhadap Gambar Karya Anak-anak Sekolah Dasar

Comic and Its Influence toward Elementary School Students’ Picture
Oleh Jajang Suryana

Abstract

Comics made by foreign artist, like American artist, European, and –now- Japanese, have been dominating the comic circulation in Indonesian fiction books’ market. Comic made by Indonesian artist has been experienced the triumph during sixties until seventies. Nowadays, local comics are pushing by foreign comics. Most of publisher is less interested in publishing local comic because they think that the processing cost is too expensive than foreign licensed comic. So many Japanese comics who interested young reader because of its story characteristic containing high technology, are presenting with anime and VCD, and even pc-game. These have been influencing elementary school students much. Everyday narrative, toy’s type, and even elementary school students’ picture nowadays, are more influenced by Japanese comic.

Key words: comic, anime, picture

1. Pendahuluan

Crayon Shin-Chan, Conan, Doraemon, Pikachu, Donald Duck, Mickey Mouse, Obelix, Asterix, Tintin, adalah beberapa tokoh cerita komik yang sangat dikenal oleh anak-anak kota besar di Indonesia. Semua nama tokoh cerita asing itu begitu melekat dalam ingatan anak-anak kota besar. Kini, anak-anak di kota kecil seperti Singaraja, pun telah mulai banyak tahu tentang tokoh-tokoh cerita asing tersebut. Mereka mendapatkan pengetahuan tentangnya dari media massa, terutama dari televisi yang menayangkan film animasi cerita komik dimaksud.

Para “nasionalis” yang sangat bangga terhadap tokoh-tokoh cerita asli Indonesia, akan merasa sangat terganggu dan prihatin terhadap membanjirnya tokoh-tokoh cerita asing. Tokoh-tokoh cerita asing tadi telah banyak “mengalahkan” ketenaran tokoh-tokoh cerita Nusantara. Tahun 1960-an di kota Semarang pernah terjadi pembakaran jenis komik tertentu. Sekolah-sekolah dan kios-kios buku dirazia. Komik-komik dengan cerita tokoh
"ajaib dan sakti", misalnya komik Sri Asih dan Putri Bintang, menjadi sasaran pembakaran. "Komik-komik jenis ini dituduh tidak mendidik, tidak berkeribadian nasional, membuat malas membaca" (Jakarta-Jakarta, No. 99, 1988: 10).

Hasil penelitian bersama Depdikbud-Ikapi-Depag-Kowani-FPsi UI-Lembaga Bahasa Nasional tahun 1972, menunjukkan bahwa tak ada komik yang baik dari segi pendidikan (Jakarta-Jakarta,No. 99, 1988: 6). Tetapi, hal itu tidak menyurutkan niat para penerbit, untuk tetap menerbitkan buku-buku komik termasuk buku komik yang dianggap berisi banyak masalah. Selanjutnya, disebutkan dalam Jakarta-Jakarta, kondisi itu sama seperti yang dialami AS pada masa Perang Dunia II, masa tumbuhnya industri komik di negara itu, para penerbit menjadi tidak bertanggung jawab memakai tema sadisme dan seks.      

Belum lama ini, di Arab Saudi, Qatar, Turki, dan Mesir (Gatra, No. 21 Tahun VII, 2001: 20-21) cerita komik dan film animasi Pokemon (pocket monster) hasil karya para seniman Jepang yang sangat populer, telah menjadi musuh besar bagi negara tersebut. Cerita Pokemon, terutama video-gamenya yang dipandang mengarah ke perjudian, membuat anak-anak lalai dari kewajiban ibadat, dinyatakan haram beredar. Cerita tersebut telah manjadi candu bagi masyarakat Arab, tua dan muda. Semua yang bertalian dengan Pokemon, video game, komik, kartu, boneka, pakaian, hingga makanan, tidak akan dijumpai lagi di wilayah Arab. Masyarakat yang melanggar aturan pelarangan tersebut bisa dikenai hukuman cambuk atau denda, dan warga negara asing yang melanggar bisa dideportasi. 

"Candu" cerita rekaan seniman asing tersebut sedang melanda anak-anak Indonesia. Anak-anak Indonesia zaman sekarang lebih suka terhadap tokoh Crayon Shin-Chan, Power Ranger, Donald Duck, dan sejenisnya, daripada tokoh Gatot Kaca, si Kancil, Timun Mas, maupun si Komo. Sehingga ketika seorang anak sekolah dasar disuruh menggambar tokoh kesayangannya, mereka lebih suka menggambar (tepatnya meniru gambar) tokoh-tokoh komik dan film kartun asing yang kurang akrab dengan ingatan para guru maupun orang tua. Kemudian banyak guru yang beranggapan bahwa gambar-gambar buatan anak tadi tidak sesuai dengan lingkungannya. Padahal lingkungan anak masa kini adalah tokoh-tokoh cerita asing tadi, sejalan dengan merebaknya aneka produk komik dan film kartun buatan luar negeri, serta berbagai jenis mainan buatan dalam negeri yang memanfaatkan ketenaran tokoh-tokoh komik asing.

Berbagai pertanyaan bisa dikemukakan berkaitan dengan keberadaan komik-komik asing. Mengapa komik buatan masyarakat Jepang, Amerika, Inggris, dan Perancis banyak beredar di Indonesia? Bentuk kerja sama apa saja yang dilakukan oleh para penerbit dalam negeri untuk mendapatkan lisensi penerbitan komik-komik asing?  Bagaimanakah kondisi komik buatan dalam negeri? Masih banyakkah komik-komik buatan seniman Indonesia? Bagaimanakah kebijakan Pemerintah Indonesia dalam pengadaan buku-buku cerita untuk masyarakatnya? Mengapa komik-komik asing lebih menarik minat pembaca muda Indonesia daripada komik-komik buatan dalam negeri? Apa pendapat para pembaca muda tentang tokoh-tokoh komik masa kini yang mereka sukai? Bagaimana pandangan para guru, orang tua, psikolog, tokoh masyarakat, penerbit buku komik, pedagang buku komik, atau masyarakat lain, tentang kehadiran tokoh-tokoh komik asing? Bagaimana nilai estetis tampilan komik-komik buatan seniman Indonesia? Masih banyak pertanyaan lain yang bisa dikemukakan sehubungan dengan permasalahan komik ini.

Penelitian kesenirupaan terhadap keberadaan komik dan pekomik Indonesia belum banyak dilakukan. Apalagi ada pandangan yang keliru bahwa komik hanya dianggap sebagai "seni remeh" di antara kelompok "bukan seni utama" lainnya dalam pembahasan masalah seni rupa (Jajang, 2000). Di samping itu, keterkaitan masalah ekonomis yang melekat dalam keberadaan komik maupun film animasi sering dituding sebagai satu "tabu seni" yang menghalangi para teoretisi seni rupa untuk mengelompokkan karya-karya seni rupa sejenis ke dalam rumpun seni utama. Oleh karena itu, penelitian tentang komik ini masih sangat perlu dilakukan. Penelitian tentang masalah ini adalah untuk melengkapi data tentang keberadaan komik Indonesia yang selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat seni rupa maupun sastra.

