Tuesday 26 April 2011

SEKALI LAGI, TENTANG KOMIK

Oleh Jajang Suryana


Ada sejumlah pengertian yang bertalian dengan pengertian komik. Pengertian-pengertian ini adalah pengertian yang sangat mendasar, pengertian umum. Pada perkembangan masa kini, pengertian tadi mungkin berubah, berkembang, meluas, atau bahkan melenceng dari pengertian umum. Hal tersebut tidak akan dipernasalahkan terlalu jauh, karena perubahan merupakan hal yang wajar, biasa, bahkan menjadi keharusan untuk menunjukkan perubahan-perubahan sejalan berubahnya pola pikir dan tindak manusia.

Tahun 1951-an, Poerwadarmita penyusun Logat Ketjil Bahasa Indonesia, belum memasukkan istilah komik dalam kamus yang disusunnya. Bisa diperkirakan bahwa peristilahan tadi masih dianggap asing. Dalam kamus yang disusun lebih kini, istilah komik tersebut sudah umum dikenal. Misalnya, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) akan kita temukan pengertian komik sebagai "bacaan bergambar, cerita bergambar (dl majalah, surat kabar atau berbentuk buku)" (Poerwadarminta, 1991: 517). Para penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut pengertian komik sebagai "cerita bergambar (dl majalah, surat kabar, atau berbentuk buku) yang umumnya mudah dicerna dan lucu" (Moeliono, djp., 1990: 452).

Istilah komik berasal dari bahasa Inggris (Amerika?) comic, yang berarti cerita atau buku komik; yang bersifat gembira (Echols dan Shadily, 1990: 129), cerita bergambar yang lucu (Wojowasito, 1985: 75). McCloud (2001) dalam buku Understanding Comics yang unik, karena disusun dalam gaya penceritaan buku komik, memaparkan tentang komik secara lebih lengkap. Disebutkan, bahwa pengertian komik: "Gambar-gambar serta lambang-lambang lain yang terjukstaposisi (jukstaposisi = berdekatan, bersebelahan) dalam turutan tertentu, untuk menyampaikan informasi dan/atau mencapai tanggapan estetis dari pembacanya" (McCloud, 2001: 9).

Kini, yang disebut buku komik, tidak semata berisi cerita gembira, lucu, dan mudah dicerna. Cerita-cerita komik masa kini banyak yang menggambarkan kekerasan, keruwetan, kebengisan, kesadisan, bahkan kecabulan. Buku komik buatan Amerika, misalnya keluaran perusahaan Walt Disney, dikenal dengan cerita-cerita lucu tokoh-tokoh binatang seperti Donald Duck, Mickey Mouse, Pluto, Simba, Garfield, dan Tom and Jerry. Lain halnya dengan komik-komik keluaran perusahaan Warner Bros, sekalipun tokoh-tokoh ceritanya adalah binatang, sejumlah tokoh itu digambarkan kasar dan jahat. Sejumlah komik keluaran perusahaan Perancis (seperti cerita Asterix dan Scooby Dou), Brussel (seperti cerita Smurf ), dan Belgia (seperti cerita Tintin), cenderung menceritakan petualangan detektif atau jagoan masa lalu; kadang-kadang bercampur dengan cerita hantu yang lucu tetapi menegangkan.

Sehubungan dengan kondisi tersebut, McCloud menambahkan pemerian lainnya tentang istilah komik. Dia memasukkan tokoh-tokoh pahlawan super berkostum warna cerah (seperti Batman, Superman, X-Man, Spiderman, dan sejenisnya); kelinci, tikus, dan beruang lucu; serta "sesuatu yang merusak mental remaja". Apa yang disebutkan oleh McCloud terakhir bisa tampak pada komik-komik masa kini. Misalnya, sejumlah komik keluaran Jepang.

