Sunday 21 November 2010

PEMBELAJARAN SENI RUPA BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Oleh Jajang Suryana




ABSTRAK

Seni sebagai alat pendidikan merupakan kunci kegiatan pembelajaran kesenian di sekolah umum. Tujuan utama pendidikan pada hakikatnya untuk mengantarkan anak menyelesaikan tahap-tahapan tugas perkembangannya. Perkembangan fisik, psikis, nalar, rasa, etika, perilaku, kesadaran sosial, kesadaran lingkungan, dan tata nilai, masing-masing pembinaannya dititpkan kepada bidang-bidang ajar tertentu. Semua bidang ajar tersebut hanyalah alat, bukan tujuan. Oleh karena itu, pembelajaran pendidikan seni, sama seperti pembelajaran pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan olah raga, pendidikan keilmualaman, dan bidang ajar pendidikan yang lainnya. Semua bidang kajian memiliki fungsi penting sendiri-sendiri dalam melengkapi pengembangan tugas perkembangan anak. Melalui bidang-bidang ajar tersebut, anak-anak akan mendapatkan pembiasaan yang menunjang penyelesaian masing-masing tugas perkembangannya.   

Kata kunci: tugas perkembangan; alat; tujuan



PENDAHULUAN

Masalah pendidikan seni rupa, di Indonesia, masih dianggap sangat sepele. Bukti tentang hal itu bisa dilihat berupa kebijakan Pemerintah dalam menentukan isi kurikulum pendidikan seni --pendidikan seni rupa merupakan bagian utama di dalamnya. Pendidikan seni rupa masih dianggap sebagai “selingan, pengisi waktu kosong”, sementara masalah seni secara umum belum juga dianggap sebagai masalah ilmiah. Kesenian belum dikategorikan sebagai bidang kajian keilmuan sebagaimana matematika, fisika, biologi, sosiologi, antropologi, hukum, ekonomi, dan sebagainya. Oleh karena itu, perhatian khusus kepada keberadaan kemampuan mengolah kegiatan seni yang dimiliki oleh masyarakat, baru ditanggapi sebagai suatu anugerah khusus dari Tuhan kepada orang-orang tertentu. Sementara pengajaran tentangnya masih dianggap sebagai hal yang sangat eksklusif, hanya untuk keperluan orang-orang tertentu, orang-orang yang memiliki pembawaan seni semata. Di sisi lain, penyelenggaraan pendidikan seni yang ideal masih dianggap sebagai “pendidikan yang amat mahal”, sementara “hasil utama kegiatannya belum setara dengan kepraktisan hasil pendidikan eksakta dan masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang umum”.  

Segala masalah yang berhubungan dengan bidang keilmualaman, seperti matematika, fisika, kimia, dan biologi, secara sombong ditempatkan dalam posisi bidang kajian utama yang paling rasional. Segala sesuatu yang rasional kemudian dihargai dengan nilai sangat tinggi. Bukti penghargaan tersebut bisa diperiksa dalam kenyataan kekeliruan yang lazim pada masa kini. Penyediaan jatah jam pembelajaran untuk bidang-bidang ajar yang “dianggap sangat rasional; yang dianggap bisa mengembangkan proses berpikir”, rata-rata sangat longgar. Bahkan, bisa dikategorikan, berlebihan. Ketidakadilan isi kurikulum itu telah menyepelekan sisi pengembangan kejiwaan siswa yang lain, sisi kreativitasnya, sisi sosialnya, sisi emosionalnya, sisi spiritualnya, sisi kesempurnaan kemanusiaanya.

Semua kemampuan kemanusiaan seseorang itu menuntut pemungsian semua belahan otak. Belahan otak, ternyata, memiliki fungsi yang berbeda. “Belahan otak kiri mengendalikan sisi tubuh kanan dan belahan otak kanan mengendalikan sisi tubuh kiri” (Atkinson, et. al. 1987: 62). Tahun 1861, seorang antropolog Perancis, Paul Broca, memeriksa otak seorang pasien yang menderita kehilangan kemampuan berbicara. Dia menemukan kerusakan pada bagian sebelah kiri tepat di atas celah lipatan frontal, yang kini disebut sebagai daerah Broca, yaitu daerah produksi suara ucapan (Atkinson, et. al. 1987: 62). Kondisi kerusakan itu kerap terjadi pada orang-orang yang belahan otak kirinya dominan (bukan kidal kiri). Sekalipun ada sementara orang yang memiliki pusat ujaran pada bagian belahan otak kanan, atau ada juga yang pusat ujarannya terbagi pada dua bagian belahan otaknya, orang-orang yang normal mempunyai bagian fungsi bahasa dalam otak belahan kirinya. Di samping sebagai pusat bahasa, belahan otak kiri memiliki fungsi kalkulasi, sedangkan belahan otak kanan memiliki fungsi kemampuan konstruksi spatial dan kemampuan nonverbal (Atkinson, et. al. 1987: 64).

Bukti hasil penelitian menunjukkan bahwa “kedua belahan otak itu bekerja dalam cara yang sangat berbeda. Belahan kiri mengendalikan perilaku membaca, menulis, dan berhitung. Belahan ini bekerja dalam suatu cara yang logis dan analitik, berfokus pada setiap rincian dan mengamati ciri-ciri individualistik dan bukan pola keseluruhan. Sebaliknya, belahan otak kanan memegang peranan khusus dalam kemampuan musik dan kemampuan artistik, dalam berkhayal dan bermimpi, dan dalam mengamati pola geometrik yang rumit. Persepsinya holistik (menyeluruh), dan efektif, khususnya mengenai tugas yang membutuhkan visualisasi mengenai hubungan. Belahan kanan juga memperlihatkan lebih banyak emosi dan impulsif dibandingkan dengan belahan kiri” (Atkinson, et. al. 1987: 70). “Individu yang sangat logis, analitik, dan verbal mempunyai fungsi belahan otak kiri yang sangat efisien, sedangkan mereka yang luar biasa sifat holistiknya, musikal, intuitif, dan impulsif mempunyai kelebihan yang seimbang pada belahan otak kanannya” (Atkinson, et. al. 1987: 70).