2. Metode Penelitian

Dokumen menjadi  sumber data utama dalam penelitian deskriptif ini, yaitu berupa catatan pada koran, majalah, buku teori seni rupa, maupun buku komik. Data sekunder di-pakai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan keberadaan komik di Indonesia sejak masa awal pembukuannya. Untuk mengetahui data komik masa kini digunakan sumber data primer (terutama) berupa buku-buku komik yang beredar di toko buku yang ada di sekitar Singaraja. Hal itu dilakukan berdasar kepada pertimbangan bahwa buku komik masa kini telah mengalami peredaran yang bersamaan antara yang ada di kota besar dengan di kota kecil. Data  pengaruh cerita komik terhadap anak-anak sekolah dasar, didapatkan melalui gambar karya anak-anak dari SDN No. 1 Banjar Jawa. Data berupa gambar anak-anak tersebut kemudian dianalisis secara kualitatatif untuk mendapatkan gamabaran pengaruh komik dalam gambar anak-anak.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
  
3.1 Komik dalam Buku Acuan

Tahun 1951-an, Poerwadarmita penyusun Logat Ketjil Bahasa Indonesia, belum memasukkan istilah komik dalam kamus yang disusunnya. Bisa diperkirakan bahwa peristilahan tadi masih dianggap asing. Dalam kamus yang disusun lebih kini, istilah komik tersebut sudah umum dikenal. Misalnya, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) akan kita temukan pengertian komik sebagai "bacaan bergambar, cerita bergambar (dl majalah, surat kabar atau berbentuk buku)" (Poerwadarminta, 1991: 517). Para penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut pengertian komik sebagai "cerita bergambar (dl majalah, surat kabar, atau berbentuk buku) yang umumnya mudah dicerna dan lucu" (Moeliono, djp., 1990: 452).

Istilah komik berasal dari bahasa Inggris (Amerika?) comic, yang berarti cerita atau buku komik; yang bersifat gembira (Echols dan Shadily, 1990: 129), cerita bergambar yang lucu (Wojowasito, 1985: 75). McCloud (2001) dalam buku Understanding Comics yang unik, karena disusun dalam gaya penceritaan buku komik, memaparkan tentang komik secara lebih lengkap. Disebutkan, bahwa pengertian komik: "Gambar-gambar serta lambang-lambang lain yang terjukstaposisi (jukstaposisi =  berdekatan,bersebelahan) dalam turutan tertentu, untuk menyampaikan informasi dan/atau mencapai tanggapan estetis dari pembacanya" (McCloud, 2001: 9).

Kini, yang disebut buku komik, tidak semata berisi cerita gembira, lucu, dan mudah dicerna. Cerita-cerita komik masa kini banyak yang menggambarkan kekerasan, keruwetan, kebengisan, kesadisan, bahkan kecabulan. Buku komik buatan Amerika, misalnya keluaran perusahaan Walt Disney, dikenal dengan cerita-cerita lucu tokoh-tokoh binatang seperti Donald Duck, Mickey Mouse, Pluto, Simba, Garfield, dan Tom and Jerry. Lain halnya dengan komik-komik keluaran perusahaan Warner Bros, sekalipun tokoh-tokoh ceritanya adalah binatang, sejumlah tokoh itu digambarkan kasar dan jahat. Sejumlah komik keluaran perusahaan Perancis (seperti cerita Asterix dan Scooby Dou), Brussel (seperti cerita Smurf ), dan Belgia (seperti cerita Tintin), cenderung menceritakan petualangan detektif atau jagoan masa lalu; kadang-kadang bercampur dengan cerita hantu yang lucu tetapi menegangkan.

3.2 Keberadaan Buku Komik di Indonesia

Perkembangan pengadaan maupun pembuatan buku komik di Indonesia tampaknya tidak sama dengan yang terjadi di Amerika, Eropa, ataupun Jepang. Tahun 1960 s.d. 1970-an tercatat sebagai masa jayanya para pekomik Indonesia. Pada masa itu, banyak komik Indonesia yang menjadi bahan bacaan hiburan para pecandu komik. Pada tahun 1970-an tempat penyewaan komik --sebagai tempat termudah mendapatkan komik secara murah dan teratur-- menjamur di mana-mana. Di desa-desa kecil muncul tempat penyewaan yang selalu dikunjungi peminjam buku. Mungkin, keberadaan tempat penyewaan komik itu hampir sama seperti kondisi jumlah penyewaan VCD pada saat sekarang.

Keberadaan komik Indonesia memang tidak pernah tetap. Pertumbuhan komik Indonesia diawali pada tahun 1930-an. Pada saat itu muncul karya Kho Wan Gie (Jakarta-Jakarta,1988: 8) pada koran Sin Po. Tokoh Put On karya Kho Wan Gie sangat populer pada saat itu. Ketika Sin Po dibreidel Jepang, Put On dilanjutkan penceritaannya di koran Panca-warna, kemudian pindah ke koran Warta Bhakti, bahkan hingga kini tokoh tersebut ma-sih sering muncul dengan nama lain pada majalah Varia Nada dan Ria Film. Tokoh ciptaan Kho Wan Gie yang lain, yang juga cukup terkenal adalah Nona Agogo, Jali Tok Cer, dan  Si Lemot.

Pada pertumbuhan awal komik Indonesia ini, tahun 1939-1950 tercatat beberapa tonggak komik yang pantas digarisbawahi keberadaannya. Komik fantastik Poetri Hidjau, karya Nasrun AS pantas dicatat sebagai salah satu bentuk komik "modern". Komik ini tampilannya hampir sama seperti komik-komik yang ada pada masa kini. Kemudian muncul era komik koran yang dimulai dengan ditampilkannya komik strip karya Abdul Salam pada harian Kedaulatan Rakjat, Yogyakarta. Komik ini adalah pelopor komik revolusi, dengan judul Kisah Pendudukan Jogja.    

Tahun 1953-an, komik impor mulai menguasai peredaran komik di Indonesia. Komik dengan cerita superhero sangat disukai pada saat itu. Pekomik Indonesia pun tak ketinggal-an. Mereka mebuat cerita komik dengan tokoh pahlawan super. Supermanisme, komik yang mengacu tokoh Superman, muncul di mana-mana. Misalnya tokoh Sri Asih (R.A. Kosasih) dan Nina Rimba, Putri Bintang, Garuda Putih, serta Kapten Kilat (John Lo). Kemudian muncul juga Tarzanisme, seperti Wiro Anak Rimba Indonesia (Kwik Ing Hoo dan Lie Djoen Lim), Marimba (Ed), dan Roban (John Lo).

Tahun 1960-an, komik model Sri Asih mulai diemohi, bahkan kemudian dibakar karena dianggap bertentangan dengan kepribadian nasional. R.A. Kosasih mulai menggarap cerita Ganesha Bangun, Ramayana, dan Mahabharata, yang dianggap berciri nasional. Ko-mik wayang mulai merajai pasaran. Tahun 1965-an  komik roman picisan mulai lebih menguasai pembaca Indonesia. Di samping itu muncul juga cerita roman silat (seperti Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes TH) dan roman berbau sejarah (Sandhora karya Teguh Santosa). Tahun 1967 wabah komik mulai tak terkontrol. Kepolisian mulai merasa perlu mengadakan penertiban. Opterma (Operasi Tertib Remaja) digelar oleh P&K, Depsos, Deppen, Penerbit, Pengarang, dan Golongan Pemuda.