Komik-komik buatan perusahaan Jepang memang sangat beragam. Tema ceritanya terdiri atas cerita untuk anak-anak murni (Doraemon, Pokemon, Digimon), cerita tentang anak tetapi ditujukan untuk orang dewasa (Crayon Shin-Chan, Detektif Conan, dan Dragon Balls), cerita remaja (Sailor Moon dan Candy-Candy), dan cerita untuk orang dewasa murni (Saint Seiya). Oleh karena itu tidak semua komik, juga film kartun --McCloud menunjukkan persamaan dan perbedaan antara komik dengan animasi, film kartun-- cocok untuk anak-anak. Kini, sudah banyak perusahaan komik maupun film kartun, yang memproduksi karya senimannya, khusus untuk konsumsi orang dewasa. Tetapi, karena anggapan umum bahwa komik maupun kartun adalah untuk anak-anak, begitu banyak orang tua yang kurang memperhatikan anak-anak pada saat membaca komik maupun menonton film-film kartun untuk orang dewasa.

Majalah Intisari, Juni 2001, memuat tulisan Andrian W.D. yang mengangkat permasalahan "Kontroversi di Balik Film Kartun". Disebutkan, salah satu film kartun yang pernah ditayangkan oleh RCTI dihentikan penayangannya karena protes para orang tua yang memandang bahwa film kartun tersebut terlalu banyak menonjolkan adegan sadis, pertumpahan darah, dan balas dendam. Hal yang mengenaskan pernah terjadi di Jepang (produk film-film animasi selalu dibuat lengkap dengan buku komiknya, sehingga cepat populer). Peristiwa buruk terjadi antara tahun 1995-1996. Seorang murid menusuk gurunya. Peristiwa itu "diduga sebagai pengaruh film kartun Neon Genesis Evangelion yang yang tengah naik daun saat itu. Di dalamnya memang ada adegan salah satu Eva menusuk lawan dengan senjata serupa pisau cutter. Akibat kasus itu, penayangan anime (film animasi, pengutip) di Jepang dibatasi (Andrian, 2001: 115).

Di Indonesia belum tercatat kasus menggemparkan akibat pengaruh komik, hal ini terkait dengan masih rendahnya minat baca masyarakat kita. Namun kini, setelah komik-komik asing dimunculkan lengkap dengan film animasi cerita yang sama di televisi, video game, play station, x-box, video compact disk (VCD), game personal computer, dan yang lebih memasyarakat yaitu game dalam telesel (telefon seluler) minat “pembaca” muda Indonesia tampaknya mulai bangkit.

Akibat langsung dari film animasi dan lebih khusus komik bisa tampak dari kesukaan siswa sekolah dasar mengoleksi buku komik dan meniru-niru bentuk tokoh kesayangan mereka dalam bentuk gambar. Sejumlah orang tua berada pun telah mulai menyediakan fasilitas pemutar video dan mengoleksi aneka VCD/DVD berisi cerita animasi untuk anak-anaknya. Bahkan, dengan semakin mudahnya penyewaan VCD/DVD dan pemutarnya, semakin banyak orang yang terlibat langsung dengan penikmatan cerita animasi tersebut. Bisa kita periksa hingga ke pelosok desa kecil sekalipun, tempat penyewaan VCD/DVD, bahkan penjualan VCD/DVD, bisa kita temukan.

Perkembangan hasil riset tentang media penggandaan sejenis cakram, CD-R (compact disk recordable, CD yang bisa ditulisi ulang) dan CD-RW (compact disk recordable & writeable, dan hasil teknologi media perekaman yang lebih tinggi darinya, cakram yang bisa ditulisi maupun dihapus-ulang isinya), sangat memudahkan penggandaan film animasi maupun game di atas cakram. Apakah hal itu telah cukup dijadikan bukti bahwa masyarakat Indonesia masa kini tidak terpengaruh kondisi krisis ekonomi yang selama ini dituding sebagai penyebab keterpurukan bangsa Indonesia?    

KEBERADAAN KOMIK DI MANCANEGARA

Dalam tulisan ini, yang dimaksud komik adalah semua jenis buku cerita yang dilengkapi gambar. Komik bukan cergam (cerita bergambar). "Dalam cergam, gambar berperan sebagai ilustrasi, pelengkap tulisan, sehingga sebetulnya tanpa hadirnya gambarpun cerita masih bisa dinikmati pembacanya" (Masdiono, 1988: 9). Selanjutnya, Masdiono menegaskan: "Dalam komik yang terjadi adalah sebaliknya, teks atau tulisan berperan sebagai pelengkap gambar, misalnya: memberi dialog, narasi, dan sebagainya. Jadi lebih tepatnya, KOMIK adalah GAMCER -gambar bercerita. Sehingga, sebuah komik, kalau penggambarnya "canggih", bisa saja tanpa kata-kata".