Kreativitas terkait dengan kemampuan otak seseorang. Mengacu kepada fungsi belahan otak kiri dan kanan yang berbeda, maka kreativitas, pada dasarnya, bisa muncul pada setiap orang. Terbukti di lapangan, begitu banyak hasil gubahan terkait dengan bidang hasil fungsionalisasi belahan otak kiri maupun kanan. Banyak karya kebahasaan yang telah dihasilkan. Begitupun karya yang sifatnya kalkulatif seperti pada rumus matematika, fisika, dan kimia yang sangat logis, terinci, dan analitik. Di samping itu, sudah pasti, banyak karya seni yang telah dihasilkan. Banyak juga karya desain konstruktif yang holistik, yang mengandalkan fungsi ruang spatial pada belahan otak kanan.

Belum disadari oleh banyak orang, bahwa proses penggubahan segala sesuatu bertalian erat dengan begitu banyak hal, tidak sekadar dengan masalah pikir semata. Sebagaimana karya matematika, karya seni lahir melalui fungsionalisasi pikir dan rasa seseorang. Perimbangan peranan pikir dan rasa dalam penggubahan apa pun, sulit dikalkulasi. Sangat menarik dikemukakan di sini, apa yang dikumpulkan Brewster Ghiselin (1983) tentang proses kreatif beragam orang dari berbagai bidang kajian. Bunga rampai yang disusun oleh Ghiselin ini sangat penting untuk menunjukkan bahwa proses kreasi semua bidang kegiatan memiliki jalur yang sama, bahkan proses yang sama. Proses kreasi rumus fisika, kimia, matematika, sama dengan proses kreasi dalam penggubahan karya seni lukis, sastra, musik, dan lain-lain.

Satu sikap menyepelekan golongan masyarakat seni tertentu telah lama tumbuh dan dipelihara oleh para seniman akademisi. Sikap yang merupakan hasil comotan dari cara berpikir dan bertindak teoretisi seni Barat itu, telah meracuni masyarakat seni Indonesia. Mereka melecehkan kedudukan seniman otodidak, seniman “kampung”. Para seniman di luar kelompok akademisi, disebut oleh mereka sebagai “artisan (istilah pinjaman), perajin, tukang”, dan segala nama sebutan yang kurang terhormat. Padahal, begitu banyak kearifan lokal yang digubah oleh para tukang, para kipu, para juru, para pendahulu, para leluhur, yang hingga kini belum dapat tergantikan kedudukan nilai maupun fungsinya. Tanpa melalui sekolah formal, tanpa mengolah teori seni yang banyak diagungkan oleh para akdemisi, mereka bisa menghasilkan prestasi hidup yang sangat ramah lingkungan.

Berapa banyak peralatan hidup sehari-hari masyarakat kita yang telah dibuat berdasarkan kepekaan mereka dalam merespon lingkungan. Mereka bisa membuat jembatan dan rumah tradisional tanpa pernah belajar di Fakultas Arsitektur dan Sipil. Mereka bisa membuat perkakas rumah tangga yang ramah lingkungan tanpa pernah belajar di Fakultas Desain. Mereka pun bisa melahirkan aneka kearifan lainnya tekait dengan kepekaan hitungan (jengkal, depa, hasta, dan sejenisnya), menemukan ramuan tradisional untuk upaya penyembuhan, membuat sarana transportasi laut yang hebat seperti perahu Phinisi, membuat peralatan pertanian seperti tenggala, garu dan cangkul, atau membuat karya yang penuh dengan kelembutan hati dan perbuatan seperti batik, tembang, musik, wayang, topeng, atau pun cerita penuh petuah (sastra dan tonil). Semua kearifan tadi masih belum banyak yang diindahkan sebagai kebanggaan prestasi bangsa, atau sekadar bahan ajar yang diwariskan kepada generasi muda. Bahkan, pencatatannya pun tidak banyak, atau tidak ada!

Segala prestasi hidup yang diejekkan oleh para seniman Barat sebagai hasil kegiatan waktu luang itu, sebetulnya adalah hasil kegiatan sungguh-sungguh, sepenuh hati, lengkap dengan kecintaan terhadap lingkungan, yang melahirkan karya-karya prestisius. Belum ada temuan baru sejenis rumah Gadang, rumah Batak, rumah Toraja, rumah Betawi, rumah Sunda, rumah Joglo, rumah Bali, selain upaya modifikasi atau penambahan-penambahan asesorisnya. Tidak ada peribahasa baru yang dilahirkan pada masa kini sebagai refleksi positif atas temuan-temuan penanda, simbol, ataupun gambaran kondisi lingkungan. Belum lahir konsep tradisi baru yang kental mencirikan suatu daerah tertentu, selain melanjutkan apa yang pernah digubah dan dikonsep olah para leluhur.

