Tuesday 30 June 2009

BAGAIMANA KELUARGA MENYIASATI TEKNOLOGI?

Oleh Jajang Suryana (Dimuat dalam Bali Post)

Perkembangan perangkat teknologi kita rasakan sangat pesat. Tahun 70-an, televisi masih dirasakan sebagai “kotak ajaib” yang hanya dimiliki orang-orang kaya tertentu saja. Atau, lebih ke belakang lagi, radio pun bisa dirasakan sebagai “benda aneh” yang bisa omong.

Kini, radio dan teve hanyalah benda amat biasa. Anak kecil pun bisa “menguasai” benda tersebut. Bahkan, ketika muncul komputer, itu pun kini telah menjadi benda lumrah. Begitu banyak anak yang telah berkenalan, malah sangat akrab, dengan dunia penikmatan hasil teknologi elektronik tersebut.

Menikmati radio di satu sisi hanya memberi kepuasan audio saja. Pendengaran adalah  perangkat utama yang digunakan oleh seseorang ketika menikmati acara radio. Interaksi pendengar, selain dilakukan lewat surat, kini, bisa dilakukan lewat pesawat telefon. Seorang penyiar yang disukai pendengar acara radio bisa “didekati” lewat sambungan telefon tersebut. Radio, dalam keterbatasan dan kelebihannya, hingga kini, masih banyak peminatnya, termasuk kelompok anak-anak.

Lebih lengkap dibanding radio, teve bersifat audio-visual. Penikmat acara teve bisa lebih lengkap merasakan kehadiran penyiar, penyanyi, pelawak, atau pun bintang film dan sinetron. Dalam proses interaksi antara penikmat dengan penyaji acara, seperti pada acara radio, bisa dilakukan lewat surat dan telefon. Namun penikmat acara bisa lebih lengkap menyaksikan penyaji acara secara visual. Lewat media massa jenis ini, banyak anak yang kemudian tergila-gila dengan bintang idola mereka. Salah satu jenis acara yang menjadi sumber peniruan bagi anak-anak adalah film kartun.

 

LEMBAGA PENDIDIKAN

Banyak ahli pendidikan yang kemudian percaya bahwa media teve bisa menjadi lembaga pendidikan. Sejalan dengan peran televisi sebagai media hiburan, maka materi tayangan pendidikan yang dikemas dalam acara teve juga harus bersifat menghibur. Seperti disebutkan oleh Eduard Depari, “jika unsur kemasan diabaikan, tidak mustahil tayangan tersebut akan kehilangan daya tariknya”.

Tentang besarnya pengaruh langsung acara teve kepada penonton cukup banyak bukti yang bisa diperhatikan di sekitar kita. Ketika teve swasta banyak menayangkan acara tele novela Mexico-an, begitu banyak ibu-ibu yang kemudian memiliki jadwal-tonton yang rutin. Jadwal tersebut tak bisa diubah. Tangisan dan keributan anak pada saat tayangan berlangsung, tidak akan bisa mengganggu acara menonton. Bahkan, anak-anaklah yang mendapat dampratan, karena dianggap mengganggu acara menonton tayangan kesukaan ibu. Kesukaan ibu-ibu dalam menonton berlanjut dengan munculnya film-film kungfu yang diwarnai cerita drama percintaan. Begitu pun ketika muncul pula cerita wayang (India), drama percintaan (Jepang), dan tak ketinggalan sinetron seri buatan dalam negeri sendiri yang kebanyakan tayangannya sama dengan tele novela.

Sama dengan ibu-ibu, anak-anak memiliki tayangan kesukaan yang khusus. Film kartun, aneka cerita, keluaran Jepang dan Amerika yang banyak ditayangkan di TVRI atau teve swasta, beberapa di antaranya kemudian menjadi cerita tungguan anak-anak. Semua tayangan, bisa dipastikan, ada nilai baik dan buruknya.       

Seorang ibu bercerita tentang anaknya yang sangat terpengaruh acara tayangan teve. “Anak saya pernah retak tulang kaki hingga harus operasi. Pasalnya, dia bergaya meniru jagoan kesukaannya di televisi. Dia meniru Superman yang bisa terbang. Terbanglah dia dari balkon rumah, hingga kakinya luka”.  Kasus itu adalah pengaruh langsung yang tergolong berat. Pengaruh langsung yang ringan-ringan saja, mislanya yang diceritakan ibu yang lain: “Karena kesukaan terhadap jagoan yang biasa ditonton di teve, anak saya memaksa harus membeli semua jenis asesoris yang berhubungan dengan tokoh jagoannya”.

Sisi positif menonton teve diungkapkan oleh seorang ibu. “Pengaruh baik yang kami perhatikan pada putra kami adalah selalu ingin menjaga atau melindungi seperti halnya pada perilaku tokoh jagoan idolanya”. Hal yang menarik adalah yang dialami oleh seorang ibu lain dengan anaknya yang masih usia pra-TK. “Pada waktu itu”, tulisnya, “anak kami masih di Play Group. Tentunya belum dapat membaca. Padahal, pada waktu itu, film-film kartun dialognya berbahasa darimana film itu diproduksi. Terjemahannya tertulis dalam bahasa Indonesia di bagian bawah layar. Kami secara bergiliran membacakan terjemahan tersebut. Tetapi suatu waktu, kami sibuk. Tidak ada satu pun di antara kami yang sempat membacakan terjemahan film yang ditonton anak kami.

Bertolak dari kekecewaan tadi, putra kami giat belajar membaca. Karena keinginan yang kuat, putra kami terus belajar. Pada usia sebelum 5 tahun anak kami, akhirnya, bisa membaca, membaca teks terjemahan film maupun koran, tanpa harus bergantung kepada orang tua”.

Maraknya aneka jenis video game, disusul dengan menjamurnya play station yang berbarengan dengan memasyarakatnya internet, menjadi lahan perluasan jenis hiburan, terutama, bagi anak-anak. Dunia maya, dunia yang dibangun dalam format digital, telah menjadi dunia penikmatan imajinasi anak-anak. Penemuan teknologi 3D yang semakin sempurna telah menolong para gamer untuk mengembara mengikuti hayalan para programer aneka jenis mainan.  

Dunia maya, dunia yang dibangun dalam format digital, pada dasarnya sejalan dengan pola imajinasi. Keinginan, hayalan, harapan, yang bentuknya cenderung mustahal sekalipun, bisa dikemas dalam bentuk nyata imajinasi, gambar digital. Salah satu bentuk gambar digital adalah mainan, game. Aneka mainan digital adalah pengembangan imaji yang telah diolah untuk kepentingan aneka tujuan. Tujuan baik, tentu saja, menjadi tujuan yang umum. Banyak software komputer misalnya, yang ditujukan untuk memudahkan proses pembelajaran. Pembelajaran dirancang menjadi interaktif lengkap dengan gerak (animasi), suara, dan bahkan komunikasi aktif antara mesin (komputer) dengan pengguna program. Tetapi, banyak juga software program komputer yang disisipi aneka tujuan buruk. Lebih khusus yang disebar lewat jalur website internet yang dikemas dalam bentuk program  freeware dan shareware.

 

Perkembangan teknologi dampak awalnya bertalian dengan kemaslahatan umat. Tetapi kemudian, kemajuan teknologi telah turut memajukan dan menganekargamkan jenis kejahatan. Tujuan buruk pun telah dikemas sedemikian rupa hingga tampilannya tetap terselubung dalam bungkus mainan. Kekerasan yang menjadi pola film animasi keluaran beberapa perusahaan software dan komik Jepang, misalnya, yang mengandalkan penyelesaian cerita dengan pembunuhan, sangat “disukai” oleh anak-anak kita.

 

Tentu, gaya cerita seperti itu, akan diserap dan ditimbun anak dalam memorinya. Mungkin cerita cenderung lebih lamban pengaruhnya kepada anak-anak. Tetapi, peniruan-peniruan gaya yang dilakukan anak-anak secara terus-menerus bisa menjadi langkah penguatan. Untungnya, masyarakat pengguna komputer di Indonesia masih belum jauh banyak seperti di negara-negara tetangga, apalagi di Barat. Pelaku pembobolan bank dan keamanan negara, seperti di Amerika, adalah anak-anak muda yang iseng-iseng menyusup ke dalam website bank dan biro keamanan negara. Belum lagi, para pembuat virus dan worm (istilah sejenis virus di internet), adalah para pemuda juga. Di Indonesia, baru sebatas pengaruh dunia cerita saja yang banyak diserap oleh kebanyakan anak-anak masa kini.  