Tahun 1970-an pekomik Indonesia mulai bangkit lagi. Komik-komik dengan cerita superhero baru muncul lagi. Tetapi mulai tahun 1980-an, ketika komik impor mulai merajai pasaran lagi, komik karya seniman Indonesia terpuruk kembali. Hingga kini, tahun 2001, kondisi tersebut belum berubah. Beberapa kelompok pakomik Indonesia mencoba bangkit dengan karya dan tampilan karya yang baru, namun para penerbit belum bisa memberi sokongan penuh, terkait dengan masalah dana penerbitan yang dianggap terlampau mahal bila dibanding dengan menerbitkan komik impor yang  ketika dibeli lisensinya telah siap cetak dengan harga lebih murah.         

3.3 Tema Cerita Komik Karya Seniman Indonesia

Tema cerita yang pernah digarap para pekomik Indonesia sejalan dengan komik-komik buatan pekomik asing. Bila dipilah secara teliti, tema komik buatan pekomik Indonesia terdiri atas: komik wayang, superhero, roman (percintaan, silat, dan sejarah), dongeng (kebanyakan terjemahan), dan   Ketika model superhero disukai publik komik Amerika, menjamur pula tema superhero dalam komik buatan pekomik Indonesia. Poetri Hidjau, Sri Asih,  Nina Rimba, Putri Bintang, Garuda putih, Kapten Kilat, adalah tokoh-tokoh yang digubah oleh pekomik Indonesia tahun 1950-an. R.A. Kosasih dengan Sri Asihnya mengalami boom.Para penyuka komik pada saat itu terus memburu karya R.A Kosasih.

Pada tahun 1970-an, masa kedua boom komik, muncul jagoan-jagoan seperti Gundala, Pangeran Mlaar, Maza,  Aquanus, dan Kalong (tiruan dari The Flash, Fantastic Four, Tarzan dicampur Aladdin, Aquaman, serta jagoan anak-anak: semua karya Hasmi), juga Godam (tiruan Superman: karya Wid NS), Laba-Laba Merah (tiruan Spiderman: karya Kus Bramiyana), Kapten Mar (tiruan Batman: karya Mardhani), Kawa Hijau (tiruan Spiderman yang diganti dengan kostum hijau: karya Cancer), Gina dan Santini (karya Gerdi WK), dan banyak lagi adalah tokoh-tokoh hero lainnya.

Tema lainnya adalah cerita roman, terdiri atas cerita roman (picisan) remaja, seperti karangan Jan Mintaraga, Zaldy, Sim, dan Teguh Santosa; roman campuran cerita silat (Si Buta dari Gua Hantu, Panji Tengkorak, dan Jaka Sembung); dan campuran cerita sejarah (Sandhora, dan Mat Pelor). Di samping itu, banyak pula cerita anak-anak asing yang disadur-komikkan terutama dari cerita karangan Hans Christian Andersen. Sehingga anak-anak biasa menyebut komik dongeng tersebut sebagai komik Hans Christian Andersen.
  
Kini, setelah komik impor mendesak komik-komik karya pekomik Indonesia, komik buatan perusahaan Jepang, misalnya, sangat beragam. Tema ceritanya terdiri atas cerita untuk anak-anak murni (Doraemon, Pokemon, Digimon), cerita tentang anak tetapi ditujukan untuk orang dewasa (Crayon Shin-Chan, Detektif Conan, dan Dragon Balls), cerita remaja (Sailor Moon dan Candy-Candy), dan cerita untuk orang dewasa murni (Saint Seiya). Oleh karena itu tidak semua komik, juga film kartun --McCloud menunjukkan persamaan dan perbedaan antara komik dengan animasi, film kartun-- cocok untuk anak-anak. Kini, sudah banyak perusahaan komik maupun film kartun, yang memproduksi karya senimannya, khusus untuk konsumsi orang dewasa. Tetapi, karena anggapan umum bahwa komik maupun kartun adalah untuk anak-anak, begitu banyak orang tua yang kurang memperhatikan anak-anak pada saat membaca komik maupun menonton film-film kartun untuk orang dewasa.

4.3 Kondisi Penerbitan Komik di Indonesia

Sebuah laporan hasil penelitian wartawan Kompas (2001) yang dilaporkan pada edisi Minggu, 28 Januari 2001, ditemukan kenyataan yang sangat mencengangkan. Penjualan buku-buku komik pada beberapa toko buku di Jakarta, tercatat sangat jauh dari jumlah hasil penjualan buku jenis apa pun yang pernah dijual di Indonesia. Pada masa penelitian tersebut, sebagai contoh tercatat di bagian penjualan toko buku Gramedia Melawai, Jakarta, data seperti berikut: buku komik Crayon Shin-Chan bisa terjual 1.000 eksemplar per bulan dan Detektif Conan rata-rata terjual 500 eksemplar perbulan. Kemudian berurut-turut, Cardcaptor Sakura (170 eksemplar); Doraemon Petualangan 18 (149 eksemplar); dan Detektif Kindaichi (45 eksemplar). Semua buku komik tadi adalah komik buatan pekomik (pembuat komik) Jepang. Sebagai bahan perbandingan, dikemukakan pula dalam laporan tersebut catatan hasil penjualan buku komik buatan pekomik Indonesia. Pada awal peluncurannya, komik Saras 008 bisa terjual 100 eksemplar perbulan, tetapi beberapa bulan kemudian hanya terjual sekitar 5 eksemplar. Begitu pun komik dengan cerita tradisi Nusantara seperti Ramayana, Sangkuriang, dan Mundinglaya, perbulan hanya terjual sekitar 15 eksemplar. Data tersebut menunjukkan bukti bahwa komik buatan Jepang sangat digemari oleh masyarakat pembaca Indonesia, dan komik lebih menarik perhatian daripada buku jenis lain. 

Cerita impor lebih disuka oleh penerbit dengan alasan lebih praktis penerbitannya dan murah harga lisensinya dibandingkan menerbitkan komik buatan dalam negeri. Di samping itu, sisi kulaitas karya, fisik gambar maupun cerita komik impor lebih menarik di-banding komik dalam negeri. Oleh karena itu, hampir semua penerbit di Indonesia, lebih suka mengolah komik impor daripada komik dalam negeri.

4.4 Dampak Cerita Komik Terhadap Gambar Karya Anak-anak

Pada tahapan tertentu anak-anak usia sekolah dasar menggambar dengan cara meniru. Mereka ingin menguasai cara menggambar objek secara mirip. Dalam beberapa hasil observasi di lapangan, anak usia 5-9 tahun, suka meniru gambar dalam buku bacaan, gambar buatan temannya, atau juga gambar tokoh-tokoh cerita yang sangat disukainya. Anak-anak tertentu yang memiliki pembawaan khusus, pada usia 2,8 tahun sudah bisa meniru gambar tokoh cerita yang sangat disukainya.