Penelitian tentang keterkaitan kegiatan seni dengan kecerdasan seseorang mulai banyak dilakukan orang. Seni sangat mempengaruhi aktivitas otak kanan, yang selama ini penggunaannya belum optimal. Tiadanya pelajaran kesenian bisa menghambat perkembangan otak anak-anak (Williams, 1977). Orang-orang yang memiliki daya cipta tinggi --peningkatan daya cipta bisa dilakukan melalui kegiatan-kegiatan seni-- memiliki kesempatan “hidup” yang lebih lama ketimbang yang hanya sekadar memiliki kecerdasan tinggi. Daya cipta memerlukan lebih dari sekadar kecerdasan (Paat, 1987).

Tentang pengoptimalan fungsi otak kanan, Primadi Tabrani (2006) merumuskannya dalam Limas Citra Manusia. Anugerah Tuhan kepada setiap manusia, tulis Primadi, adalah tiga kemampuan primer: kemampuan fisik, kreatif, dan rasio. Dan, kini, setelah lama orang berbicara tentang otak kiri dan kanan, talah muncul pula kondisi lain yang terkait dengan keberadaan otak tengah. Semuanya bertalian dengan kemampuan manusia dalam mengolah rasa, pikir, dan kesadaran atas lingkungannya, termasuk aktivitas seni di dalamnya.


PEMBELAJARAN SENI RUPA

Materi ajar seni rupa difungsikan sebagai media ekspresi, yaitu sebagai alat untuk melatih pengalaman estetis bagi siswa. Siswa SD dan SMP adalah siswa yang --secara umum-- bukan calon seniman. Oleh karena itu, mereka mendapatkan materi ajar seni rupa sebagai media pengalaman estetis, yang akan melengkapi pengalaman mereka dalam mengolah rasa, pikir, dan kesadaran terhadap lingkungannya. Melalui kegiatan ini anak-anak bisa mendapatkan kesempatan menyatakan perasaan (berekspresi, olah rasa), sehingga mereka akan memiliki dasar kemampuan mengungkapkan pendapat (olah nalar). Lewat aneka kegiatan seni pula bisa dikondisikan pengembangan kemampuan dasar --khusus untuk anak-anak kelas rendah-- psikomotorik (gerak tangan, lengan, kaki, tubuh, dsb.), cerap (lihatan, amatan), cipta (gagasan), sosial (hubungan antarteman dan lingkungan), pikir (nalaran), dan sikap penghargaan. Pengembangan pembawaan seni, sekaligus juga pengembangan kepekaan terhadap nilai artistik dan estetik, dapat terlaksana melalui kegiatan pembelajaran bidang seni ini.

Dunia anak adalah dunia bermain. Melalui kegiatan bermain, anak-anak belajar mengenal dan merasakan peranannya dalam kehidupan. Mereka bermain peranan sebagai dokter, guru, polisi, orang tua, anak, jutawan, agamawan, bahkan kadang-kadang menjadi penjahat. Semua permainan itu sangat bermanfaat bagi anak. Bermain, dalam konteks kegiatan pembelajaran, adalah kegiatan yang sungguh-sungguh dilakukan sepenuh hati, tidak sekadar memenuhi kesenangan semata. Oleh karena itu, pada dasarnya, semua kegiatan pembelajaran, harus dikondisikan dalam situasi bermain, sehingga semua kegiatan yang dihadapi anak akan menjadi “kebutuhan”, bukan menjadi beban. Dalam kegiatan bermain juga selalu muncul bentuk-bentuk keterpaduan masalah. Hal ini mengisyaratkan bahwa pada kenyataannya, sebuah kegiatan pembelajaran selalu bisa mengandung keterpaduan antarbidang ajar, yang serumpun (bidang kesenian, misalnya) maupun lintas bidang (seni-agama; seni-pengetahuan alam; seni-etika, dsb.).

Pada semua kegiatan pembelajaran, untuk semua bidang ajar, memungkinkan penggunaan metode-metode pembelajaran yang umum. Metode ceramah, diskusi, tanya jawab, pemberian tugas, dan kerja kelompok misalnya, bisa saja digunakan dalam mengajarkan semua materi ajar. Tetapi, mata ajar-mata ajar tertentu menuntut kekhususan dalam kegiatan pembelajarannya. Contohnya mata ajar KERTAKES, kini Seni Budaya (dan Keterampilan).

Materi ajar KERTAKES terdiri atas materi seni rupa dan materi seni lainnya, serta materi yang menuntut keterampilan siswa. Dalam kegiatan pembelajaran seni rupa kita mengenal beberapa pendekatan yang mengacu kepada konsep belajar melalui kegiatan bermain.  Untuk melaksanakan belajar melalui kegiatan bermain, kita memerlukan lingkungan sebagai alat pembangkit minat dan pemancing kreativitas (daya cipta) anak. Cara membangkitkan minat dan kreativitas anak bisa dilakukan dengan pendekatan inspiratif dan pendekatan permisif. Kearifan lokal milik masyarakat adalah salah satu aset bahan ajar yang tak akan pernah habis.