Gambar cerita, menurut hasil penafsiran para ahli, telah ada sejak masa prasejarah. Gambar-gambar yang menghiasi dinding-dinding gua di Gua Lascaux, Perancis Selatan atau di Gua Lelang-Leang, Sulawesi Selatan, tulisan hieroglyph di dinding kuil Mesir, piktograf suku-suku Indian di Amerika, maupun goresan-goresan gambar pada tebing di Irian Jaya, adalah gambar yang bercerita. Wayang dikenal pula pernah mengalami masa gambar cerita. Ketika cerita wayang masa lalu ingin disampaikan secara naratif dan bisa dibawa ke mana saja pencerita pergi, terjadilah perubahan dari wayang batu berupa relief pada dinding candi menjadi wayang beber. Gambar pada daun lontar yang dikenal dengan sebutan prasi, menjadi bukti yang sama tentang gambar cerita masa lalu. "Tentu saja keahlian membuat gambar 'komik' seperti itu tidak berkembang seperti cerita bergambar yang kita kenal sekarang (Jakarta-Jakarta, No. 99, 1988: 18).

Tabrani (1991: 59) menunjukkan perubahan gambar dari relief pada dinding candi menjadi bentuk gambar cerita yang mulai dilengkapi dengan teks kunci:

"Gambar-gambar, baik lukisan maupun relief yang menggambarkan sekuen-sekuen, masih tetap yang diutamakan dengan ditambahkan teks ringkas sebagai kata-kata kun-ci untuk masing-masing sekuen. Pada saat proses belajar mengajar, maka sang pendeta atau sang guru dengan berpegang pada kata-kata kunci kemudian menceritakan tiap sekuen secara panjang lebar dengan kata-kata lisan. Gambar-gambar tiap sekuen dibu-at sedemikian agar si penutur dapat membayangkan kembali dalam ingatannya keseluruhan kejadian sekuen itu dulu, jadi juga di sini gambar masih merupakan simbol suatu proses".

Tampaknya, cikal bakal komik yang disebut Masdiono sebagai gamcer (gambar bercerita) telah ada sejak masa kuno, masa kerajaan-kerajaan Nusantara Lama. "Relief cerita di Candi Borobudur adalah versi 'cergam', begitupun "kropak lontar cergam seperti kisah 'Dampati Lalangon' dari Lombok" (Tabrani: ibid.: 61).

McCloud membahas secara menarik tentang keberadaan komik dalam bentuk yang lain, yang ia sebut "hanyalah sebagian epik dari naskah bergambar pada jaman pra-Columbus yang 'ditemukan' oleh Cortes sekitar tahun 1519". Gambar berwarna sepanjang 36 kaki (12 meter) ini menceritakan tentang seorang pahlawan militer dan politikus besar bernama "Kuku Macan 8 Rusa". Bahkan ditunjukkan pula gambar yang ditemukan di Perancis, yaitu Permadani Bayeux, yang keberadaannya beratus-ratus tahun sebelum Cortes mulai mengumpulkan komik. Permadani itu panjangnya 230 kaki (sekitar 76 meter). Isi gambarnya tentang penaklukan Norman atas Inggris, yang berawal pada tahun 1066. Namun, hieroglif, sekalipun berbentuk gambar, menurut  McCloud, tidak bisa dikelompokkan sebagai komik, sekalipun gambar itu berbeda juga dengan abjad karena masing-masing unsur gambarnya melambangkan bunyi (McCloud, 2001: 12). 