Kesenangan meniru gambar tokoh cerita kesukaan, pada saat tertentu, dihambat oleh perkembangan nalar yang semakin realis. Pertimbangan mirip dan tidak mirip mulai muncul menjadi penghambat tingkat ekspresivitas anak dalam menggambar. Beberapa anak yang kurang percaya diri mulai suka menghapus gambar karyanya. Irama perkembangan masing-masing anak tidak ada sama persis. Meskipun demikian, hal yang sangat mengejutkan tampak pada gambar buatan anak-anak yang menjadi objek penelitian ini. Anak laki-laki maupun perempuan telah sangat terpengaruh oleh adanya tokoh-tokoh komik, terutama komik Jepang. Hal itu jelas tampak dalam gambar buatan mereka. Ada gambar yang dibuat secara khusus tentang tokoh komik semata, ada juga gambar peman-dangan alam Indonesia dengan tokoh-tokoh komik di dalamnya.

Pemerhati komik sudah mulai bermunculan. Salah satu di antaranya, yang giat melakukan seminar dan penelitian tentang pengaruh komik terhadap anak-anak di Indonesia, adalah Pusat Kajian Komik Indonesia (PKKI) pada Program Pascasarjana Program Studi  Kajian Wanita, Universitas Indonesia. Misalnya, mereka meneliti tentang daya tarik ko- mik Jepang bagi anak-anak di kota besar seperti Jakarta. Mereka melakukan kegiatan-kegiatan pemerhatian terhadap komik, berangkat dari kepedulian mereka tentang kondisi realistis anak-anak terkait dengan komik sebagai sumber pengaruh.

Majalah Intisari, Juni 2001, memuat tulisan Andrian W.D. yang mengangkat permasalahan "Kontroversi di Balik Film Kartun". Disebutkan, salah satu film kartun yang pernah ditayangkan oleh RCTI dihentikan penayangannya karena protes para orang tua yang memandang bahwa film kartun tersebut terlalu banyak menonjolkan adegan sadis, pertumpahan darah, dan balas dendam. Hal yang mengenaskan pernah terjadi di Jepang, pemroduk film-film animasi (selalu dibuat lengkap dengan buku komiknya) yang populer. Peristiwa buruk terjadi antara tahun 1995-1996. Seorang murid menusuk gurunya. Peristiwa itu "diduga sebagai pengaruh film kartun Neon Genesis Evangelion yang yang tengah naik daun saat itu. Di dalamnya memang ada adegan salah satu Eva menusuk lawan dengan senjata serupa pisau cutter. Akibat kasus itu, penayangan anime (film animasi, pengutip) di Jepang dibatasi (Andrian, 2001: 115).

Di Indonesia belum tercatat kasus menggemparkan akibat pengaruh komik, hal ini terkait dengan masih rendahnya minat baca masyarakat kita. Namun kini, setelah komik-komik asing dimunculkan lengkap dengan film animasi cerita yang sama di televisi, video game, play station, video compact disk (VCD), dan personal computer game, minat pembaca muda Indonesia tampaknya mulai bangkit. Akibat langsung dari film animasi dan lebih khusus komik bisa tampak dari kesukaan siswa sekolah dasar mengoleksi buku komik dan meniru-niru bentuk tokoh kesayangan mereka dalam bentuk gambar. Sejumlah orang tua berada pun telah mulai menyediakan fasilitas VCD driver dan mengoleksi aneka VCD berisi cerita animasi untuk anak-anaknya. Bahkan, dengan semakin mudahnya penyewaan VCD dan VCD driver semakin banyak orang yang terlibat langsung dengan penikmatan cerita animasi tersebut. Bisa kita periksa hingga ke pelosok desa kecil sekalipun, tempat penyewaan VCD bisa kita temukan. Juga, munculnya perkembangan hasil riset tentang media  penggandaan sejenis cakram, CD-R (compact disk recordable, CD yang bisa ditulisi ulang) dan CD-RW (compact disk recordable & writeable,CD yang bisa ditulisi ataupun dihapus-ulang isinya), sangat memudahkan penggandaan film animasi maupun game di atas CD. Kini, telah muncul pula jenis alat permainan elektronis yang bersaing dengan komputer maupun play station, seperti game cube, yang semakin memperkaya perangkat pengenalan sekaligus pengembangan kecintaan terhadap cerita buatan luar negeri. Semua perangakat hiburan yang tergolong mewah tersebut telah nyata dimiliki oleh masyarakat Indonesia, tanpa banyak kesulitan untuk mendapatkannya. Apakah hal itu telah cukup dijadikan bukti bahwa masyarakat Indonesia masa kini “tidak terlalu terpengaruh” oleh kondisi krisis ekonomi yang selama ini dituding sebagai penyebab keterpurukan bangsa Indonesia?    

4. Simpulan dan Saran

Komik karya pekomik Indonesia pernah mengalami beberapa kali boom. Kesukaan para pembaca komik sempat menumbuhkan rasa khawatir berbagai pihak. Razia komik berulang kali dilakukan. Bahkan sampai pembakaran jenis komik tertentu. Dengan masuknya karya-karya pekomik asing ke Indonesia, menyebabkan beberapa kali kondisi penerbitan komik buatan dalam negeri mengalami keterpurukan. Hali itu terkait dengan kuali-tas karya dan kemudahan penerbitan komik asing.

Tema cerita komik yang banyak muncul menjadi garapan para pekomik Indonesia bisa dianggap sangat sejalan dengan tema komik-komik buatan pekomik asing. Tema cerita superhero banyak diolah pekomik Indonesia melalui cara meniru-cocokkan dengan kondisi dan nafas lokal. Di samping itu, tema cerita wayang, roman (percintaan, silat, dan sejarah), dongeng (kebanyakan terjemahan seperti karya H.C. Andersen), banyak juga digarap oleh pekomik Indonesia. Tema cerita yang muncul dalam komik-komik asing memang lebih beragam. Bisa diperiksa, misalnya tema-tema cerita sejenis Doraemon, Pokemon, dan Digimon, yang menggambarkan hayalan kehidupan anak-anak dengan teknologi tinggi; cerita anak untuk konsumsi orang tua (Crayon Shin-Chan, Detektif Conan, dan Dragon Balls), cerita remaja (Sailor Moon dan Candy-Candy), dan cerita untuk orang dewasa murni (Saint Seiya).

Anak-anak sekolah dasar masa kini, tampak sangat tertarik oleh aneka cerita komik buatan seniman asing, terutama buatan seniman Jepang. Doraemon, Pokemon, Digimon, Dragon Ball, dan jenis cerita komik lainnya, telah begitu mengakar dalam ingatan anak-anak. Ketika anak-anak membuat gambar sebagai tugas yang diberikan oleh guru di sekolah, atau pun ketika menggambar suka hati di rumah, tokoh-tokoh cerita komik banyak muncul sebagai objek gambar kesukaan mereka. Oleh karena itu, komik sebagai karya seni rupa dan sastra, dalam batas tertentu bisa dimanfaatkan sebagai media pembelajaran. Kesukaan anak-anak terhadap cerita komik, pada satu sisi yang baik, bisa  dimanfaatkan dalam mengolah materi ajar bagai anak SD dalam bentuk komik juga.  