Pendekatan inspiratif merupakan cara membangkitkan motivasi berkarya pada anak dengan menghadirkan inspirasi atau ilham. Guru bisa menceritakan suatu peristiwa rutin seperti hari raya, hari kelahiran, maupun peristiwa lain yang kejadiannya berulang pada waktu yang tetap. Guru juga bisa bercerita tentang sesuatu yang paling menarik perhatian anak. Boneka mainan kesayangan, mobil-mobilan baru, baju baru, sepatu hadiah ibu, tas biru kesukaan, dan aneka contoh topik yang berkaitan langsung dengan diri anak, bisa dijadikan sumber inspirasi bagi anak. Guru dituntut mampu memberi inspirasi kepada semua anak. Tetapi pada dasarnya, pendekatan inspiratif ini tidak selalu harus berbentuk kegiatan bercerita.Guru bisa juga melakukan sumbang saran dan memberikan alternatif, misalnya.Cara lain yang bisa digunakan dalam memancing kreativitas anak adalah dengan menggunakan pendekatan permisif. Pendekatan ini lebih banyak memberi kebebasan berkarya kepada anak sesuai dengan keinginan dan pandangan anak. Meskipun dianggap terlalu liberal oleh sementara ahli pendidikan di Indonesia, pendekatan permisif ini dalam kegiatan pembelajaran seni rupa akan sangat menolong anak dalam mendapatkan kebebasan berkreasi. Sikap permisif seorang guru tidak berarti membiarkan anak tanpa kendali. Kebebasan dimaksud adalah kebebasan terbimbing. Dalam sikap keserbabolehan, guru tetap menjadi pengarah, fasilitator, pembimbing, dan teman kegiatan anak.

Daya cipta, lebih umum dikenal dengan sebutan kreativitas, keberadaannya masih kurang mendapat penghargaan. Hurlock (1978) menyebutkan banyak hal yang terkait dengan alasan pengabaian masalah kreativitas, lima peramasalahan penting di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, keyakinan tradisional yang menyatakan bahwa kreativitas yang biasa disebut “kegeniusan” dianggap sebagai sesuatu yang diturunkan. Oleh karena itu, dari keyakinan tersebut muncul anggapan bahwa “tidak ada yang bisa dilakukan untuk membuat orang kreatif”. Kedua, karena yang kreatif itu diyakini jumlahnya sedikit, penelitian ilmiah lebih ditujukan kepada sesuatu yang bisa mempengaruhi sebagian besar penduduk saja. Ketiga, penghargaan yang miring terhadap nilai kreativitas itu terkait juga dengan adanya sejumlah kasus di lingkungan masyarakat bahwa seseorang yang kreatif cenderung menunjukkan perilaku berbeda dari yang lain. Di sini, dalam pembinaan daya cipta, proses menjadi penting!

Penilaian karya siswa, prestasi siswa, perilkau siswa, tidak sekadar diukur dengan satu ukuran yang kaku. Hasil akhir kegiatan kerap menjadi untutan utama penilaian. Tetapi hal itu sangat merugikan keberadaan siswa. Jika penilaian hasil akhir saja yang diutamakan, jejak kerja yang pernah dilakukan oleh siswa tidak pernah tercatat. Padahal, semua kegiatan kehidupan adalah sebuah proses menuju ke satu titik tertentu. Dan, secara keseluruhan, kegiatan siswa selama mengikuti pembelajaran di sekolah, adalah sebuah perjalanan proses. Proses itu melewati shelter-shelter semester, tingkatan kelas, yang akhirnya sampai pada penentuan kelulusan siswa. Jika proses pelulusan saja yang diukur, yang diutamakan pemeriksaannya, filosofinya menjadi lain. Kondisi inilah yang sering kita saksikan dalam pengeliminasian seorang siswa melalui peristiwa ujian nasional. anyak siswa yang tidak memiliki harga apapun ketika siswa yang bersangkutan tidak bisa lolos dalam menyelesaikan soal-soal ujian akhir.


PENUTUP  

Pendidikan yang mengutamakan proses, menuntut penetapan cara pandang yang berbeda dengan cara menilai yang sekadar mengutamakan hasil akhir. Dalam pola penilaian yang mengutamakan hasil akhir, ada penghilangan jejak hidup yang pada dasarnya adalah prestasi-prestasi yang menyertai lintasan waktu belajar siswa. Ukuran keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan proses pembelajaran yang dilaluinya adalah penghargaan terhadap tahap-tahap kegiatan mereka.

Hasil pembelajaran seni rupa yang kurang mementingkan proses penyadaran siswa atas lingkungannya akan melahirkan masyarakat yang kurang peduli terhadap prestasi hidupnya. Jejak-jejak prestasi yang pernah diraih oleh lingkungannya sama sekali kurang mendapat perhatian. Padahal semua tindakan adalah proses yang tidak tiba-tiba sampai di satu tujuan tertentu. Oleh karena itu, kesadaran akan sebuah proses dan jalan panjang yang dilewati dalam proses itu, seharusnya ditanamkan kepada siswa, agar siswa memiliki rasa penghargaan atas proses kerjanya, sekaligus proses kerja yang pernah dilakukan para pendahulunya.



PUSTAKA RUJUKAN

Alisjahbana, S. Takdir (Ed.). 1983. Kreativitas. Jakarta: Dian Rakyat
De Bono, Edward. 1989. Berpikir Lateral. Diindonesiakan oleh Sutoyo. Jakarta: Erlangga
Garha, Oho. 1979. Pendidikan Kesenian Seni Rupa II Untuk SPG. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Atkinson, Rita L. (et. al.). 1987. Pengantar Psikologi. Diindonesiakan Agus Dharma (Ed.). Jakarta: Erlangga
Ghiselin, Brewster. 1983. Proses Kreatif. Jakarta:
Gunarsa, Singgih D. dan Y. Singgih D. Gunarsa (Ed.). 1986. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Hurlock, Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak. Jilid 2. Diindonesiakan oleh Meitasari Tjandrasa. Jakarta: Erlangga
Lowenfeld, Viktor & W. Lambert Brittain. 1970. Creative and mental Growth. London: The Macmillan Company
Wilson, Marjorie and Brent Wilson. 1982. Teaching Children to Draw. Engelwood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Friday 21 May 2010

Tema-tema Lukisan

Sebuah hasil pengamatan yang lumayan lengkap tentang tema lukisan Indonesia masa kini, dipaparkan dalam Modern Indonesian Art yang disunting oleh Joseph Fischer (1990). Dikemukakan, tema lukisan seniman Indonesia banyak menunjukkan penggunaan kembali nilai-nilai tradisi. Fischer meninjau tampilan luar lukisan-lukisan yang terkumpul untuk Pameran KIAS (1990-1991), yaitu lukisan-lukisan yang “mewakili” angka tahun 1945-1990.