 

Dunia robot  seperti pada cerita Pokemon dan Digimon, dalam batas-batas tertentu banyak memberi sumbangan imajinasi teknologis yang lumayan kepada anak-anak. Entah bagaimana kreatifnya para pedagang mainan anak-anak dalam memanfaatkan tokoh yang sedang digandrungi oleh anak-anak. Dunia Mickey Mouse, Donald Duck, Power Ranger, Ninja Hatori, dan Doraemon yang juga pernah diolah para pedagang, sedikit demi sedikit digeser oleh ketenaran para robot Pokemon. Buku tulis, buku bacaan, kartu mainan, permen, kancing tempel, tas sekolah, kaos anak-anak, alat-alat makan, bahkan pelapis tempat tidur dan bantal, semua dihiasi gambar tokoh-tokoh Pokemon. Orang tua tak bisa menahan hasrat anak-anak untuk secara terus-menerus melengkapi “koleksi” benda-benda kesukaan yang kemudian akan menjadi benda kebanggaan anak di antara lingkungan temannya. Lingkungan teman sebaya telah lebih kuat memberi pengaruh kepada mereka.  Apa yang bisa dimanfaatkan dari fenomena dunia hayal tersebut? 

 

 

PERLU BIMBINGAN

 

Arus pengaruh teman sebaya tak bisa dibendung oleh orang tua. Atau, kalau orang tua tetap mau membendungnya, pengaruh itu tetap juga akan luber tak terkendali. Lebih baik orang tua turut menyusun jalan-jalan penyalurannya, agar bah pengaruh itu bisa lebih sehat alirannya. Orang tua wajib peduli dengan kesenangan anak-anak. Kalau perlu, orang tua bisa melakukan diskusi dengan anak-anak tentang mainan-mainan kesenangannya.

 

Membiarkan anak mengeksplorasi dunianya adalah tindakan bijaksana. Tetapi, bimbingan, arahan, dan penyaluran merupakan kunci pengaman yang bisa dibentuk oleh orang tua. Orang tua adalah pengawas, pemilah, dan sekaligus fasilitator bagi kebutuhan eksplorasi anak. Biarkanlah anak mengurusi dunianya. Orang tua tidak bijaksana bila turut campur menentukan isi dunia anak. Jadilah wasit yang bertanggung jawab, yang bisa memfasilitasi lalu lintas imajinasi anak. Bukankah ketika kita, para orang tua, masih dalam usia anak-anak, kita selalu diberi kebebasan bermain, dan lahan bermain kita tidak pernah dijarah orang tua kita.

 

Meniru Komik, Menjaring Inspirasi

Oleh Jajang Suryana

Jurusan Pendidikan Seni Rupa, FBS-Undiksha

 

 

ABSTRAK

Kegiatan meniru selalu dituding sebagai perbuatan tidak terpuji. Penggubahan karya seni telah lama diukur dengan nilai kebaruan, keaslian, dan kelainan --nilai yang diusung tinggi-tinggi oleh para kaum modernis. Fitrah manusia adalah meniru. Banyak seniman tradisi yang lahir dan dibesarkan melalui kegiatan copy the master. Ketika Jepang telah menjajah dunia cerita komik Indonesia, banyak pekomik lokal yang tak bisa berkarya untuk mengembangkan dirinya. Anak-anak Indonesia, bakal pewaris komik gaya Indonesia, telah sibuk menjadi peniru gambar gaya manga. Berbahayakah kondisi itu? Lalu, siapa yang peduli dan mau bersungguh-sungguh memperhatikan kondisi itu?

 

Kata-kata kunci: meniru; copy the master; komik; manga

 

 

PENDAHULUAN

 

Plagiat adalah istilah buruk yang ditudingkan kepada para peniru. Seseorang yang merasa dirinya sebagai “seniman” --biasanya orang-orang kota, pekota[1]-- akan merasa sangat sakit hati jika diberi sebutan sebagai plagiator, peniru, pengopi, penjiplak, atau yang lebih gawat: pembajak! Sekalipun tidak bisa disangkal, sejak awal kelahirannya, manusia adalah peniru ulung. Hampir semua kemampuan manusia didapatkan melalui proses peniruan. Manusia adalah mahluk peniru. Satu pernyataan menarik pernah dikemukakan oleh seorang seniman Australia: “Di Bali, sekalipun kegiatan kesenian berangkat dari kebiasaan meniru-ulang karya, telah banyak melahirkan seniman besar”.

 

Kebiasaan meniru berawal dari masa kanak-kanak. Semua anak pada awalnya suka menggambar. Kegiatan menggambar-awal diyakini oleh para ahli psikologi sebagai bentuk kegiatan pematangan kemampuan motorik anak. Menggambar, pada kenyataannya, adalah kegiatan yang mengutamakan sinkronisasi antara kemampuan lihatan dan gerakan. Meniru bentuk merupakan unsur pokok kegiatan menggambar. Setiap manusia dibekali kemampuan menyesuaikan diri. Salah satu bentuk penyesuaian itu diupayakan dalam kegiatan peniruan. Oleh karena itu, gambar buatan anak-anak di samping sebagai hasil proses pematangan kemampuan lihatan dan gerakan, juga sebagai hasil peniruan terhadap temuan-temuan yang ada di linngkungannya.

 

PEMBAHASAN

 

1. Menyikapi Gunung-Kembar

Konon, sejak tahun 40-an, masyarakat sekolah di Indonesia telah mengenal gambar dengan format: gunung, jalan, laut atau sawah, dan pepohonan. Format gambar penuh keseimbangan komposisi atas-bawah tersebut sangat awet, sebagai sesuatu yang ‘klasik”, yang secara sinambung diturun-tirukan antargenerasi hingga masa kini. Ada gambar sepasang gunung-kembar, kadang-kadang diisi tiruan bentuk matahari yang “memancarkan cahayanya” menyembul di sela-sela gunung. Pada bagian langitnya, biasa, diisi gambar tiruan burung yang sedang terbang (Nyoman Tusan memprihatinkannya sebagai contoh pemiskinan bentuk yang diajarkan kepada anak-anak). Objek gambar tersebut memenuhi setengah bagian atas bidang gambar. Pada setengah bagian bidang gambar bawah digambarkan seruas jalan panjang yang lurus atau pun berkelok-kelok menuju satu titik hilang (biasanya pola gambar ini dipakai pula oleh guru ketika mengajarkan materi gambar perspektif[2]), di sisi kiri dan kanan jalan biasanya diisi jejeran pohon atau tiang listrik yang menampakkan kesan jarak, dimensi, jauh-dekat. Penyeimbang ruang kiri dan kanan bidang gambar bawah yang telah dibatasi gambar jalan, biasanya diisi tiruan bentuk sawah datar penuh padi yang baru ditanam (bentuknya berupa garis simpel, yang “mudah menggambarkannya”, terdiri atas tiga garis yang bertemu pada satu titik seperti bentuk mata panah yang mengarah ke bawah), atau tegalan luas sejauh mata memandang yang kadang diseling rumah dan pohon kelapa, bisa juga gambar laut atau danau dengan satu atau dua buah sampan dan pemancing ikan di atasnya.

Format isi gambar tadi bisa ditemukan pada gambar buatan anak-anak Indonesia. Anak-anak --usia taman kanak-kanak dan sekolah dasar-- normal maupun anak-luar biasa (anak slow learner maupun imbesil sekalipun[3]) bisa ditemukan menggunakan format gambar tadi. Jelas, hal tadi tidak bisa disebut sebagai  archetype[4] gambar anak-anak Indonesia. Penurunan dari guru, orang tua, maupun teman sebaya, tampaknya, lebih nalar jika ditunjuk sebagai sumber pangaruh terhadap kesukaan anak-anak Indonesia dalam meniru format gambar “gunung-kembar”.