5. Daftar Pustaka Acuan

Andrian W.D., 2001. "Kontroversi di Balik Film Kartun", dalam majalah Intisari, Juni 2001

Echols, John M. and Hassan Shadilly, 1990. Kamus Inggris Indonesia. Cetakan ke-18. Jakarta: Gramedia
Gatra, No. 21 Tahun VII, 14 April 2001
Jajang S., 2000. Tinjauan Seni. Buku Ajar pada Program Studi Pendidikan Seni Rupa, STKIP Singaraja (tidak diterbitkan)
Jakarta-Jakarta, Mingguan No. 99, 27 Mei - 2 Juni 1988
Jakarta-Jakarta, Mingguan No. 140, 12 Maret 1989
Kompas, Minggu, 28 Januari 2001
McCloud, Scott, 2001. Understanding Comics. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Moeliono, Anton M. (djp.), 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Poerwadarminta, W.J.S., 1951. Logat Ketjil Bahasa Indonesia. Jakarta: J.B. Walters-Groningen
Poerwadarminta, 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Wojowasito, S.,1976. Kamus Umum Indonesia Inggeris. Bandung: Pangarang

Thursday 17 September 2009

MENGGAGAS PERTUNJUKAN WAYANG KULIT BERWARNA

Oleh Jajang Suryana

PENDAHULUAN

Pertunjukan wayang kulit adalah pertunjukan wayang yang menggunakan kelir atau layar. Kelir berfungsi sebagai media untuk menampilkan bayang. Oleh karena itu, istilah wayang diartikan sebagai bayangan. Tetapi, pengertian bayangan tersebut tidak sekedar berupa bayangan yang tergambar pada kelir. Bayangan atau wayang pada hakekatnya adalah gambaran kehidupan manusia.

Selama ini, pertunjukan wayang kulit cenderung dalam tampilan yang ekawarna (monokrom). Warna-warna penghias wayang yang menggambarkan ciri watak tokoh, tidak pernah tampil pada kelir. Secara lihatan, terutama dalam pertunjukan, warna-warna itu tidak pernah diolah oleh dalang untuk memperkuat penampilan watak tokoh cerita, karena pertunjukan yang ekawarna dan sifat bahan kulit yang tak tembus cahaya. Memang, pada pertunjukan wayang kulit yang kerap disiarkan oleh stasiun televisi, seperti yang dilakukan setiap malam Minggu (mulai tahun 1996) melalui stasiun teve swasta Indosiar, gaya pertunjukan wayang kulit berwarna sudah dilakukan. "Peran tata cahaya ini", tulis Halyadi dalam harian Kompas (Rabu, 9 Oktober: 1996), "ternyata berpenagaruh pada jalannya pertunjukan. Pemakaian tata cahaya yang berbeda saat adegan di balairung dan di medan laga membuat pertunjukan semakin kaya akan segi estetik tanpa meninggalkan unsur tradisional".

Wayang adalah jenis kesenian lama yang bisa bertahan hidup hingga masa kini, dan tetap mendapat dukungan masyarakat pencintanya. Tetapi, di samping itu, banyak kesenian tradisional yang telah punah. Penyebab kepunahannya, di antaranya bisa diperkirakan, karena tidak ada masyarakat pendukungnya. Sejalan dengan perubahan waktu, pandangan masyarakat terhadap salah satu jenis kesenian pun ikut mengalami perubahan. Ada jenis-jenis kesenian tertentu yang tidak dianggap memiliki hubungan batin dengan kehidupan masyarakat masa kini. Oleh karena itu, kesenian tersebut ditinggalkan, tak didukung keberadaannya.

Sebagai kesenian masa lalu yang sekligus kesenian masa kini, keberadaan wayang, seperti yang disebutkan dalam beberapa prasasti, telah sangat tua. Dalam prasasti tembaga (840 M./762 Çaka) disebut kata aringgit yang berarti tukang wayang atau dalang. Kata parbhwayang atau pertunjukan wayang, yang merupakan salah satu nama kelompok kesenian, disebut dalam prasasti Ugraçena (896 M.). "Sigaligi mawayang buat Hyang, macarita ya Bhima Kumara",  merupakan satu kalimat yang tertera dalam prasasti Balitung yang berangka tahun 907 M./829 Çaka (Buku Panduan Pameran Wayang Kulit Koleksi Museum Bali, 1979: 2). Mertosedono (1990: 18) menyebutkan bahwa wayang purwa pertama yang menggambarkan wajah dewa, terbuat dari daun tal, adalah milik Sri Jayabaya, raja Mamonang, Kediri (939 M.). Salah satu catatan yang paling populer tentang pertunjukan wayang adalah yang tertera dalam kakawin Arjunawiwaha, yang digubah oleh Mpu Kanwa abad ke-11. Dalam kakawin tersebut diceritakan bahwa penonton wayang menangis sedih karena terpengaruh oleh isi ceritanya (Wibisono, 1983: 59; LRKN-LIPI, 1986: 143; dan Mertosedono, hal. 7). Sumber yang kerap diacu oleh para penulis buku wayang.

Sukasman (1993: 37) bersiteguh bahwa kesinambungan wayang, dalam pakem raut, watak tokoh, dan cerita utamanya, sejak masa lalu hingga kini, karena keluwesannya sehingga selalu dianggap sesuai dengan situasi apa pun. Selanjutnya Sukasman menyebutkan: "Kenyataannya bahwa wayang dapat bertahan, dapat berhasil sebagai media dakwah, bahkan mencapai puncak jaman keemasannya pada jaman yang seharusnya mencampakkannya, ini hanya sekedar bukti hasil kerja keras dari para pendukungnya yang dipimpin para wali".

Berdasarkan alasan tersebut, Sukasman mempersamakan nilai wayang seperti nilai ilmu pengetahuan eksakta, teknologi, atau pun sistem religi, yang menunjukkan kebenaran tertentu. Tetapi, meskipun demikian Sukasman masih menyadari perlunya menumbuhkan kreativitas para juru wayang.

Hingga kini, pertunjukan wayang masih tetap disukai oleh masyarakat tertentu. Guritno (dalam Ismunandar, 1988: 62) menyebutkan bahwa di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, tercatat sekitar 40 jenis wayang. Sebagian di antaranya telah punah, sebagian lagi hanya tercatat pada Museum Wayang Jakarta Kota, tetapi tidak diketahui secara pasti keberadaan wayang-wayang tersebut. Beberapa jenis wayang, seperti wayang kulit purwa (berbahasa Jawa), wayang golek purwa (berbahasa Sunda), wayang wong (berbahasa Jawa), dan wayang langendria (wayang tari berbehasa Jawa) masih kerap dipertunjukkan. Bahkan, wayang kulit purwa gagrag tertentu, lebih khusus lagi wayang golek purwa, sejak tahun 1980-an telah mengalami masa kebangkitan (kembali) sebagai suatu seni pertunjukan masa kini.