Yang ditunjuk oleh Fischer sebagai nilai tradisi adalah adanya tema-tema lukisan yang menggambarkan perahu kematian, tarian, peristiwa suci, perayaan di sekitar candi-candi, kaligrafi, badan dan wajah manusia tiruan topeng atau wayang, dan terutama pohon hayat atau gunungan. Tanpa mempermasalahkan kekentalan ikatan para pelukis dengan nilai tradisi, kita bisa menemukan adanya tanda keterikatan para seniman dengan nilai tradisi miliknya, paling tidak yang pernah dikenalnya.

Hasil pengamatan Fischer, memang, belum bisa dijadikan sumber simpulan yang meyakinkan. Apakah ketertarikan para pelukis Indonesia itu menggambarkan kekentalan ikatan pikir-rasa-pengalaman seniman dengan nilai tradisi, atau hanya sekedar comotan simbol-simbol tradisi untuk kebutuhan mengusung nilai estetis semata?

Lukisan-lukisan yang dipajang pada pameran tertentu, atau yang digantung di galeri dan artshop, banyak yang bertema sama, hampir seragam. Contoh nyata, lukisan bertema penari, penari Bali khususnya, bisa kita temukan berserakan dalam kanvas-kanvas para pelukis Indonesia. Ketika mereka melukis, boleh jadi banyak di antara mereka ada yang sama sekali tidak pernah melihat penari Bali yang sebenarnya. Mungkin ada yang mengambil contohan dari foto, sejenis kartu pos. Mungkin pula dari majalah. Atau, bahkan sangat mungkin dari lukisan orang lain. Dan, ada juga yang menghayalkan objek, kemudian menjadi lukisan yang objeknya jauh dari ketepatan penggambaran.

Sementara orang berpendapat bahwa “melukis tidak sama dengan membuat foto; melukis adalah menggambar dengan memasukkan unsur emosi”. Tetapi, sekalipun emosi mendominasi lukisan, kalau lukisan tersebut masih dibebani judul atau tema tertentu yang “nyata”, penanda objek yang menjadi judul atau tema mestinya mendekati ciri-ciri sebenarnya. Paling tidak, ciri utama, esensi objek, bisa ditampilkan oleh pelukisnya.

Tema tertentu seringkali menjadi trend. Memeriksa lukisan-lukisan masa lalu, lukisan yang pernah dibuat oleh para pelukis Barat yang tersohor pada masanya, akan ditemukan juga bukti tentang hal itu. Para pelukis seperti Leonardo da Vinci, Picasso, Braque, dan Vincent van Gogh misalnya, pada suatu periode tertentu melukis dengan memilih tema yang menjadi perhatian banyak pelukis. Bukan hanya tema lukisan saja yang kemudian menjadi trend tiruan, tetapi objek lukis pun demikian. Ketika tema still life digandrungi misalnya, bentuk biola dan bejana kaca menjadi objek lukisan yang paling disukai pada zaman mereka. Dan, Van Gogh, Braque, Frans Leger, Amėėde Ozenfan, melukis hal yang sama tersebut.

Banyak pelukis masa kini yang juga mengolah tema tertentu saja. Alasan mengusung nilai kepribadian yang begitu gigih diperjuangkan oleh para pelukis seangkatan Affandi, boleh jadi, kini mulai ditinggalkan oleh para pelukis muda. Banyak pelukis muda yang lebih senang bergerak dalam komunitas dibanding dalam individu. Entah meniru, entah turut-turutan, entah karena tema tertentu menjadi tema yang laku dijual, sebagai berita sensasi atau sebagai komoditi, begitu banyak pelukis muda yang mengolah tema tertentu yang sedang in.

Gaya “naif”, kalau disa dibilang begitu, atau gaya “kungfu painting” (meminjam istilah Hardiman), begitu marak dalam kanvas-kanvas masa kini. Banyak pelukis mengolah bentuk dan citra kekanak-kanakan –boleh jadi karena pengaruh menangnya lukisan-lukisan bergaya sama pada lomba yang  diselenggarakan Yayasan Philip Morris belakangan ini. Banyak juga pelukis yang seperti “mengamuk” memenuhi kanvas dengan sabetan-sabetan (meminjam istilah pedalangan) kuas besar untuk menghasilkan gaya abstrak. Kemudian, untuk menunjukkan bahwa gaya tersebut berciri daerah, tidak sama dengan gaya para pendahulu gaya abstrak, dinamailah abstrak filosofis. Memang, beberapa unsur tradisi masuk ke dalam bidang kanvas. Seperti hasil pengamatan Fischer, Atau, banyak juga pelukis yang beralih mengolah gambar dengan gaya vignette, sebagai kegiatan drawing.