Komik "sebenarnya", berkembang di Amerika Serikat. Tetapi, nama-nama pekomik termasyhur dari Jenewa seperti Rudolf Toffler (1966-1846) dan Willem Busch (1832 - 1908) dari Jerman, tak bisa dilepaskan dari keberadaan komik-komik modenn masa awal. Begitupun dari Perancis dikenal nama Caran d'Ache dan Rabier, serta Tom Brown dari Inggris. Amerika meniru apa yang  terjadi di Eropa. Pada tahun 1880-an, ketika terjadi persaingan surat kabar yang sangat kuat antara Joseph Pulitzer (New York World) dn William Randolph Hearst (Morning Journal) di New York, surat kabar-surat kabar Amerika mulai memuat komik (Jakarta-Jakarta, op. cit.).

Tahun 1910-an muncul kecenderungan baru di Amerika, yaitu terbitnya komik-komik yang lebih intelektual. Tahun 1924-an kecenderungan itu berubah, ke arah cerita kemasyarakatan. Tahun 1929-an, setelah muncul cerita Tarzan yang disusul lahirnya komik Flash Gordon, Secret Agent X-9, Jules Jim, Terry The Pirate, Prince Valiant, Batman, Phantom, serta Mandrake (hanya menyebut beberapa yang terkenal) adalah kecenderungan komik baru berisi cerita petualangan. Setelah itu muncul komik science fiction, seperti Superman yang hingga kini ceritanya masih populer. Komik dengan cerita Mickey Mouse dan Donald Duck, terbitan Walt Disney, baru muncul pada tahun 1931-an (Jakarta-Jakarta, ibid: 20).

Komik dengan tokoh cerita anak badung (bandel) sudah muncul sejak awal abad ke-20). Di samping itu mucul pula cerita tentang tokoh anak bijak (Jakarta-Jakarta, ibid.). Tampaknya, kini komik dengan berbagai tema cerita muncul secara berbarengan dari para pekomik Jepang. Tema-tema seperti persahabatan, permusuhan, balas dendam, percintaan, anak bandel, anak bijak, anak jagoan, fiksi ilmiah, petualangan, dan berbagai jenis tema cerita lainnya, termasuk cerita dunia robot, telah begitu besar menyedot perhatian para pembaca muda. Semua komik Jepang ditata berbeda dengan komik keluaran Amerika, Perancis, dan Belgia yang cenderung tertib. Teknik banyak  frame, dilengkapi close up bagian-bagian tertentu, kemudian dirangkai dengan ketidakteraturan pemilahan bidang gambar, tampaknya telah mengilhami para pekomik muda Indonesia. Pada tabloid Fantasia dan Tablo misalnya, bisa dilihat kecenderungan pengaruh gaya komik Jepang tersebut. Bukan hanya gaya penggambaran saja yang ditiru, dunia robot pun telah menjadi topik cerita yang ditiru dan dikembangkan para pekomik muda Indonesia. Sementara pada tabloid atau koran untuk konsumsi kelas bawah, muncul kecenderungan memanfaatkan tokoh wayang, khususnya punakawan, yang di"modern"kan suasana ceritanya.

KOMIK DI ANTARA KARYA-KARYA SENI RUPA

Mempertanyakan posisi komik di antara karya seni rupa lainnya menjadi sangat menarik. Komik termasuk karya gabungan. Beberapa kegiatan seni bisa muncul di sana. Seni rupa sebagai induk kegiatan utamanya (seni gambar, seni ilustrasi, dan seni grafis), dipadu dengan unsur seni sastra. Tetapi banyak kalangan teoretisi seni rupa maupun sastra yang enggan memasukkan komik ke dalam kategori seni utama. Dalam bidang seni rupa, komik tidak dimasukkan ke dalam kelompok karya seni rupa utama. Begitu pun dalam seni sastra, cerita komik tidak dimasukkan sebagai karya sastra utama.

Seni Utama

Teori seni rupa Barat mengenal pemilahan kelompok seni rupa dalam dua bentuk: seni murni (terjemah dari pure art), sering juga disebut dalam kelompok seni utama (major art), dan seni terap (applied art) atau tergolong seni remeh (minor art). Dalam aneka bahasan buku seni rupa yang menjadi buku acuan, yaitu buku-buku yang ditulis oleh pengarang Barat, pola bahasannya lebih mengutamakan bahasan jenis seni rupa yang dikategorikan seni murni (Jajang, 2000: 109). Oleh karena itu, jenis hasil kegiatan maupun teori tentang seni yang tidak termasuk kelompok seni murni, kurang banyak dibahas.