Popo Iskandar sempat mengangkat permasalahan format gambar “gunung-kembar” itu dalam diskusi pendidikan seni rupa di Galeri Decenta, Bandung, 29 Agustus 1984. Popo berbicara bersama Adjat Sakri --waktu itu sebagai dosen senior di FSRD ITB, keduanya mempermasalahkan kegamangan pola pendidikan seni rupa Indonesia, terutama di tingkat dasar dan menengah. Mereka merasa heran dengan keberadaan format gambar “gunung-kembar” yang biasa muncul pada gambar buatan anak-anak Indonesia. Bahkan lebih jauh, pola itu bisa masuk juga ke dalam dunia gambar anak-anak luar biasa bagian C, anak tunagrahita atau anak-anak cacat mental. Menurut simpulan mereka, tampak bahwa pembelajaran seni rupa di sekolah-sekolah umum menunjukkan pola pembelajaran yang hampir sama. Pengaruh guru sangat kuat dalam mengarahkan anak untuk mencontoh pola yang dijejalkan guru sebagai “cara menggambar yang mudah”. Atau, Popo Iskandar memperkirakan, “kekuatan memori visual anak Indonesia memang luar biasa”. Lanjutnya: “Tanpa diajar oleh siapapun anak Indonesia mampu menggambar wayang idolanya di luar kepala. Maka juga gambar gunung yang terdapat di mana-mana, dengan mudahnya diserap mereka sebagai salah satu tema”.

Pola “gambar-mudah” yang lain pernah dimasyarakatkan oleh Tino Sidin[5] melalui tayangan program nasional TVRI. Karena pada waktu itu, akhir tahun 1970-an, TVRI baru merupakan satu-satunya program televisi yang bisa disimak oleh masyarakat Indonesia secara nasional, bisa dipastikan bahwa “ajaran” Tino Sidin telah menyebar dan diserap oleh para orang tua, terutama oleh guru-guru sekolah dasar dan menengah. Apa yang disampaikan oleh Tino Sidin, pada awalnya banyak dikhawatirkan oleh para pendidik seni rupa. Tino dianggap akan meracuni kreativitas anak-anak. Contoh-contoh yang dikemukakannya bisa saja dijadikan pola turutan, bentuk contohan bagi anak-anak sekolah dasar. Tetapi, ada satu bukti yang bisa dijadikan perbandingan, yaitu hasil penelitian mahasiswa Jurusan Pendidikan Seni Rupa FKSS-IKIP Bandung (kini, FPBS UPI Bandung) tentang pengaruh cara ajar Tino Sidin terhadap gambar buatan anak-anak sekolah dasar di Bandung. Penelitian dengan sampel terbatas untuk laporan karya tulis tingkat sarjana muda itu menunjukkan bahwa “ajaran” Tino Sidin terbukti kurang berpengaruh terhadap anak-anak. Oho Garha[6], pembimbing karya tulis mahasiswa tadi, memberi komentar bertolak dari hasil penemuan tersebut. Katanya: “Tino Sidin itu seperti tukang sulap”. Bisa dipastikan, apa yang didemonstrasikan oleh Tino memang sesuatu yang memukau, menarik pemirsa, menunjukkan bahwa menggambar itu sesuatu yang mudah dilakukan. Tetapi, kemudahan itu hanya untuk Tino saja.

Ada usaha-usaha tertentu yang dilakukan oleh para guru untuk memotivasi anak dalam menggambar. Seperti telah disinggung, tampaknya telah ditemukan pola-pola pemberian contoh yang dianggap “sangat memudahkan bagi guru” --guru yang tidak memiliki latar pendidikan seni rupa sekalipun-- untuk memberi motivasi berupa contoh kepada siswa dalam kegiatan menggambar. Motivasi dalam bentuk pengajaran dengan pola, sementara ini dianggap kurang memberi kesempatan berkembangnya sikap kreatif anak. Anak cenderung menjadi bergantung pada contoh yang diajukan oleh guru. Pembelajaran menggambar dengan pola telah dirasakan anak-anak sejak masa taman kanak-kanak. Anak-anak usia pra-TK yang memiliki kesenangan menggambar (lebih pantas disebut mencoreng), sangat terpengaruh oleh cara ajar tersebut. Mereka berubah sikap dalam kebiasaan menggambarnya. Banyak anak yang kemudian menjadi peragu, kemudian ketika menggambar cenderung banyak menggunakan penghapus, dan mulai menggambar pola “gunung-kembar”.

Tisna Sanjaya, pegrafis terkenal dari Bandung, dalam beberapa buah karya-grafisnya, menyertakan kerinduan masa kecil terhadap pola gambar “gunung kembar”. Tisna menempatkan pola gambar tersebut sebagai sebuah trade mark seni rupa Indonesia. Memang, Tisna menggarap pola gambar tersebut untuk memuaskan keinginan rasanya untuk menjunjung tinggi gaya “posmo”. Tetapi, tampaknya, bagi Tisna maupun bagi senirupawan yang lain, kenangan masa kecil itu tidak akan pernah hilang sebagai bagian penting dari proses pencarian yang pernah dilalui. Proses pencarian itu sering dilupakan banyak orang. Ketika seseorang telah menjadi seniman, seakan-akan mereka tidak pernah melalui masa pencarian, yaitu masa suka meniru. Meniru bentuk-bentuk pola gambar yang disukai, diminati bersama, di lingkungan anak-anak telah dianggap sebagai bahasa penerimaan antarteman sebaya, lebih khusus pada anak-anak usia 8-10 tahunan[7]. Bahkan sejumlah anak remaja memiliki kecenderungan yang sama, tentang peniruan bentuk-bentuk yang menjadi kesenangan mereka.    

Dalam batas-batas tertentu, sejumlah anak yang baru memasuki TK masih bertahan dengan pola gambar asli milik mereka. Tetapi, begitu banyak guru dan orang tua yang memakai kacamata orang dewasa dalam memberi komentar dan menilai gambar karya anak-anak. Keindahan dan kewajaran cara pandang orang dewasa sering dijejalkan kepada anak-anak yang --sesungguhnya-- memiliki dunia gambar yang berbeda sangat jauh dengan dunia gambar orang dewasa. Sebagian anak kemudian mulai “sadar” bahwa gambar yang dibuatnya “tidak mirip dengan bentuk-bentuk yang diinginkan orang dewasa”. Oleh karena itu, penggunaan karet penghapus kerap muncul sebagai gambaran ketidakyakinan atas bentuk-bentuk yang digambarnya. Atau, mungkin juga, pada kasus khusus, anak-anak tadi merasa penasaran dan ingin menjajal penggunaan alat baru yang “aneh”, yaitu alat yang bisa menghapus garis-garis atau bentuk-bentuk yang pernah dibuatnya.

Banyak kasus muncul dalam menyikapi gambar karya anak-anak. Salah satu bentuk kasus yang kerap tampil mengemuka adalah ketika berlangsung lomba menggambar bagi anak-anak usia TK dan SD kelas rendah. Banyak juri menggunakan timbangan orang dewasa untuk menilai karya anak-anak yang dilombakan. Tolok ukur kemiripan bentuk dengan yang ada di alam sebagai bahan contohan, atau kepantasan yang mengacu timbangan pikiran orang dewasa, kerap dipakai sebagai alat ukur dalam menetapkan nilai dalam menentukan juara lomba. Di kelas, begitu pula keadaannya. Guru kerap menilai karya muridnya tanpa paham posisi tingkat perkembangan gambar anak. Sehingga, gambar yang dibuat oleh anak-anak sangat “tidak mungkin” mendapatkan nilai 10 (peringkat penghargaan hasil kerja tertinggi) dari gurunya[8]. Kemustahalan nilai 10 itu telah menjadi “standar” nilai yang dipertahankan pada tiap jenjang sekolah. Bahkan di perguruan tinggi seni rupa pun seorang mahasiswa akan sangat sulit untuk mendapatkan nilai tertinggi tersebut. Karena, terkait dengan penilaian aneka jenis keterampilan, ada anggapan buruk yang sangat menyesatkan, bahwa “nilai 10 hanya untuk guru”. Tetapi, ketika sistem penilaian di PT berubah menjadi standar huruf (A-E), kesempatan untuk mendapat nilai A bagi mahasiswa seni rupa lebih terbuka lebar. Walaupun pada kenyataannya, nilai A tersebut belum tentu nilai 10, nilai tertinggi, karena ada ketentuan bahwa rentangan nilai yang bisa dikategorikan A adalah antara nilai angka 8,5 hingga 10.