Saturday 3 April 2010

Jalan-jalan Proses Kreatif

Oleh
Jajang Suryana


Istilah proses kreatif seolah-olah hanya terkait dengan bidang kesenian. Segala bentuk penggubahan karya, desain bentuk, dan rancang bangun benda, sebagai contoh, selalu dihubungkan dengan proses kreatif, proses “penciptaan” yang dilakukan oleh seorang penggubah, seniman.

Sebuah buku yang ditulis oleh Ghiselin (1983), seorang profesor pada Universitas Utah, Amerika Serikat, isinya membahas peramasalahan proses kreatif secara lengkap. Buku yang diberi judul The Creative Process (dialihbahasakan oleh Wasid Soewarto dengan judul Proses Kreatif) berisi uraian yang lengkap tentang proses kreatif orang-orang dari berbagai bidang ilmu. Proses kreatif di antaranya dalam bidang matematika, fisika, biologi, seni musik, seni rupa, seni sastra, dan psikologi, dikemukakan Ghiselin melalui contoh-contoh pengakuan, surat, tulisan, analisis, maupun hasil wawancara. Kondisi pikir, rasa, dan ururt-urutan kegiatan dalam penggubahan karya, apapun bentuknya, pada kenyataannya mengikuti alur proses yang sama. Bahkan, bisa dikatakan “seragam”. Proses kreatif seseorang diawali dengan adanya dorongan tenaga mujarad yang membimbing seseorang untuk melakukan sesuatu. Tenaga dorong yang tidak maujud itu, disadari oleh semua yang mendapatkannya, sebagai kekuatan supranatural, kekuatan Tuhan atau Yang Dipertuhan.

Proses kreatif adalah jalan penggubahan. Seorang novelis misalnya menceritakan, ketika ia akan melahirkan sebuah novel setebal 250-an halaman A4, menerima desakan pada ruang kesadarannya, pikir dan rasanya, agar segera merealisasikan “bisikan” tersebut menjadi tulisan. Proses terbentuknya kalimat, paragraf, plot, konflik, prolog dan epilog, berjalan dikendalikan tenaga gaib. Ia “hanya” menjadi alat pembentuk cerita novel semata. Bahkan, ketika novel itu berakhir alirannya, ujung cerita tidak dipaksakan oleh penulis. Ia menerima apa adanya berdasarkan bimbingan tenaga gaib itu. Tetapi, kondisi keberuntungan tersebut tidak selamanya bisa dialami sang novelis. Pada saat bimbingan gaib itu tidak ada, sang novelis merasakan kesulitan yang berat untuk membuat rangkaian kalimat. Apalagi untuk membuat cerita lengkap dengan berbagai plot, konflik, dan penjiwaan tokoh ceritanya.

Penggubahan karya hanya bisa secara mulus dilakukan oleh seseorang yang sudah biasa terlatih melakukan penggubahan. Seseorang yang biasa menggubah bentuk karya seni sastra, pikir dan rasanya bisa tergugah ketika membaca hasil gubahan orang lain. Seperti seorang pelukis, ia bisa terdorong keinginannya untuk berkarya ketika melihat karya buatan pelukis lainnya. Begitu pun pemusik, pematung, perancang busana, koreografer, teknolog, biolog, dan pelaku bidang-bidang lainnya, selalu tersentuh hatinya jika berhadapan dengan karya-karya sesuai bidang yang ditekuninya.

Sumber inspirasi yang lain adalah sesuatu yang dicari, diupayakan secara terus-menerus. Seseorang yang suka menekuni bidang kegiatan tertentu, ia akan secara sinambung mengembangkan keterampilannya. Melalui jenis pencarian tersebut didapatkan pengembangan, penemuan bentuk baru, pemalihan rupa, penggabungan model, dan sejenisnya. Ini juga bisa dikategorikan sebagai bentuk jalan proses kreatif. Proses pencarian inspirasi ini, seperti diakui oleh banyak orang, harus berjalan sinambung. Kadang-kadang, dorongan penggubahan muncul dari sumbangan pikiran orang lain. Dalam bidang kesenian, para pemikir dan pemerhati bidang seni kerap memberi alternatif pemecahan masalah terkait dengan keberadaan jenis kegiatan seni tertentu. Begitu pula para pemilik modal, para patron, perangkat pemerintahan negara, juga para guru, tercatat banyak memberi masukan alternatif pengembangan jenis, bentuk, dan hasil karya.

Pada masa kini, aneka pengaruh bisa datang dari sumber yang sangat beragam. Perangkat media elektronik seperti televisi dan komputer internet, telah begitu banyak mendorong pertukaran ide antarpelaku kegiatan. Publikasi berupa pameran, reklame media cetak dan video, telah mempercepat penyebaran informasi berbagai bidang ilmu. Sehingga, tidak ada jalan yang tertutup untuk segala jenis agihan (pertukaran, sharing) informasi. Rupa kendaraan, seperti speda motor dan kendaraan roda empat, telah mengarah kepada bentuk yang lebih “seragam”. Begitu juga, lebih hebat, “keseragaman” model dan kemampuan benda-benda elektronika, seperti pesawat teve, ponsel, radio, tape recorder, VCD player, MP3 player, play station, kamera, komputer, dan masih banyak lagi.

Keseduniaan, globaliasasi, dan istilah sejenis, telah dijadikan alasan penting dalam menerima aneka perubahan arus besar dari dunia luar. Nilai budaya asing begitu mudah dan nikmat diserap secara sadar oleh hampir semua lapisan masyarakat terpelajar. Anime (film animasi tayangan teve dan VCD) produk Jepang misalnya, telah menjadi trend baru yang diikuti oleh para penikmatnya. Sejalan dengan itu, komik-komik gaya Jepang pun telah mewabah memenuhi rak toko buku dan rak buku rumah-rumah pelajar Indonesia. Semua itu diterima secara sadar demi mengikuti arus besar. Kesopanan pun telah mulai diruntuhkan dalam aneka sinetron garapan masyarakat teater Indonesia, demi meniru secara sadar sinetron gaya Mexico yang telah lebih dahulu disukai masyarakat penonton.