Myers (1958: 211) menulis dalam salah satu bukunya yang kerap diacu sebagai sumber teori seni rupa Barat, yang termasuk kelompok seni murni hanya bidang-bidang kegiatan "painting, sculpture, architecture, prints, and drawing". Sejalan dengan Myers, para penyusun ensiklopedi seperti Chambers's Encyclopedia, Collier's Encyclopedia, dan Encyclopedia Americana, dalam bagian bahasannya mengupas pengelompokan seni rupa ke dalam rumpun seni utama dan seni remeh. Sekalipun prints (seni cetak) dan drawing (seni gambar) menjadi bagian utama kegiatan pembuatan komik, dalam bahasan seni cetak dan seni gambar tidak sekali pun menyinggung bahasan komik.

Dalam perjalanan seni lukis modern, pelukis pop asal Amerika, Andy Warhol, mengangkat potongan-potongan gambar dari bagian cerita komik terkenal di Amerika. Kemudian potongan gambar (frame, sequence) itu ditiru-besarkan di atas kanvas. Perbuatan Warhol sempat mengundang polemik besar dalam menyambut atau menolak gerakan seni rupa pop. Tetapi, apa yang telah dilakukan oleh Warhol tidak bisa menempatkan komik (sebagai bagian ungkapan yang diangkat Warhol) secara utuh masuk ke dalam kelompok seni murni, atau sekadar mengangkat komik menjadi bahan bincangan penting.  

Seni Remeh

Yang termasuk katergori seni remeh banyak sekali, yaitu jenis kegiatan seni rupa di luar kelompok seni murni, seni utama. Myers (ibid.) menulis sebagai berikut: "minor or applied art: furniture, textiles, ceramics, etc", tanpa terlalu banyak memberi kupasan. Pengabaian bahasan tadi, tampak juga dalam sejumlah buku lain yang telah menjadi buku acuan utama teori seni rupa Indonesia. Oleh karena itu, sulit sekali kita menemukan buku yang isinya merupakan bahasan mendalam tentang seni-seni terapan ini yang digandengkan dengan bahasan seni murni. Komik, sebagai kelompok seni remeh, berada pada posisi tersebut, posisi yang kurang diperhitungkan keberadaannya.

Yang menarik adalah sikap penulis buku antropologi seni. Para penulis buku ini tidak memilah seni rupa berdasarkan murni-terap atau utama-remeh. Semua jenis seni rupa dibahas secara lengkap sebagai kajian yang memiliki kesamaan posisi. Hal yang sama bisa kita temukan juga dalam bahasan-bahasan sosiologi seni. 

Penghargaan terhadap Pelaku Seni

Pengelompokan murni-terap atau utama-remeh dalam seni rupa berawal dari sikap penghargaan terhadap kelompok pelaku seni. Pelaku seni murni adalah para pekota, pelaku seni akademisi. Mereka penentu kebijakan-kebijakan teori seni, karena merekalah yang menulis buku acuan seni. Sikap para teoretisi seni rupa, khususnya, kurang memiliki penghargaan yang baik terhadap para pelaku seni non-akademisi. Oleh karena itu, muncullah penyebutan yang berbeda antara pelaku seni akademisi dengan non-akademisi. Di dunia seni rupa Barat kental sekali pembedaan tersebut, yang bersumber dari pembedaan kelas sosial pelaku seni. Teori seni rupa Barat dengan segala latar belakang kondisi budayanya, diserap secara lengkap oleh para ahli teori seni rupa Indonesia.