2. Copy the Master


Dalam pola pikir Barat Modern, karya seni bisa lahir berawal dari konsep. Ini yang sering dituntut oleh para penganut faham berkesenian cara pikir bangsa Barat. Untuk berkarya seni, seseorang harus bisa melewati tahap-tahapan "kelas" kemampuan. Untuk belajar melukis, misalnya, seseorang harus belajar secara bertahap: garis dan bentuk, kemudian anatomi, perspektif, warna, komposisi, dan lain sebagainya.

 

Hal yang sangat berbeda dengan konsep Barat Modern, adalah pembelajaran yang hidup dalam tradisi-tradisi besar di semua belahan dunia seni rupa, yang sangat erat dengan kegiatan peniruan. Proses peniruan diperlakukan orang sebagai jalan-antara dari tingkat pemula menuju tingkat mahir. Di Cina masa lalu misalnya, seseorang yang ingin menjadi pelukis harus bisa meniru lukisan seorang master. Setelah berulang kali meniru lukisan contoh, ia pun akan menemukan karya lukis yang kemudian bisa dijadikan master baru untuk ditiru yang lain. Dalam mempelajari teknik brushwork, para pelukis China dan Jepang mengkopi lukisan-lukisan master tua kawakan[9]. Mereka melatih keterampilan tangannya dengan mempelajari “tatabahasa lukisan”. Para seniman akademisi China dan Jepang melakukan peniruan dengan yang cara berbeda, cara tiru mereka lebih sulit untuk ditelusuri. Teknik yang mereka gunakan dikenal dengan sebutkan lukisan yang dilabeli in the manner of .... Misalnya, “Li Ch’eng’s manner by Wang Hui”; “painted in the manner of Ni Tsan”. Bahkan, peniruan tersebut lengkap juga dengan penjiplakan inskripsi dan tanda tangan pelukis asli, yang kemudian “diakui” sebagai kopian yang “bonafid” oleh para forger (pemalsu). Metode copy the master ini, tampaknya, berlaku juga dalam cara didik masyarakat kesenian tradisi di Bali. Banyak seniman besar Bali yang lahir dari proses kegiatan meniru. Begitu pun banyak seniman besar China yang lahir dari proses yang sama. Pematung Dani, Pematung Afrika, juga lahir dari proses peniruan.

 

Dalam perjalanan penggubahan, para seniman kebanggaan kaum modernis sekelas Pablo Picasso, Georges Braque, Charles Ẻdouard Jeanneret, dan Amẻdẻẻ Ozenfant, pada periode tertentu menggubah tema dan bentuk-bentuk yang sama: still life yang dipadu dengan violin, pitcher, glass, bottle, lantern dan guitar. Pada periode lain, gaya cubist yang sama digarap oleh Fernand Lẻger, Pablo Picasso, dan Juan Gris. Dan, Vincent van Gogh pun pernah mengkopi, menjiplak, karya woodcut seniman Jepang Ando Hiroshige[10]. Apakah pola peniruan tersebut masih sejalan dengan faham para modernis yang mengagungkan “kebaruan, perubahan yang terus-menerus, dan anti peniruan”? Pola pikir progress (kemajuan) dan newness (kebaruan) lebih dimotori oleh kondisi perkembangan benda-benda teknologi, dan hal ituah yang kemudian diadopsi oleh para senirupawan Barat dalam memilih sikap dan tanggapan. Termasuk dalam menyikapi kehadiran karya-karya mereka. Revolusi Industri telah menjadi tenaga dorong yang sangat kuat bagi para modernis. Mereka mengacu mesin dalam mengejar perubahan, perbaikan, pencarian, dan penerapan sifat-sifat, yang kemudian menghilangkan ciri-ciri kemanusiaan. Dan ternyata, kaum pos-modernis[11] lebih “rasional” dibanding kaum modernis. Pada kondisi tertentu mereka melonggarkan dorongan kebolehan meniru yang sangat manusiawi. Bahkan, tampak sekali pada perkembangan desain produk teknologi tinggi, yang kerap dibanggakan kaum modernis karena mengusung sifat kemajuan dan kebaruan. Bisa diperiksa fenomena kemiripan-kemiripan yang tampak pada perangkat elektronik seperti model televisi, komputer, pemutar CD/VCD/DVD/CD-R/CD-RW/DVD-R/DVD-RW/Blueray, tape-recorder, hifi, dan sejenisnya. Juga model kendaraan bermotor yang hybrid. Meniru, di sini, telah menjadi trend dalam memunculkan edisi-edisi produk yang periodik.           

 

Meniru adalah kemampuan awal yang mendasari semua keterampilan manusia. Jika manusia dibairkan hidup sendiri tanpa manusia lain yang bisa ditirunya, boleh jadi peniruan akan dilakukan juga kepada sesuatu yang ada di dekatnya. Hayalan tentang manusia-manusia yang “terjauh” dari manusia lainnya, dikemas oleh para seniman komik seperti dalam cerita Tarzan, yang kemudian ditiru juga dalam versi lingkungan tertentu lainnya. Perlu dilakukan penelitian, berapa persen keterampilan yang dimiliki manusia yang diperoleh melalui cara meniru. Malahan, sejatinya manusia adalah mahluk yang tak pernah berhenti meniru. Artinya, tidak perlu dipermasalahkan apalagi memastikan bahwa meniru adalah bentuk kegiatan yang “memalukan atau bernilai rendah”. Kelengkapan perangkat pikir yang telah dianugerahkan Allah kepada semua manusia, kemudian akan menjadi perangkat pilih, pilah, pisah, dan rangkum, semua hasil perilaku meniru yang pernah dilakukan oleh manusia. Manusia mampu menetapkan perubahan-perubahan yang bermakna dalam mengolah pengalamannya. Oleh karena itu, kegiatan meniru adalah salah satu proses pencarian, proses penggubahan, proses pengayaan pengalaman yang penting dalam rangkaian tindakan manusia untuk mengembangkan dirinya.

 

3. Mengapa Komik?

 

Gambar buatan anak-anak sangat menarik untuk dibicarakan. Rhoda Kellog[12] pernah mengumpulkan lebih dari satu juta gambar buatan anak-anak. Dia merumuskan simpulan dari hasil pemantauannya terhadap gambar-gambar yang dikumpulkannya, bahwa semua gambar buatan anak-anak menunjukkan ciri yang universal, paling tidak, dalam tema dan objek gambar. Simpulan Kellog tersebut bisa dilengkapi dengan penemuan Primadi Tabrani[13] yang membandingkan antara gambar-gambar yang dibuat oleh anak-anak, masyarakat primitif, dan masyarakat tradisi. Simpulan yang dikemukakannya menunjukkan bahwa gambar anak-anak, masyarakat tradisi --dalam hal ini yang dijadikan bandingan adalah gambar berupa relief Lalitavistara pada dinding candi Borobudur dan gambar wayang beber Jaka Kembang Kuning-- dan gambar karya masyarakat primitif, memiliki kesamanaan cara ungkap. Bisa diajukan pertanyaan yang melengkapi tesis keseduniaan: apakah simpulan yang dikemukakan Primadi itu cukup untuk menunjuk tentang adanya kategori keseduniaan yang lain?       

 

Daya tarik gaya gambar anak-anak masa kini terletak pada penampakan pengaruh arus besar cerita komik, baik pengaruh gaya Walt Disney, Warner Bros, dan terutama pengaruh dari bah cerita Jepang. Pengemasan yang apik dan menarik cerita komik Jepang yang dibarengi dengan tayangan di televisi maupun VCD lepasan yang gampang dibeli atau disewa oleh masyarakat, telah menjadi jalan “bebas hambatan” bagi banyak anak untuk berkenalan dan menyukainya. Tokoh-tokoh yang bernama asing di telinga anak-anak Indonesia, mengikuti waktu, telah menjadi biasa. Bahkan lagu tema yang menyertai tayangan anime[14] pun telah banyak dihafal oleh anak-anak sebagai perekat kesukaan mereka terhadap tokoh-tokoh yang mereka gandrungi. Perhatikan, betapa mereka bersuka cita ketika menggambar tokoh-tokoh kesukaan mereka sambil menyanyikan lagu tema anime yang biasa mereka tonton! Komik, mau tidak mau, telah menjadi “buku acuan” bagi anak-anak masa kini ketika mereka membuat gambar.