Keberhasilan yang dicapai para dalang dalam menampilkan pertunjukan wayang masa kini, terkait dengan hasil usaha para dalang dan juru wayang (pembuat wayang) dalam mengubah beberapa hal. Perubahan itu --tanpa merusak ugeran pakem-- menyangkut penceritaan (cerita carangan), tampilan sejumlah tokoh cerita (tokoh baru seperti buta dan emban), maupun penyesuaian tampilan yang sejalan dengan tuntutan penonton masa kini.

Belajar dari keberhasilan "Gebrakan 80-an", sebuah gebrakan pertunjukan wayang golek purwa "baru" yang dilakukan oleh para dalang wayang golek dari Keluarga Giriharja, Jelekong, Kabupaten Bandung, wayang kulit purwa bisa "dihidupkan" kembali. Ade Kosasih Sunarya (Jajang S., 1995: 78-81) memiliki keberanian dan kreativitas dalam menyodorkan sesuatu yang baru, sebuah inovasi pertunjukan wayang golek purwa, tanpa harus melunturkan kekentalan ikatan pakem.

Pertunjukan wayang golek purwa memarak kembali, setelah sangat lama tidak mendapat perhatian masyarakat pendukungnya. Para dalang menemukan kembali kehidupan dunianya. Tanpa sungkan, mereka mengekor pertunjukan yang dikembangkan oleh Keluarga Sunarya dari Giriharja II, Jelekong itu. Muncullah tokoh-tokoh lakon baru yang diolah sejalan dengan selera penonton masa kini, seperti tokoh buta (raksasa) yang bisa pecah kepalanya ketika sedang berperang; tokoh panakawan yang bermain alat musik modern seperti gitar; atau tokoh-tokoh lakon yang bisa bersilat dengan gaya pekungfu dari biara Shaolin. Pada pertunjukan wayang kulit purwa pun, misalnya yang ditampilkan oleh dalang Anom Soeroto, ada tokoh cerita yang bisa bersalto, bermain musik gaya pengeband, menunggang kuda terbang, dan lain-lain. Kecenderungan maraknya model pertunjukan yang mengutamakan tingginya teknik memainkan wayang gaya masa kini semakin merebak. Para penghuni sekolah, para akademisi, para pegawai kantor, dan para pengelola hotel berbintang, merasa bangga mementaskan wayang golek purwa dan wayang kulit purwa di tempat tinggalnya.

"Gebrakan baru" yang sama perlu dikembangkan dalam upaya mengakrabkan wayang kulit purwa Buleleng kepada khalayak, terutama kepada kaum muda. Sebagai pilihan pertama dalam upaya memasukkan unsur baru dalam penggarapan wayang kulit purwa Buleleng, adalah pengayaan bahan pembuatan wayang. Plastik mika adalah bahan alternatif yang bisa dijadikan media untuk memperkaya jenis wayang, menghasilkan jenis wayang baru. Seperti pada masa lalu, pertambahan jenis wayang berjalan sesuai dengan kebutuhan waktu. Pada awalnya, wayang hanya berupa wayang batu, kemudian muncul wayang dari kulit kayu, dari daun tal, dari kertas (wayang bèbèr), dari kulit binatang (wayang kulit), dari kayu bulat torak (wayang golek), dari kayu pipih (wayang klithik), dan bahkan dari bahan seng (lihat koleksi Museum Wayang Jakarta Kota).

PEMBAHASAN

Pengayaan bahan pembuatan wayang ini menuntut cara mempertunjukkan yang lain. Yaitu, cara dan pertunjukan wayang berkelir (wayang kulit) yang berwarna. Tampilan berwarna bayangan wayang mika pada kelir akan didukung oleh efek pencahayaan yang juga nekawarna. Pembaruan pertunjukan wayang (kulit), wayang yang ditampilkan dengan menggunakan kelir, menjadi pertunjukan wayang yang penuh warna, merupakan upaya menarik minat para penonton muda yang pewaris budaya wayang, yang sudah terbiasa menonton berbagai acara televisi yang nekawarna.

Perubahan pertunjukan dan pengayaan jenis wayang, tidak mengubah pakem. Pakem wayang di antaranya mengikat jejer carita (jalan cerita utama), raut tampang, watak, dan penokohan. Sabetan dan pertunjukan, seperti pertunjukan melalui radio, rekaman kaset, maupun pada acara teve, sudah lama diterima oleh masyarakat pendukung wayang tanpa protes. Begitu pun lahirnya jenis wayang baru yang telah begitu lama kita ketahui, tidak menjadi permasalahan dalam pembicaraan tentang pakem. Wayang mika, gaya pertunjukan wayang berkelir yang berwarna, pada dasarnya mengacu kepada keadaan tersebut.

Tulisan ini dimaksudkan untuk menggagas upaya pelestarian salah satu hasil budaya milik bangsa Indonesia yang berharga, yang telah diakui sebagai salah satu benda budaya milik dunia. Pelestarian bisa berarti pelanjutan secara utuh atau hanya sekadar pengembangan. Pengayaan bahan pembuatan wayang kulit, pengembangan gaya pertunjukan wayang kulit berwarna, termasuk ke dalam bentuk usaha pelestarian tadi. Yang mengilhami gagasan ini adalah keberadaan wayang kulit purwa Buleleng.

Wayang kulit purwa Buleleng hingga saat ini kurang begitu akrab dengan masyarakat pendukungnya, terutama dengan kaum muda. Dari hasil wawancara awal, banyak kaum muda yang menyatakan kurang menyukai pertunjukan wayang kulit ini. Kendala pertama yang diakui oleh sejumlah kaum muda Buleleng, adalah unsur bahasa yang digunakan dalang dalam mempertunjukkan wayang. Bahasa pengantar pertunjukan wayang adalah bahasa yang tidak dimengerti oleh kaum muda, yaitu bahasa Jawa Kuna. Kendala kedua menyangkut segi pertunjukan wayang yang kurang sesuai dengan dunia kaum muda. 

Pewarisan budaya adalah pengalihan tanggung jawab dari generasi tua kepada generasi muda. Seandainya kaum muda sebagai kelompok yang akan diwarisi budaya tidak memiliki ikatan kepemilikan terhadap sesuatu yang akan diwariskan, maka proses penurunan tidak akan berjalan mulus. Sejumlah seni tradisional yang pada dasarnya menunjukkan nilai-nilai kepiawaian bangsa Indonesia, telah punah tanpa sempat terdokumentasikan, apalagi terwariskan.

Wayang kulit purwa Buleleng yang selama ini lebih banyak --khususnya-- digunakan untuk kebutuhan melengkapi upacara manusa yadnya, bisa diperluas jangkauan fungsinya, bukan sebagai media tuntunan semata. Tuntunan yang terkandung dalam penceritaan wayang, akan lebih banyak tersampaikan bila kesempatan mempertunjuk-kan wayang itu lebih banyak dan lebih memasyarakat. Salah satu usaha untuk mendekatkan wayang kulit purwa Buleleng dengan masyarakat masa kini, terutama untuk menjangkau masyarakat penonton muda adalah melalui pembaruan tampilan wayang.