Istilah seniman dan perajin lahir dari pembedaan kelas sosial pelaku seni rupa. Seniman, terjemah dari kata artist, adalah sebutan untuk pelaku seni akademisi, orang kota. Sebaliknya, perajin yang merupakan padan kata dari craftsman, adalah untuk menunjuk pelaku seni non-akademisi, kebanayakan orang desa. Begitu di Barat, begitu  juga di lingkungan masyarakat seni Indonesia. Pekomik, dalam teori seni rupa Indonesia hanya dihargai sebagai perajin saja, yaitu pelaku seni yang karyanya terkait dengan urusan pesanan, jual-beli, dan sejenisnya. Alasan itulah yang kerap ditunjuk sebagai pembeda antara kegiatan kelompok yang mengaku seniman dengan perajin.

Padahal, yang mengaku sebagai seniman, pelaku seni murni, pengusung seni utama, sejak masa boom seni lukis tahun 1980-an (Jajang, 2000: 85; Jakarta-Jakarta, 1989: 9) hingga kini, sibuk mengatur strategi penjualan karya. Mereka adu pintar mengatur strategi pasar melalui kurator, galeri, dan media massa. Menjual karya, yang dahulu dianggap "aib bagi seniman" dan menjadi titik pembeda yang mereka kedepankan sebagai dinding pemisah antara mereka dengan para perajin, malah kini mereka banggakan sebagai suatu keberhasilan!

Komik dan Gambar Buatan Anak-anak

Pada tahapan tertentu anak-anak usia sekolah dasar menggambar dengan cara meniru. Mereka ingin menguasai cara menggambar objek secara mirip. Dalam beberapa hasil observasi di lapangan, anak usia 5-9 tahun, suka meniru gambar dalam buku bacaan, gambar buatan temannya, atau juga gambar tokoh-tokoh cerita yang sangat disukainya. Anak-anak tertentu yang memiliki pembawaan khusus, pada usia 2,8 tahun sudah bisa meniru gambar tokoh cerita yang sangat disukainya.

Kesenangan meniru gambar tokoh cerita kesukaan, pada saat tertentu, dihambat oleh perkembangan nalar yang semakin realis. Pertimbangan mirip dan tidak mirip mulai muncul menjadi penghambat tingkat ekspresivitas anak dalam menggambar. Beberapa anak yang kurang percaya diri mulai suka menghapus gambar karyanya.

Irama perkembangan masing-masing anak tidak ada sama persis. Semua anak memiliki jalur perkembangan motorik yang berbeda. Seakalipun kesukaan akan gambar pada kebanyakan anak bisa dikatakan seragam pada usia yang sama, namun karena keragaman irama perkembangan tadi menyebabkan perbedaan-perbadaan intensitas perhatian anak terhadap kegiatan menggambar. 

Monday 18 April 2011

SENI UNTUK EKONOMI? BETUL ITU!

Oleh Jajang Suryana

Catatan:
Tulisan ini dibuat tahun 1992. Tapi, jika dibaca lagi, ternyata masih patut jika diupload lagi sebagai bahan bacaan. Lumayan!


Sudjoko (almarhum) tahun 1960 telah mengeluarkan pikiran-panjangnya tentang "Peranan Seni Dalam Pembangunan Ekonomi Negara". Prasaran tersebut disampaikannya pada Kongres BMKN tahun 1960, di Bandung. Tulisannya dimulai dengan pertanyaan yang "lucu", menyoal keunikan harga benda seni. Contoh yang dikemukakannya adalah tentang lukisan. Sudjoko mengemukakan secara cerdas, pengandaian cara jual benda seni berkaitan dengan teori ekonomi. Hal itulah, menurut Sudjoko, yang mungkin menjadi keberatan para ahli teori ekonomi.

"Bagi banjak orang seni adalah sesuatu jang tingkahnja sukar dimengerti; seni, misalnja, tidak dapat ditentukan harga pembeliannja dengan ukuran² jang mudah masuk akal. Suatu lukisan berukuran 1 m² jang dibuat dengan ongkos produksi 100 rupiah bisa didjual dengan harga 10.000 rupiah (perbandingan harga tahun 1960-an: pengutip), sedang untuk lukisan lain jang berukuran sama dengan ongkos produksi sama orang tjuma mau bajar paling tinggi 20 rupiah. Kelebihan produksi lukisan tidak dengan senidirinja sadja akan berpengaruh kepada harga, demikian djuga dengan kekurangan produksi. Maka perlukah seni dimasukkan dalam persoalan ekonomi? Dan apakah diatas onberekenbaarheid ini bisa dibangun suatu ilmu ataupun pemikiran serieus untuk tugas jang teramat berat, ialah pembangunan negara?" (Sudjoko, 1960: 239: dikutip seperti ejaan aslinya).