 

Sebagai “buku sumber”, posisi komik menjadi menarik. Hal yang kerap dikedepankan oleh sejumlah pembahas teori seni rupa adalah mempertanyakan posisi komik di antara karya-karya seni rupa lainnya. Membahas komik, dalam tulisan ini, tidaklah menyimpang, karena komik telah menjadi sumber inspirasi yang dimasukkan ke dalam banyak gambar buatan anak-anak. Oleh karena itu, pada bagian tulisan ini, selintas perlu dikaji juga permasalahan komik untuk melengkapi penyikapan kita ketika membahas gambar karya anak-anak yang telah banyak dipengaruhi oleh cerita dan gaya gambar dalam komik.

 

Komik termasuk karya gabungan. Beberapa kegiatan seni bisa muncul di sana. Seni rupa sebagai induk kegiatan utamanya (seni gambar, seni ilustrasi, dan seni grafis), dipadu dengan unsur seni sastra. Tetapi banyak kalangan teoretisi seni rupa maupun sastra enggan memasukkan komik ke dalam kategori seni utama. Dalam teori seni rupa Barat ada pemilahan kelompok seni rupa dalam dua bentuk: seni murni (terjemah dari pure art), sering juga disebut dalam kelompok seni utama (major art), dan seni terap (applied art) atau yang digolongkan sebagai seni remeh (minor art). Dalam aneka bahasan buku seni rupa yang menjadi buku acuan, yaitu buku-buku yang ditulis oleh pengarang Barat, pola bahasannya lebih mengutamakan bahasan jenis seni rupa yang dikategorikan seni murni[15]. Oleh karena itu, jenis hasil kegiatan maupun teori tentang seni yang tidak termasuk kelompok seni murni, kurang banyak dibahas.

 

Myers[16] menulis dalam salah satu bukunya yang kerap diacu sebagai sumber teori seni rupa Barat, yang termasuk kelompok seni murni hanya bidang-bidang kegiatan “painting, sculpture, architecture, prints, and drawing”. Sejalan dengan Myers, para penyusun ensiklopedi seperti dalam Chamber’s Encyclopedia[17], Collier’s Encyclopedia[18], dan The Encyclopedia Americana[19], beberapa bagian bahasannya mengupas pengelompokan seni rupa ke dalam rumpun seni utama dan seni remeh. Sekalipun prints (seni cetak) dan

drawing (seni gambar) menjadi bagian utama kegiatan pembuatan komik, dalam pembahasan seni cetak dan seni gambar tidak sekalipun menyinggung bahasan komik.

 

Dalam perjalanan seni lukis modern, pelukis pop asal Amerika, Andy Warhol, mengangkat potongan-potongan gambar dari bagian cerita komik terkenal di Amerika. Kemudian potongan gambar (frame, sequence) itu ditiru-besarkan di atas kanvas. Perbuatan Warhol sempat mengundang polemik besar dalam menyambut atau menolak gerakan seni rupa pop. Tetapi, apa yang telah dilakukan oleh Warhol tidak bisa menempatkan komik (sebagai bagian ungkapan yang diangkat Warhol) secara utuh masuk ke dalam kelompok seni murni, atau sekadar mengangkat komik menjadi bahan bincangan penting. Komik masih tetap pada posisi sebagai karya seni rupa “remeh” dan karya seni sastra “murahan”.

 

Yang termasuk kategori seni remeh, menurut teoretisi seni rupa Barat, banyak sekali, yaitu jenis kegiatan seni rupa di luar kelompok seni murni, seni utama. Myers menulis sebagai berikut: “minor or applied art: furniture, textiles, ceramics, etc”, tanpa terlalu banyak memberi kupasan. Pengabaian bahasan tadi, tampak juga dalam sejumlah buku lain yang telah menjadi buku acuan utama teori seni rupa Indonesia. Oleh karena itu, sulit sekali untuk menemukan buku yang isinya merupakan bahasan mendalam tentang seni-seni terapan ini, yang digandengakan dengan bahasan seni murni. Komik, sebagai kelompok seni remeh, berada pada posisi tersebut, pemosisian yang kurang memperhitungkan keberadaannya.

 

Yang menarik adalah sikap penulis buku antropologi seni. Para penulis buku ini tidak

memilah seni rupa berdasarkan murni-terap atau utama-remeh. Semua jenis seni rupa dibahas secara lengkap sebagai kajian yang memiliki kesamaan posisi. Hal yang sama bisa kita temukan juga dalam bahasan-bahasan sosiologi seni. Pengelompokan murni-terap atau utama-remeh dalam seni rupa berawal dari sikap penghargaan terhadap kelompok pelaku seni. Pelaku seni murni adalah para pekota, pelaku seni akademisi. Mereka penentu kebijakan-kebijakan teori seni, karena merekalah yang menulis buku acuan seni. Sikap para teoretisi seni rupa, khususnya, kurang memiliki penghargaan yang baik terhadap para pelaku seni non-akademisi. Oleh karena itu, muncullah penyebutan yang berbeda antara pelaku seni akademisi dengan non-akademisi. Di dunia seni rupa Barat kental sekali pembedaan tersebut, yang bersumber dari pembedaan kelas sosial pelaku seni. Teori seni rupa Barat dengan segala latar belakang kondisi budayanya, diserap secara lengkap oleh para ahli teori seni rupa Indonesia.

 

Istilah seniman dan perajin lahir dari pembedaan kelas sosial pelaku seni rupa. Seniman, terjemah dari kata artist, adalah sebutan untuk pelaku seni akademisi, orang kota. Sebaliknya, perajin yang merupakan padan kata dari craftsman, adalah untuk menunjuk pelaku seni non-akademisi, kebanayakan orang desa. Begitu di Barat, begitu juga di lingkungan masyarakat seni Indonesia. Pekomik, dalam teori seni rupa Indonesia hanya dihargai sebagai perajin saja, yaitu pelaku seni yang karyanya terkait dengan urusan pesanan, jual-beli, dan sejenisnya. Alasan itulah yang kerap ditunjuk sebagai pembeda antara kegiatan kelompok yang mengaku seniman dengan perajin.

 

Padahal, yang mengaku sebagai seniman, pelaku seni murni, pengusung seni utama, sejak masa boom seni lukis tahun 1980-an[20] hingga kini, sibuk mengatur strategi penjualan karya. Mereka adu pintar mengatur strategi pasar melalui kurator, galeri, dan media massa. Menjual karya, yang dahulu dianggap "aib bagi seniman" dan menjadi titik pembeda yang mereka kedepankan sebagai dinding pemisah antara mereka dengan para perajin, malah kini mereka banggakan sebagai suatu keberhasilan!

 

4. Komik dan Gambar Buatan Anak-anak

 

Pada tahapan tertentu anak-anak usia sekolah dasar menggambar dengan cara meniru. Mereka ingin menguasai cara menggambar objek secara mirip. Dalam beberapa hasil observasi di lapangan, anak usia 5-9 tahun, suka meniru gambar dalam buku bacaan,

gambar buatan temannya, atau juga gambar tokoh-tokoh cerita yang sangat disukainya. Anak-anak tertentu yang memiliki pembawaan khusus, pada usia 2,8 tahun sudah bisa meniru gambar tokoh cerita yang sangat disukainya[21].

 

Kesenangan meniru gambar tokoh cerita kesukaan, pada saat tertentu, dihambat oleh perkembangan nalar yang semakin realis. Pertimbangan mirip dan tidak mirip mulai muncul menjadi penghambat tingkat ekspresivitas anak dalam menggambar. Sejumlah anak yang kurang percaya diri mulai suka menghapus gambar karyanya. Memang, irama

perkembangan masing-masing anak tidak ada yang sama persis. Semua anak memiliki jalur perkembangan motorik yang berbeda. Seakalipun kesukaan akan gambar pada kebanyakan anak bisa dikatakan seragam pada usia yang sama, namun karena keragaman irama perkembangan tadi menyebabkan perbedaan-perbadaan intensitas perhatian anak terhadap kegiatan menggambar. 