Sejak abad ke-9 (tercatat dalam prasasti tembaga dan Ugraçena) pertunjukan wayang telah ada di Nusantara. Bentuk dan jenis wayang yang dipertunjukkan tidak disebutkan di dalam prasasti tersebut. Pada awalnya, menurut perkiraan para dalang, wayang kulit pertama terbuat dari kulit kayu (Jajang S., 1995: 48-49). Unsur agama Hindu (cerita Bhima Kumara: Mahabharata) di samping unsur cerita pemujaan terhadap arwah para leluhur, dipakai secara berdampingan sebagai unsur cerita wayang. Selanjutnya muncul wayang lontar yang disebut sebagai wayang purwa pertama. Sekitar tahun 1200-an tercatat adanya wayang kertas yang selanjutnya disebut wayang bèbèr (Tabrani, 1991: 6). Baru pada abad  ke-13 tercatat adanya wayang yang terbuat dari bahan kulit binatang yang disebut wayang prampogan, rombongan. Tercatat pula wayang yang dibuat dari bahan kayu pipih (wayang klithik), kayu bulat torak (wayang golek), dan seng.

Di Bali, ada beberapa prasasti, babad, dan relief yang bisa dipakai sebagai petunjuk tentang keberadaan wayang. Prasasti Bebetin (896 M./818 Çaka) atau yang lebih dikenal dengan Prasasti Ugraçena, dan prasasti Pandak Gede (1045 M. /993 Çaka) merupakan dua buah prasasti yang secara jelas mencatat adanya wayang di Bali. Relief yang menggambarkan Semara Ratih, relief perunggu, yang disimpan bersama-sama dengan prasasti Anak Wungsu (1071 M.) dan dipergunakan untuk hiasan gantungan pontar merupakan bentuk wayang tertua yang ada di Bali. Di samping itu, pada prasasti tembaga (1204 M.) yang tersimpan di Pura Kehen Bangli, digambarkan Batara Guru yang bentuknya mendekati bentuk pelukisan wayang di Bali saat ini. Dalam babad lain, babad Dalem, disebutkan bahwa Sri Dalem Semara Kepakisan pernah pergi ke Majapahit dan pulangnya, di antaranya, membawa hadiah berupa sekotak wayang kulit. Pada waktu raja Mengwi memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke Blambangan, raja sempat membawa wayang gambuh, yang kini masih tersimpan di Blahbatuh (Suartha, 1993: 14).

Salah satu bentuk wayang peninggalan masa lalau yang kini masih bertahan hidup di lingkungan masyarakat pendukungnya adalah wayang kulit purwa Buleleng. Wayang kulit ini dikelompokkan sebagai wayang purwa karena ceritanya menyangkut lakon Mahabharata dan Ramayana. Wayang kulit purwa ini bisa bertahan hidup karena merupakan bagian dari upacara keagamaan. Setiap upacara manusa yadnya (ruatan, kelahiran, dan wetonan), pitra yadnya (nyekah), dan juga dewa yadnya pertunjukan wayang merupakan salah satu bagian pelengkapnya. Jenis wayang yang digunakan adalah wayang gedog atau wayang lemah yang dipertunjukkan pada siang hari. Tetapi, di samping itu, pada saat-saat seperti kaulan, misalnya, wayang ini pun kerap dipertunjukkan.

Pertunjukan wayang untuk keperluan pelengkap upacara keagamaan cenderung sebagai pertunjukan yang fragmentaris, berupa potongan-potongan cerita yang disesuaikan dengan jenis upacara dan pesanan pengundang. Waktu pertunjukan yang sangat pendek, penyampaian cerita yang terbatas, dan penonton juga yang terbatas, menyebabkan penyampaian tuntunan yang merupakan fungsi awal wayang, kurang terolah. Apalagi jika mempertimbangkan wayang sebagai tontonan. Memang ada pertunjukan wayang yang lebih banyak ditujukan untuk keperluan tontonan, hiburan, yaitu pertunjukan wayang malam hari pada rangkaian upacara ngaben misalnya, tetapi faktor bahasa tetap menjadi kendala bagi penonton.

Seperti disebutkan di atas, salah satu kendala yang menyebabkan kurang akrabnya generasi muda dengan pertunjukan wayang kulit purwa Buleleng adalah masalah penggunaan bahasa yang kurang dekat dengan mereka. Soal bahasa, sebagai alat penyampai tuntunan, memegang peranan penting dalam proses ketersampaian pesan. Di samping itu, unsur pertunjukan baik ujaran (audio) maupun tampilan (visual) --pada adasarnya merupakan bagian paling penting dalam kesenian wayang-- adalah daya penarik utama yang bisa mengoptimalkan wayang sebagai media penyampai tuntunan.

Perubahan bahan pembuatan wayang telah berulang kali dilakukan. Dari sekitar 40 jenis wayang yang pernah tercatat hidup dalam kesenian Indonesia, wayang-wayang tersebut (di luar wayang orang dan wayang langendria) umumnya terbuat dari bahan kulit binatang, kertas, dan kayu (pipih maupun bulat torak). Perubahan tersebut berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hasil karya ini adalah manifestasi dari pergeseran nilai akibat perubahan nilai fungsi wayang (Yudoseputro, 1993: 42). Keselarasan antara fungsi wayang dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan zamannya harus merupakan pertimbanggan yang penting.

Ketika “pertunjukan” wayang hanya hanya bisa ditampilkan melalui relief batu pada bangunan candi, wayang batu telah menjadi alat tuntunan yang cukup pada masanya. Tetapi, ketika para pewarta tuntutan itu (“dalang”) perlu memperlebar jangkauan tempat menunjukkan kandungan cerita wayang, wayang batu tidak lagi dainggap sarana yang praktis. Maka, muncullah wayang bébér yang dibuat di atas sejenis bahan pipih dan rata: kulit kayu, kertas, atau pun kain. Wayang yang lebih menyerupai gambar cerita ini bisa digunakan untuk menyampaikan isi cerita oleh dalang tanpa batas ruang dan tempat.

Seorang dalang wayang bébér bisa membawa perangkat wayang ke mana saja ketika dia akan bercerita, menyampaikan tuntunan. Munculnya wayang kulit, jenis wayang yang paling banyak didapatkan di Jawa (terutama), Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Lombok, sejalan dengan kepentingan pengembangan sarana tuntunan tersebut.

Ketika para pengguna wayang masa lalu menyadari “keterbatasan” wayang kulit sebagai sarana tuntunan dan tontonan, para pemikir bidang wayang pada masa lalu merasa perlu menciptakan bentuk wayang lain yang lebih cocok untuk kepentingan pengembangan tuntunan kepada masyarakat. Wayang kulit, pada awalnya, ditampilkan mengandalkan cahaya bulan purnama. Perubahan muncul ketika sumber pencahayaan diganti dengan blencong, lampu cempor, atau lampu minyak.

Pembuatan wayang baru yang menuntut cara mempertunjukkan yang agak lain dari biasanya perlu dilakukan. Wayang mika yang akan mampu menampilkan efek berwarna jika ditampilkan seperti dalam pertunjukan wayang kulit, merupakan salah satu jawaban untuk memenuhi hasrat masyarakat penonton masa kini yang telah terbiasa menonton pertunjukan yang penuh warna. Penggunaan pencahayaan yang nekawarna, disesuaikan dengan tampilan watak tokoh dan suasana cerita, akan lebih menghidupkan isi cerita. Nilai tuntunan bukan terletak pada wujud atau bentuk medianya, tetapi pada keefektifan media tersebut dalam memberi rangsang persitindakan dengan orang yang akan menerima penyampaian tuntunan.