Pengembangan bidang pariwisata, lebih khusus di Bali, telah lama memberi pengaruh besar kepada pertumbuhan pola pikir baru dalam penggubahan karya seni kriya. Sejumlah bentuk baru mengilhami para perajin sejalan dengan tuntutan para wisatawan. Pasar pun telah menjadi lingkungan baru yang harus disikapi secara toleran. Oleh karena itu, produk asing yang ikut memenuhi pasar, disikapi dengan dua cara: menerima keberadaan produk secara apa adanya, atau mengambil alih pembuatan benda asing tersebut. Inilah kondisi yang kini berlangsung di lingkungan perajin Bali. Proses kreatif para perajin Bali mulai banyak berubah mengikuti pola perubahan lingkungannya, lingkungan pariwisata yang melibatkan banyak produk asing dan orang asing.


Tuesday 26 January 2010

LELAKI DI ANTARA PEREMPUAN-PEREMPUAN JEIHAN

Oleh 
Jajang Suryana




Ketika seseorang menyebut Jeihan Sukmantoro, yang terbayang adalah lukisan-lukisan dengan objek perempuan yang khas. Kekhasan tokoh perempuan dalam lukisan Jeihan adalah para perempuan dengan mata misteri, mata tertutup. Jeihan sangat suka melukis tokoh perempuan, tak memandang siapa tokoh yang dilukisnya. Dari jejak karyanya, ada gadis desa, ada euceu-euceu (mbak-mbak) yang ‘setengah matang’, bahkan mbok-mbok yang sudah ‘kelewat matang’. Periksa saja, ada Mumum (140 x 140 cm), Anna (140 x 140 cm), Setamani (190 x 200 cm), Mimi Rasinah, dan banyak lagi.
Ada joke yang dibicarakan orang tentang permintaan seseorang agar Jeihan mau melukis tokoh perempuannya dengan mata terbuka, mata normal. Tak ada jawaban karya dari Jeihan. Para perempuan dalam bingkai lukisannya tetap memejamkan mata. Dalam posisi dan kondisi apa pun, para perempuan itu tetap dilukis dengan mata tertutup. Atau lebih tepatnya, bermata (warna) gelap tanpa bentuk biji mata. Ada yang menyebutnya dengan mata mbeling. Misalnya seperti mata perempuan dalam tokoh film X-Man, Storm. Jika mata Storm putih, mata perempuan-perempuan Jeihan adalah hitam, atau hitam kebiruan. Ada yang digambarkan bermain seruling, yang bermain biola, yang sekadar bergaya, dan kini ada yang dilukis berkelompok. Periksa Dua Sahabat (140 x 200 cm), Yang Tiga (200 x 200 cm), atau kelompok perempuan yang sedang menari dan bermain musik. Lukisan perempuan berkelompok ini, juga merupakan tema baru yang berbeda dari kebanyak tema lukisan Jeihan sebelumnya.    
Ada yang lebih baru, yang menandai pameran Between Techiniques and Instinctive Framing: 9 Windu Jeihan, di Bentara Budaya Bali. Pameran yang diselenggarakan dari 27 Desember 2009 hingga 17 Januari 2010 itu memamerkan karya Jeihan Sukmantoro yang tampilannya banyak berbeda. Dalam lukisan-lukisan yang dipamerkan, ada sejumlah lukisan dengan tokoh laki-laki. Misalnya, Ujang (190 x 225 cm).
Lukisan laki-laki karya Jeihan tampil masih tetap dalam ciri khas jejak pulasan kuas besar yang ekspresif. Karena gaya laki-laki --mungkin-- agak terbatas, maka gerak tokoh laki-laki karya Jeihan tidak sedinamis gerak tokoh lukisan dengan objek perempuan. Unsur-unsur yang melengkapi komposisi, mislanya gerak tangan, untaian rambut, cara duduk, cara menghadap, adalah kemungkinan-kemungkinan yang bisa diolah sebagai pola komposisi tokohnya. Tetapi, ketika tokoh lelaki yang dilukis, pola itu menjadi hilang. Gaya bersedekap, duduk tegak, atau hanya gaya lukisan potret wajah, menjadi pola tampilan tokoh-tokoh lelaki yang dilukis oleh Jeihan.
Kehadiran model lelaki dalam lukisan Jeihan, tentu, menjadi catatan khusus. Jeihan berusaha menepis rutinitas pola penggambaran. Ketika semua objek lukisannya adalah seorang perempuan, Jeihan mencoba mengubah-ubah posisi tubuh para model yang dilengkapi dengan perubahan-perubahan posisi tangannya. Komposisi yang baik bisa didapatkan dengan cara seperti itu. Begitupun ketika Jeihan menggarap model-model yang terdiri atas dua atau tiga orang, Jeihan bisa menemukan keluwesan gaya modelnya. Tetapi, ketika model lelaki yang dilukis, seorang lelaki tidak biasa bergaya tubuh seperti perempuan. Gerakan menjadi ‘sempit’ mengikukti ketidakbiasaan gerak tersebut, bersedekap, duduk, atau duduk mengangkat kaki yang dalam penggambarannya menjadi agak aneh.
Jeihan Sukmantoro, lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 72 tahun yang lalu, adalah seorang pelukis yang fenomenal. Pada masanya, Jeihan pernah menjadi pelukis yang ramai menjadi bahan berita. Dan, pada masa kini, ketika banyak pelukis muda yang juga terkenal pada masanya, Jeihan masih tetap bisa hadir sebagai pelukis produktif. Sementara pelukis lain seangkatannya banyak yang telah hilang dari pemberitaan.  