 

Meniru, ternyata, bukan hal yang membahayakan kegiatan anak dalam menggambar. Alasan ‘pengagungan’ nilai kreativitas seringkali dipakai oleh para guru, teoretisi pendidikan seni  rupa, atau para pembina sanggar. Meniru adalah “perbuatan yang tidak kreatif”, itu tesis awal yang kerap diusung oleh para ahli pendidikan seni rupa, lebih khusus mereka yang lebih dalam mengenal psikologi. Hal itu bersumber dari paham kaum modernis yang mengutamakan nilai kebaruan. Kemudia muncul tesis pengganti yang berisi pernyataan bahwa “kreativitas adalah kemampuan mengorganisasi aneka pengalaman --termasuk pengalaman dari hasil meniru-- menjadi bentuk yang baru”. Isi pernyataan tadi, tampaknya, dipengaruhi perilaku para teknokrat Jepang yang gemar menggubah sesuatu berdasarkan sumber acuan campuran, yang karya-karyanya berupa benda-benda elektronika dan kendaraan telah merajai dunia. Dan, hal itu, kini telah menjadi sesuatu yang dianggap lumrah, bahkan dianggap main trend.

 

Anak-anak, secara normal, mengikuti pola peniruan itu tanpa beban. Pola peniruan bisa beragam bentuk. Ada peniruan dengan mengandalkan pola ingatan. Ada juga pola peniruan dengan menggunakan ‘sumber acuan’ yang visual, tak perlu diendapkan dahulu di dalam ingatan. Bahan tiruan bisa berubah setiap masa, bergantung kepada sesuatu yang menjadi sumber inspirasi mereka. Ketika cerita tradisi seperti wayang masih menguasai bahan cerita yang disukai oleh anak-anak, tokoh-tokoh cerita itulah yang menjadi sumber acuan. Anak-anak bisa melihat gambaran tokoh wayang dari bentuk visual pertunjukan wayang kulit, wayang golek, atau pun wayang orang. Pada kondisi selanjutnya, ketika buku bacaan mulai banyak dikenal oleh anak-anak, gambar-gambar yang ada pada buku itulah yang menjadi salah satu sumber acuan.

 

Sebuah penelitian tentang gambar yang dibuat oleh anak-anak Bali, sebagai bahan yang bisa melengkapi bahasan ini, adalah yang pernah dilakukan Jane Belo tahun 1937-an (dalam Ihromi)[22], cukup menarik sebagai bandingan awal keberadaan gambar buatan anak-anak Bali. Belo mengumpulkan 20 orang anak dari Desa Sajan, Kabupaten Gianyar, Bali. Anak-anak yang menjadi sasaran penelitian Belo terdiria atas anak usia 3 sampai 10 tahun. Fokus penelitian Belo adalah bagaimana anak “belajar menyukai cara melukiskan sesuatu bukan menurut cara yang diinginkannya, akan tetapi menurut cara yang sudah biasa dalam masyarakatnya”. Artinya, Belo ingin melihat bagaimana tradisi

pewarisan atau pentransmisian cara melukis di lingkungan anak-anak Desa Sajan.

 

Gambar buatan anak-anak Desa Sajan yang berhasil dikumpulkan oleh Belo, semuanya bertema lingkungan. Bangunan pura, kegiatan upacara keagamaan, acara sabung ayam (acara tabur rah yang merupakan arena adu ayam bertaji pisau), tokoh-tokoh cerita wayang (Mahabharata dan Ramayana), Rangda dan Barong (dua tokoh hitam-putih dalam cerita tradisional Bali), dan sejumlah tema gambar lainnya, tampak dalam gambar yang dikumpulkan oleh Belo. Selanjutnya Belo melaporkan, sekalipun anak-anak itu menggambarkan tokoh yang cenderung sama, namun tidak ada satu orangpun yang berusaha meniru hasil gambar temannya. Mereka asyik menggambar dengan cara dan gayanya masing-masing.

 

Belo menyimpulkan bahwa gambar buatan anak-anak hingga usia 4 tahun “tidak terlalu menunjukkan perbedaan kecenderungan-kecenderungan yang khas bagi kebuadayaannya tetapi sesudah umur itu dengan cepat sekali kelihatan, kecenderungan-kecenderungan yang khas bagi kebudayaan mereka”. Universalisme (keseduniaan) yang bisa digunakan sebagai patokan perkembangan gambar anak-anak, seperti dalam pernyataan Belo, hanya ditemukan pada anak-anak dengan usia prasekolah saja. Oleh karena itu, sebagai kenyataan di lapangan, begitu banyak anak yang baru masuk sekolah taman kanak-kanak, telah berubah kebiasaan menggambarnya.

 

Tahun 1950-an awal, Nyoman Tusan pernah melakukan pengumpulan gambar buatan anak-anak dari desa Bali Aga[23] Sembiran. Gambar-gambar yang dikumpulkan oleh Tusan dari Sembiran, sebagian isinya menunjukkan keumuman gambar buatan anak-anak Bali yang lingkungannya dikelilingi bangunan pura beratap tumpang meru. Beberapa gambar yang dibuat oleh anak-anak Sembiran itu, juga berisi bentuk-bentuk senjata tajam seperti golok dan pedang. Bentuk-bentuk itu pun digambar anak-anak berdasarkan peniruan terhadap upacara tradisi milik masyarakat Sembiran.

 

Gambar-gambar yang dikumpulkan oleh Belo dan yang dihimpun oleh Tusan, berasal dari masa dan tempat yang relatif jauh berbeda, tetapi isi gambar cenderung sama. Anak-anak Bali mengangkat citra tentang lingkungan mereka sebagai tema gambar, dari lingkungan nyata yang setiap hari mereka saksikan, maupun yang tidak nyata seperti dari dongeng dan cerita keagamaan yang kerap mereka dengar. Pada lingkungan tertentu di Bali, sekalipun banyak contoh lukisan yang telah dibuat oleh seniman-seniman dewasa, lukisan tersebut --dalam batas tertentu-- hanya sebagai pendorong minat bagi calon-calon seniman. Mula-mula anak-anak meniru tokoh tertentu yang mereka sukai, yang telah digambar oleh orang-orang dewasa di sekelilingnya. Seniman-seniman dewasa tidak memaksakan kehendak kepada anak-anak untuk meniru gaya maupun tema yang telah mereka garap.

 

Kini, ada jenis cerita baru yang lebih menarik bagi anak-anak Bali maupun bagi anak-anak lain di Indonesia. Jenis cerita ini adalah komik, film kartun, maupun jenis-jenis mainan buatan masyarakat Jepang lainnya, yang dikemas lebih menarik dan sejalan dengan situasi anak-anak masa kini. Cerita-cerita kemasan Jepang ini telah mulai mendesak lingkungan asli anak-anak Indonesia. Banyak gambar buatan anak-anak Indonesia yang telah berganti tema dengan tema utama dunia robot, dunia ninja, maupun tokoh-tokoh baru ciptaan masyarakat asing. Semua itu merupakan hal yang sangat menarik sebagai bahan kajian bidang seni rupa anak-anak Indonesia masa kini. Lingkungan, sebagai sumber gagasan, sebagai perangsang daya cipta, sebagai bahan tiruan, bisa berupa cerita tradisional, kebiasaan orang-orang dewasa di sekelilingnya, dan kini, buku bacaan dan aneka tontonan dalam media rekam.      

Sejumlah pakar pendidikan dan budayawan merasa risih dengan perubahan perilaku anak-anak masa kini (tahun 2000-an) yang lebih suka menirugambarkan Crayon Shinchan, Doraemon, Mickey Mouse, Donald Duck, Peter Pan, Detektif Conan, dan sederet tokoh cerita asing --kebanyakan dari cerita Jepang-- daripada menggubah bentuk tokoh Arjuna, Bima, Gatot Kaca, dan sejumlah “tokoh cerita pribumi” lainnya. Pada tahun 1970-an pernah terjadi kondisi yang hampir sama. Anak-anak angkatan tahun 70-an suka meniru tokoh-tokoh komik seperti Gundala, Godam, Pangeran Mlaar, Maza --tokoh-tokoh cerita komik lokal yang terinspirasi cerita super hero dari Eropa dan Amerika-- maupun Superman, Batman, Spiderman, Tarzan, The Flash, dan masih banyak tokoh komik asing lainnya. Hasilnya, tertnyata, banyak juga anak-anak masa 70-an yang kini telah berhasil

menjadi senirupawan terkenal. Belum ada bukti bahwa kegiatan meniru gambar[24] pada masa kecil menjadi penghambat kreativitas seseorang dalam kegiatan kesenirupaan pada masa dewasanya.