Pengenalan bahan mika, bahan pewarna mika, dan efek khusus bayangan wayang, bisa menambah wawasan dan memperkaya pengalaman bagi para juru wayang dan para dalang. Pengayaan bahan pembuatan wayang menghasilkan jenis wayang baru, wayang mika. Hal itu merupakan sumbangan yang berarti bagi peragaman dan pengembangan kekayaan khazanah perwayangan milik bangsa Indonesia. Wayang mika atau wayang yang dibuat dari bahan plastik mika,  bukan merupakan gagasan baru. Perubahan bahan pembuatan wayang, seperti diuraikan di atas, sudah sejak lama dilakukan. Perubahan bahan itu tentu saja disesuaikan dengan tuntutan zaman. Mika yang papar seperti kulit samakan, bisa ditatah menjadi wayang, diwarnai dengan teknik pewarnaan yang jernih (transparan, tembus pandang). Warna mika maupun warna watak tokoh wayang yang digambarkan secara simbolis pada bagian tubuh wayang, bisa menampilkan bayangan yang nekawarna pada kelir; bukan tampilan yang ekawarna seperti pada pertunjukan wayang kulit yang lazim.

Pengembangan wayang bukanlah hal yang tabu. Masyarakat Bali pada umumnya memiliki daya dukung sistem sosial yang disebut jengah (Mantra, 1992: 13). Kata jengah, dalam hubungannya dengan seni Bali, mengandung makna tautan (konotatif) competitive pride atau semangat untuk bersaing. Sifat jengah didukung taksu atau inner power, yaitu kreativitas budaya. Penciptaan wayang baru (wayang mika) dan penggagasan gaya pertunjukan wayang kulit yang penuh warna, bermanfaat untuk membangkitkan kembali kekuatan jengah dan taksu yang merupakan ciri khas masyarakat Buleleng.

PENUTUP

Penikmatan boneka wayang, dalam bentuk apa pun (wayang golek, wayang kulit, wayang klithik, wayang beber) tidak pernah menyentuh unsur-unsur rupa-nya. Warna-warni dan hiasan-hiasan yang menjadi penanda tokoh wayang, tak pernah dipedulikan sebagai bentuk keindahan yang sedap untuk dinikmati. Boneka wayang baru diperlakukan sebagai pelengkap pertunjukan sebuah cerita. Padahal, boneka wayang adalah karya seni rupa yang sangat sarat ekspresi perupanya, sekalipun dalam perupaannya tetap diikat pakem tertentu, pakem gambaran tokoh.

SUMBER RUJUKAN

1. BUKU

Ahmad, A. Kasim, (djp.), t.th. Ungkapan Beberapa Bentuk Kesenian (Teater, Wayang, Dan Tari). Jakarta: Direktorat Kesenian, Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Amir, Hazim, 1991. Nilai-nilai Etis Dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Direktorat Museum, Ditjend. Kebudayaan, Departemen P & K, 1979. Pameran Wayang Kulit Museum Bali. 

Fischer, Joseph (Ed.), 1990. Modern Indonesian Art. Three Generations of Tradition And Change 1945-1990. Jakarta and New York: Pameran KIAS (1990-91) and Festivas of Indonesia.

Guritno, Pandam, 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia, Dan Pancasila. Jakarta: UI-Press.

Ismunandar K., R.M., 1988. Wayang, Asal-Usul Dan Jenisnya. Semarang: Dahara Prize.

Kayam, Umar, 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.

Mantra, I.B., 1992. Bali: Sosial Budaya Dan Modernisasi. Denpasar: Upada Sastra.

Mellema, R.L., 1954. Wayang Puppets, Carving, Colouring And Symbolism. Koninklijk Instituut voor de Tropen.

Poerwadarminta, W.J.S., 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jalarta: Balai Pustaka.

Sagio dan Samsugi, 1991. Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta. Jakarta: Haji Masagung.

Sedyawati, Edi dan Sapardi Djoko Damono (Peny.), 1989. Seni Dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Soedarso, Sp., 1987. Wanda, Suatu Studi Tentang Resep Pembuatan Wanda-wanda       Wayang Kulit Purwa Dan Hubungannya  dengan Presensi Realistik. Proyek             Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Ditjend, Depdikbud.

Soekanto, 1992. Wayang Kulit Purwa, Klasifikasi, Jenis, Dan Sejarah. Semarang: Aneka Ilmu.

Suryana, Jajang. 2001.  Wayang Golek Sunda. Kajian Estetis Rupa Tokoh Golek. Bandung: Kiblat Buku Utama (Yayasan Adikarya IKAPI & The Ford Foundation)

Suseno, Franz Magnis, 1991. Wayang Dan Panggilan Manusia. Jakarta: Gramedia.

Tim Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LRKN-LIPI), 1986. Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia. Bandung: Alumni.

Wibisono, Gunawan, 1974. "Wayang Sebagai Sarana Komunikasi". Bunga Rampai (1983). Jakarta: Gramedia.

Widodo, Ki Marwoto Panenggak, 1990. Tuntunan Ketrampilan Tatah Sungging Wayang Kulit. Surabaya: Citra Jaya Murti.

Yudoseputro, M. Wiyoso dan M. Sulebar Soekarman, 1993. Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Jakarta: Senawangi & Institut Kesenian Jakarta-LPKJ.

2.  SKRIPSI, TESIS, DISERTASI, BUKU AJAR

Jajang S., 1995. Kajian Tentang Raut Wayang Golek Sunda Dtitinjau Dari Latar Belakang Watak Tokoh. Tesis pada Jurusan Seni Rupa Dan Desain, Fakultas Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.

Jajang S., 1997. Wayang Golek Purwa. Buku Ajar Pada Program Studi Pendidikan Seni       Rupa, Jurusan Pendidikan Bahasa Dan Seni, STKIP Singaraja

Rimbawa, I Made, 1993. Kerajinan Wayang Kulit Di Nagasepaha Buleleng. Skripsi pada Program Studi Pendidikan Seni Rupa, Jurusan Pendidikan Bahasa Dan Seni, STKIP Singaraja.

Tabrani, Primadi, 1991. Meninjau Bahasa Rupa Wayang Beber Jaka Kembang Kuning Dari Telaah Cara Wimba Dan Tata Ungkapan Bahasa Rupa Media Ruparungu Dwimatra Statis Modern, Dalam Hubungannya Dengan Bahasa Rupa Gambar Prasejarah, Primitif, Anak, Dan Relief Cerita Lalitavistara Borobudur. Disertasi pada Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung.

3.  MAKALAH

Soedarso, Sp., 1987. Morfologi Wayang Kulit, Wayang Kulit Ditinjau Dari Jurusan Bentuk. Pidato Ilmiah Pada Dies Natalis Ketiga Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

4.  MAJALAH

Majalah Warta Wayang Gatra. Jakarta: Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia "SENAWANGI".

Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, SENI. Yogyakarta: BPISI.