Pada kenyataannya, apa yang digambarkan oleh Sudjoko tampak menyentak semua ahli ekonomi termasuk juga lebih khusus para seniman. Ketika heboh boom harga lukisan tahun 1989/1990, begitu banyak pelukis, keluarga pelukis, atau pun kolektor lukisan, yang tiba-tiba menjadi orang kaya baru (OKB). Beberapa seniman di antaranya, sampai kini, lukisannya memiliki harga jual yang sangat menghebohkan. Karya mereka diantri oleh para peminatnya.

Tetapi, berbeda dengan para pekriya yang nilai penjualan karyanya mendongkrak tingkat PDRB, nilai penjualan karya para seniman lukis yang mengalami boom tidak pernah disebut-sebut, bahkan sengaja ditutupi dari pengetahuan khalayak!

Sanento Yuliman, juga almarhum, (1992: 2) menulis:
"Itulah seni lukis yang biasa dinamakan (terutma oleh para pendukungnya) 'seni lukis modern Indonesia'. Seni lukis itu banyak menerima masukan informasi dari Barat. Seni lukis itu juga tidak sedikit menerima tunjangan dari Negara, berupa penyelenggaraan pendidikan seni rupa, Anugerah Seni, kemudahan bagi pelukis untuk belajar, bepergian, dan berpameran di luar negeri, dll".

Tentang kehebohan boom seni lukis, ditulis oleh wartawan Jakarta-Jakarta, almarhum juga (majalahnya), seperti berikut:
"Dunia seni lukis Indonesia, makin kisruh. Bayangkan, harga lukisan karya seorang pelukis muda seperti Dede Eri Supria saja, kini laku Rp 15 juta. Dan harga karya pelukis kaliber Affandi, dalam tempo setahun ini, sudah melejit menjadi Rp 150 juta. Para pelukis pemula pun kini sudah tak rikuh-rikuh memasang tarip luar biasa aduhai. Tapi dari apa yang terjadi, ternyata peran galeri dan kolektor dalam mematok harga, sangat dominan. Senang tak senang, para pelukis Indonesia pun sudah naik taraf hidupnya jika dilihat per-harga karyanya" (Jakarta-Jakarta, 1989: 9).
Akibat boom tersebut, para pelukis harus mampu bersikap profesional dalam mengelola teknik pemasaran karyanya. Semakin pintar bernegosiasi dengan berbagai kalangan “pesenang" lukisan, semakin terbukalah kesempatan menjadi kaya raya. Jakarta-Jakarta melontarkan pernyataan penting untuk menyebut keberadaan para pelukis masa kini dengan "Apa boleh buat, diam-diam tanpa disadari, agaknya memang sudah ada kebutuhan baru yang harus dipunyai seorang seniman. Yakni, teknik pemasaran, dan teknik negosiasi".

Salah satu akibat boom adalah pemalsuan lukisan. Begitu tergiurnya orang untuk memiliki karya seseorang, atau lebih tepatnya, tergiur oleh harga karya milik seorang pelukis, salah satu cara "termudah" untuk mendapatkannya adalah dengan jalan mengcopy karya yang diinginkan. Banyak lukisan palsu yang beredar di antara para kolektor. Tentu saja, pelukis yang mengetahui karyanya dipalsu orang lain, reaksinya bermacam-macam. Affandi, ketika mengetahui banyak lukisannya yang ditiru, hanya sekadar berkomentar: "Kasihan kolektornya menyimpan lukisan yang tak asli". Tetapi ada juga yang mencak-mencak hingga berusaha memperkarakannya. Namun kare-na perangkat hukum di Indonesia belum menunjang kebutuhan tuntutan perkara seperti itu, pemalsuan terus saja berlanjut tanpa takut tersangkut hukum.