Orang dewasa kerap beranggapan bahwa meniru bagi dirinya --bukan untuk anak kecil-- adalah kegiatan menggali inspirasi. Eksplorasi bentuk dalam proses peniruan kerap mereka sebut sebagai proses kreatif. Pada proses ini, sumber inspirasi dan jalan penggalian inspirasi yang digunakan bisa beragam. Pencarian dalam dunia sastra mungkin bisa dilewati dengan jalan merenung, di samping kegiatan aktif menulis. Dalam dunia seni rupa pencarian itu bisa berupa kegiatan membuat sketsa, membentuk, merangkai, dan meniru.

Pada saat anak-anak memasuki masa meniru gambar ‘yang sangat berat’, yaitu pada waktu anak-anak sangat bergantung kepada gambar buatan orang lain sebagai bahan tiruan, memang tampak ‘keburukan’[25] yang oleh orang dewasa sering disebut sebagai pengaruh negatif dari kegiatan meniru. Anak-anak tertentu yang memiliki pembawa khusus bidang seni rupa, juga pernah melewati kondisi tadi. Masa seperti itu tidak berlangsung lama. Pada waktunya anak-anak bisa kembali ke dalam kondisi keaslian masa kanak-kanak yang penuh dinamika dalam kegiatan menggambar, yang oleh Read[26] ditunjuk sebagai sifat ‘naivety’, yang bersumber dari ‘the innocent eye’. Namun, katanya: “Tidak semua gambar hasil karya anak-anak bersifat ‘naif’, bahkan banyak di antaranya yang menunjukkan ‘kepiawaian’ atau ‘kerumitan’. Tetapi ketika kita mengenal sifat ‘naif’ pada gambar yang dibuat oleh anak, kita menunjuk hal itu sebagai pertanda khusus tentang kekhasan anak-anak”.

Read malah secara tegas tidak membedakan secara estetis antara gambar yang dibuat oleh anak-anak dengan gambar yang dibuat oleh orang dewasa, seniman. Dia hanya menunjuk adanya perbedaan dalam daya dan koordinasi otot, yang biasa disebut dengan ungkapan ‘keterampilan teknis’. Dikemukakannya: “Sejauh keterampilan teknis itu adalah kecakapan yang memadai untuk mengekspresikan tanggapan mental atau perasaan, ia akan memberi sumbangan kepada nilai estetis kegiatan berolah rasa. Itulah sebabnya, membidarakan metode-metode peningkatan keterampilan itu menjadi sesuatu yang dianggap penting. Pada sisi yang lain, masalah proses pematangan yang bersesuaian dengan tuntutan keterampilan diperlukan anak dalam memasuki tingkat perkembangan tertentu. Keterampilan berkembang melalui kegiatan menggambar, bukan kegiatan menggambar dikembangkan melalui keterampilan. Keterampilan menggambar yang matang yang dimiliki anak usia 15 tahun, akan jauh lebih dari cukup untuk menggambar ‘skema’ yang biasa dibuat oleh anak-anak usia 5 tahun”. 

SIMPULAN

Meniru dalam kegiatan menggambar yang dilakukan oleh anak-anak hanyalah sebagai upaya pencarian, penjaringan inspirasi, dan pelatihan hal-hal yang bersifat teknis. Apapun bentuk acuan yang dijadikan sasaran tiruan: komik, film kartun, karya teman, maupun karya orang dewasa dan kejadian sebenarnya, pada waktunya semua itu hanyalah sebagai upaya menjaring inspirasi, proses kreasi, atau pendorong munculnya bentuk-bentuk kreativitas anak yang baru.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anonim. 1986. 3rd ASEAN Exhibition of Children’s Art. Katalog Pameran. Thailand: Amarin Press

"Art", Chambers's Encycloedia, Vol.1. London: George Newnes Limited

"Art", Collier's Encyclopedia, Vol.2. Canada: MacMillan Educational Corporation

"Art', The Encyclopedia Americana, Vol.2. New York: American Corporation

Ihromi, T.O. (Ed.).1986.   Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia

Iskandar, Popo.1984. Kreativitas Anak dalam Menyerap Lingkungannya. Makalah disampaikan pada Seminar Seni Rupa Anak-anak di Studio Decenta Bandung

Jajang S.1984. Latihan Sosialisasi Anak Terbelakang Melalui Kerja Kelompok Seni Rupa. Skripsi S1 (tidak diterbitkan) pada Jurusan Pendidikan Seni Rupa, FKSS-IKIP Bandung

Jung, Carl Gustav.1986.   Menjadi Diri Sendiri. Terjemahan Agus Ceremes. Jakarta: Gramedia

Kellog, Rhoda. 1967. The Psychology of Children’s Art. New York: CRM, Inc.

Maesaroh, Dede. 1984. Gambar Karya Anak-anak Terbelakang. Skripsi S1 (tidak diterbitkan) pada Jurusan Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan, FKSS-IKIP Bandung

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Pos-modernisme dan Kita : Refleksi Tentang Budaya Kontemporer. Makalah disampaikan dalam Seminar Posmodernisme dan Kita, Fakultas Pendidikan Bahasa Dan Seni, IKIP Negeri Singaraja

Read, Herbert.1958. Education Through Art. New York: Pantheon Book Inc.

Read, Herbert (Ed. Committee). 1965.   The Book of Art, Impressionist and Post-Impressionist. Vol. 7. London: Grolier Inc.

Read, Herbert (Ed. Committee).1965. The Book of Art,Chinese and Japanese Art. Vol. 9. London: Grolier Inc.

Sakri, Adjat.1984. Masalah Pendidikan Seni Rupa. Makalah disampaikan pada Seminar Seni Rupa Anak-anak di Studio Decenta Bandung

Sudjoko. 1991. Dunia Seni Rupa. Makalah pada Seminar Nasional Pendidikan Seni dan Globalisasi Budaya di ISI Yogyakarta

Tabrani, Primadi. 1991. Meninjau Bahasa Rupa Wayang Beber Jaka Kembang Kuning dari Telaah Cara Wimba dan Tata Ungkapan Bahasa Rupa Media Ruparungu Dwimatra Statis Modern, dalam Hubungannya dengan Bahasa Rupa Gambar Prasejarah, Primitif, Anak, dan Relief Cerita Lalitavistara Borobudur. Disertasi pada FSRD-ITB

 



[1] Sudjoko, misalnya, dalam makalah “Dunia Seni Rupa” yang disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Seni dan Globalisasi Budaya (ISI Yogyakarta, 11 Desember 1991), menyebut para pelaku seni yang tinggal di kota, atau merasa dirinya sebagai orang kota, dengan sebutan pekota, kadang-kadang kotawan. Sebagai istilah bandingan, untuk para seniman yang tinggal di desa, yang tidak pernah merasa dirinya sebagai seniman, tidak pernah menuntut disebut sebagai seniman --mereka adalah para kriyawan, Sudjoko menyebutnya dengan pedesa, pedusun.

[2] Gambar perspektif menjadi salah satu materi “wajib” dalam kurikulum Pendidikan Seni Rupa Indonesia. Periksa isi kurikulum SLTP dan SLTA. Pola gambar satu titik hilang, lebih umum ditampilkan dengan contoh gambar jalan kereta api, menjadi pilihan materi yang “aman” bagi para guru.

[3] Hasil penelitian yang dilakukan di SPLB Hegar Asih Cipaganti, Bandung, oleh Jajang Suryana, juga oleh Dede Maesaroh, keduanya meneliti sebagai bahan skripsi S1 pada Jurusan Pendidikan Seni Rupa, FKSS-IKIP Bandung, tahun 1984.

[4] Istilah archetype dipakai Jung --dalam Read, Herbert. 1958. Education Through Art. New York: Pantheon Books Inc., hal. 183-- untuk menunjuk manifestasi kejiwaan yang universal. Jung meneliti secara berulang-ulang tentang cerita mite dan dongeng yang mengandung pola dasar tertentu, dan muncul di mana-mana. Ditegaskan oleh Jung: “Bentuk ini rupanya merupakan bagian dari struktur warisan, milik psike dan ia bisa mengungkapkan diri secara spontan di mana saja dan kapan saja” (Periksa Jung, Carl Gustav, 1986. Menjadi Diri Sendiri, terjemahan Agus Ceremes. Jakarta: Gramedia, hal. 139-140). Istilah archetype ini kemudian banyak digunakan dalam tulisan-tulisan tentang antropologi yang menunjuk keberadaan pola perilaku maupun bentuk tinggalan budaya fisik yang dianggap universal.

[5] TVRI pernah menayangkan acara Mari Menggambar dalam waktu tayang yang cukup lama. Tino Sidin, motor acara tersebut, kerap memberi komentar untuk semua gambar yang dikirimkan kepadanya dengan ucapan: “Bagus”. Semua gambar kiriman anak-anak diberi komentar positif olehnya. Belum terungkap, apa pengaruh tayangan tersebut terhadap kesenangan dan keberanian anak-anak pada saat itu, dalam kegiatan menggambar? Yang tampak jelas, “mazhab” pola gambar ala Tino Sidin --asal Yogyakarta-- sangat subur berkembang di sanggar-sanggar seni rupa yang ada di Yogyakarta. Satu hal yang menarik, bisa diperiksa juga kumpulan gambar dalam katalog 3rd ASEAN Exhibition of Children’s Art, Printed in Thailand by Amarin Press, 1986, yang kecenderungan pola gambarnya mirip “ajaran” Tino Sidin. 

[6] Oho Garha, pada waktu itu, adalah pengajar senior di Jurusan Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan, FKSS-IKIP Bandung. Perhatiannya dalam membahas dunia pendidikan seni rupa anak-anak cukup luas dan dihargai di tingkat nasional, buku-bukunya tentang pembelajaran seni rupa di SD telah diterbitkan oleh penerbit Angkasa Bandung.

[7] Ketika buku cerita, khususnya komik, tekah menjadi bahan bacaan menyenangkan bagi anak-anak, ada tokoh-tokoh tertentu yang kemudian menjadi bentuk contohan dalam gambar-gambar mereka. Gambar tersebut kerap dijadikan alat untuk bertukar cerita, bertukar ide, bahkan bertukar bahan contohan. Dalam kasus khusus, ada sementara anak yang merasa tidak begitu terampil meniru, kemudian meminta jasa temannya untuk dibuatkan gambar. Kegiatan meniru dan kesenangan persitindakan (interaksi) antarteman sebaya telah mendorong anak untuk giat melatih keterampilannya --melalui kegiatan meniru-- dalam kegiatan menggambar. 

[8] Banyak anak SD yang dirugikan guru dalam penilaian materi ajar KERTAKES (Kerajinan Tangan dan Kesenian). Jika guru memberi nilai matematika, IPA, IPS, atau yang lainnya, mereka tidak akan ragu-ragu untuk menerakan angka 10 ketika pekerjaan siswa mereka dikategorikan benar keseluruhannya. Materi ajar matematika, IPA, dan IPS tadi, tentu, adalah materi yang sesuai dengan pola pikir tingkatan usia siswa. Materi ajar tidak mungkin berupa materi untuk siswa tingkat SLTP, apalagi SLTA dan PT. Penilaian pun disejalankan dengan kemampuan siswa tersebut. Tetapi, ketika berhubungan dengan urusan penilaian karya seni rupa, seni suara, begitu pun seni sastra (karangan), pola penilaian yang disejalankan dengan tingkatan usia siswa itu terlupakan. Penilaian yang berpatokan pada timbangan orang dewasalah yang kemudian dipakai sebagai ukuran.

[9] Read, Herbert (Ed. Committee), 1965. The Book of Art, Chinese and Japanese Art, Vol. 9, p. 270. London: Grolier Inc.

[10] Read, Herbert (Ed. Committee), 1965. The Book of Art, Impressionist and Post-Impressionist, Vol. 7, p. 280. London: Grolier Inc.

[11] Ideologi pos-modernisme sangat bertolak belakang dengan modernisme. Semua kemapanan, kelinieran pikiran, yang menjadi dasar paham modern dipangkas habis oleh para pemikir pos-modernis. Yasraf Amir Piliang (2003) mendefinisikan istilah pos-modernisme dengan “kecenderungan baru pemikiran dan realitas budaya sebagai konsekuensi dari ‘berakhirnya modernisme’--yang ditandai oleh semakin terbatasnya gerak kemajuan (progress) dan kebaruan (newness), di dalam berbagai bidang kultural-- sehingga kini kebudayaan memalingkan mukanya ke wilayah-wilayah masa lalu, dalam rangka memungut kembali warisan bentuk, simbol dan maknanya”.

[12] Rhoda Kellog, 1967. The Psychology of Children’s Art. New York: CRM, Inc.

[13] Upaya Tabrani untuk menemukan kesejalanan antara gambar buatan masyarakat primitif, masyarakat tradisi, dan anak-anak, dilaporkan dalam disertasi doktornya di FSRD-ITB, tahun 1991.

[14] Istilah anime telah banyak dipakai untuk menujuk film animasi yang dikemas dalam bentuk VCD dan format lain sejenisnya

[15] Jajang S., 2000. Buku Ajar Tinjauan Seni Rupa (Naskah terbatas) Singaraja: Jurusan Pendidikan Seni Rupa

[16] Myers, Bernard S., 1958. Understanding the Arts. New York: Holt, Rinehart and Winston

[17] Chambers's Encyclopedia, Vol. 1: 638-645

[18] Collier's Encyclopedia, Vol. 2: 705 A-705 X

[19] The Encyclopedia Americana, Vol. 2: 382

[20] Jajang S., 2000, halaman 85 dan  Jakarta-Jakarta, 1989, halaman 9

[21] Penelaitian perkembangan kegiatan menggambar yang dilakukan oleh Jajang S. terhadap 3 anaknya, tahun 1992 s.d. 1998

[22] Ihromi, T.O. (Ed.), 1986. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia. Halaman 180-203.

[23] Bali Aga adalah sebutan lain untuk Bali Asli, yaitu daerah-daerah Bali tertentu yang masyarakatnya mengaku sebagai penduduk Bali asli, yang sama sekali “tidak mendapat pengaruh Majapahit”. Sementara masyarakat Bali yang lainnya, yang tinggal di luar kawasan Bali Aga, malah merasa bangga sebagai keturunan langsung masyarakat Majapahit. Sembiran adalah sebuah desa perbukitan di kawasan Buleleng bagian utara. Ada beberapa desa lainnya di kawasan Buleleng yang dikenal sebagai Bali Aga yaitu Desa Julah, Sidatapa, dan Tigawasa. Semuanya memiliki keunikan budaya masing-masing.

[24] Meniru, pada dasarnya, adalah melatih keterampilan dengan menggunakan pola. Latihan tanpa pola, dalam batas tertentu, kurang banyak memberi dampak keterampilan yang baik. Pola dimaksud bukan pola ‘mewarnai gambar’ seperti yang kini banyak dilombakan untuk anak-anak usia prasekolah hingga anak SD kelas rendah. Mewarnai gambar sangat tidak mendukung kreativitas anak, kecuali melatih --bisa dibaca: memaksakan kehendak orang dewasa-- penguasaan teknik mewarna. Banyak orang dewasa, termasuk guru dan orang tua, berharap anak-kecilnya bisa memberi warna pola gambar dengan warna yang sesuai dengan pandangan orang dewasa.

[25] Ada masa tertentu, sekitar usia 4-7 tahun, yaitu masa ketika anak-anak mengalami kondisi sulit dalam kegiatan menggambar. Masa sulit ini ditandai dengan ketidakpercayaan terhadap kemampuan diri; selalu meminta contoh gambar kepada orang tua; atau yang lebih berat selalu meminta dibuatkan gambar oleh orang tua. Kondisi ini, salah satunya, dipengaruhi oleh suasana “penekanan” yang kerap dilakukan oleh guru di sekolah. Tanda tadi, oleh sementara pemerhati perkembangan seni rupa anak, dianggap sebagai tanda buruk, tanda kurang kreatif, akibat langsung kebiasaan meniru. Padahal, perkembangan yang normal dialami hampir oleh semua anak, adalah melalui masa sulit tadi.

[26] Read, Herbert, 1958. Education Through Art. New York: Pantheon Books Inc., p. 209-211. Read memaparkan sifat naif (naivety) dengan ungkapan “Sebuah pandangan yang tidak dipengaruhi oleh rasionalitas atau pikiran yang deduktif. Sebuah pandangan yang menyetujui hubungan-hubungan yang tidak rukun, yang dapat berdiri sendiri, yang datang ke dalam pikiran tanpa dipanngil dan tanpa pemeriksaan pengamatan. Apa yang ditulis atau digambar oleh anak-anak, adalah sebagai gambaran intuisi puitik dan sebuah misteri di luar analisis logis kita”.