Di samping itu, sejumlah pelukis, termasuk pelukis "kagetan" --karena berangkat dari lingkungan di luar seni lukis, di antaranya dunia sastra-- banyak yang memanfaatkan kondisi boom. Boom sendiri direspon oleh masyarakat penikmat seni Indonesia tertentu sebagai kesempatan baik untuk memiliki karya seni lukis. Tingkat kemampuan ekonomis sekelompok masyarakat negara Indonesia telah begitu tinggi. Terbukti, dalam berita lelang di Singapura, pembeli lukisan yang berharga lelang melangit adalah dari Indonesia. Hasil olah seni kini telah menjadi objek komoditi yang sangat menjanjikan. Tetapi, ketika karya bidang seni musik, tari, sastra, atau pertunjukan, biasa diuangkan tanpa masalah, benda-benda seni rupa masih tetap "dirahasiakan" nilai penjualannya. Padahal, para seniman telah menjadi teladan bidang ekonomi yang patut ditiru. Pendidikan seni telah terbukti bisa menjamin kemampuan ekonomis seseorang!

Sudjoko, yang prasarannya dimuat dalam majalan Budaja 6, Juni 1960, Tahun ke-IX, halaman 239-250, mengungkapkan tujuh hal yang bertalian antara masalah seni dengan bidang ekonomi. Ketujuh hal itu, jika kita periksa, masih relevan dengan kebutuhan perkembangan seni rupa (khususnya) dan ekonomi masa kini.

"I. Memperbanjak lapang usaha dan usaha dan kesempatan bekerdja
dengan sendirinja masuk dalam rentjana pembangunan ekonomi kita. Industri-industri ringan maupun berat harus ditambah dan didirikan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita, untuk mengurangi djumlah kebutuhan jang harus diimport, dan untuk melajani kebutuhan-kebutuhan luarnegeri. Disini seniman membantu dalam menjuburkan kehidupan perusahaan dan mempopulerkan "Buatan Indonesia" atau "Made in Indonesia". Disamping itu seni sendiri mendjadi sumber dan pentjipta suatu matjam kebutuhan setiap manusia, ialah kebutuhan akan seni.

II. Usaha-usaha untuk memperbesar dan mempertjepat penjaluran dan pendjualan barang banjak bergantung kepada seni. Propaganda berupa tulisan, gambar, pameran dan pementasan minta fantasi, pengetahuan dan tanggung djawab besar dari seniman.

III. Dalam memperbesar volume eksport tugas seni akan bertambah banjak sedjadjar dengan perkembangan industrialisasi dan usaha-usaha kita jang lain untuk mempergiat eksport. Selain dengan propaganda, maka seniman djuga membantu mempertinggi kwalitet barang dan memperbesar kepertjajaan luarnegeri kepada buatan-buatan kita.

IV. Tourisme Indonesia adalah sumber valuta aisng jang kini sudah mulai mendjadi perhatian sungguh-sungguh dari Pemerintah. Peranan seni disini tidak mungkin disangsikan lagi. Dunia luar dan touris asing harus kita pikat dengan seluruh kegiatan kita dalam dunia seni. Touris-touris Indonesia sendiri tentu akan turut meramaikan kehidupan ekonomi.

V. Memperbanjak ahli dalam segala bidang adalah kewadjiban mutlak bagi setiap negara jang ingin madju pesat. Disini sekali-kali tidak boleh dilupakan bahwa senimanpun adalah ahli, dan jumlah ahli da lam seni harus diperbesar dengan memberi kesempatan beladjar jang banjak didalam maupun keluar negeri.

VI. Seni bisa didjadikan alat untuk mendorong semangat bekerdja dan untuk mentjipta suasana senang bekerdja. Segala rentjana ekonomi akan gagal djikalau tidak ada kegairahan dan potensi bekerdja pada rakjat.

VII. Segala matjam kegiatan seni jang aktif maupun apresiatif  harus dipupuk terus menerus. Masyarakat jang berdjiwa seni adalah sumber manpower untuk keperluan pembangunan ekonomi".
(dikutip sesuai dengan ejaan aslinya)