Mata perempuan dalam lukisan Jeihan selalu tampak 'tertutup', menunjukkan mata yang 'mbleing'



Perempuan-perempuan dalam lukisan Jeihan lebih dinamis dalam gerak 



Perempuan yang bermain musik menjadi salah satu inspirasi lukisan bagi Jeihan 



Model perempuan dalan lukisan Jeihan dinamis dalam berbagai gaya



Model penari, penyanyi, dan pesinetron, Ayu Laksmi dari Buleleng



Gaya yang 'aneh'



Bersedekap adalah gaya model lelaki dalam lukisan Jeihan



Jeihan juga melukis perempuan-perempuan dalam kelompok



Gaya perempuan-perempuan modis sangat pas ditangkap oleh Jeihan



Gaya perempuan yang lugu, yang banyak ditemukan dalam pola lukisan model perempuan karya Jeihan



Suasana di ruang pameran Bentara Budaya Bali



Gedung Bentara Budaya Bali


Semua gambar dibuat menggunakan kamera Sony Ericsson K850i




Tuesday 5 January 2010

FENOMENA BERJUALAN DENGAN ANAK-ANAK

Oleh
JAJANG SURYANA


Pengantar
Tulisan ini saya susun tahun 1997. Isinya, mungkin bisa berbeda dengan kondisi masa kini, atau sama saja, saya belum memeriksa ulang di lapangan. Yang jelas, tulisan ini saya posting lagi untuk melengkapi informasi tentang komik dan pendidikan anak. Saya ingin melanjutkan penelaahannya pada kondisi masa kini, tapi hingga kini belum sempat. Jadi, apapun yang Anda baca dan Anda nilai tentang tulisan ini, mudah-mudahan bisa menjadi inspirasi-lanjut dalam melihat dan membahas kondisi seni rupa anak-anak Indonesia.




Membudayakan kegiatan membaca tampaknya mulai menjadi kebijakan para pengusaha. Gejala baru yang perlu dipandang secara positif, terutama oleh para pendidik. Perusahaan makanan dan minuman mulai merambah dunia majalah, terutama majalah anak-anak. Melalui komik mereka membuka wawasan, menawarkan pesan, mengaduk imajinasi anak, dan menjajakan produk.
Tahun 70-an, anak-anak Indonesia mengenal empat kelompok tokoh jagoan dalam komik. Kelompok pertama, jagoan pewayangan. Jagoan pewayangan ini, di antaranya disuguhkan oleh dua pekomik wayang:  R.A. Kosasih dan S. Ardisoma. Komik jenis ini, selain disukai oleh anak-anak juga diminati oleh pembaca dewasa. Kelompok kedua jagoan dunia jawara, dunia persilatan. Misalnya, tokoh Si Buta Dari Gua Hantu, Si Jampang, dan Panji Tengkorak yang berlatar cerita kehidupan desa. Di samping itu ada juga komik silat yang isi ceritanya diramu dengan dunia siluman dan para mambang, seperti yang banyak digarap Teguh Santosa dan Yan Mintaraga.
Kelompok ketiga, jagoan dari dunia "primitif" pengaruh cerita Tarzan. Seperti tokoh Waro, misalnya. Keakraban manusia dengan alam, terutama binatang, menjadi unsur yang menarik dalam cerita-cerita model ini. Kelompok keempat jagoan-jagoan yang bersentuhan dengan teknologi modern, alam angkasa, dan kesaktian yang menyertakan kemampuan mengubah wujud. Komik ini pada dasarnya lahir setelah generasi Flash Gordon, kemudian disusul Superman, Batman, dan Spiderman. Di Indonesia muncul tokoh-tokoh seperti Godam, Kapten Mar, Laba-Laba Merah, Kawa Hijau, Gundala, Maza, Pangeran Mlaar, Santini, sampai jagoan kecil seperti Kalong.
Tampaknya, sejak tahun 90-an, setelah jagoan ciptaan komikus Indonesia "tertidur", anak-anak Indonesia lebih banyak lagi memiliki tokoh jagoan. Maraknya acara teve, terutama setelah munculnya beberapa teve swasta dan kebolehan menggunakan antena parabola, membawa anak-anak kita kepada dunia penuh jagoan. Jagoan manusiawi, jagoan roboti, jagoan dewani, juga jagoan hewani (tokoh binatang yang jago), menjadi pilihan penikmatan anak-anak kita. Mereka terlena dengan aneka kegagahan, kepintaran, dan kesaktian para jagoan import ini.
Pada keadaan selanjutnya, komik-komik yang kemudian diterbitkan bersamaan dengan jenis-jenis film kartun, yang menggambarkan keindahan alam, kemanisan persahabatan antarbinatang dan antara binatang dengan manusia, kelucuan polah aneka binatang hutan yang menjadi ciri khas garapan kelompok Walt Disney, yang pernah mendominasi dunia kartun di Indonesia, kini sudah agak jarang ditampilkan di teve kita. Begitu pun pada komik-komik yang beredar di Book Store, kini lebih banyak berisi cerita jagoan yang lebih keras, kadang juga lebih kejam dibanding film yang dilakonkan oleh manusia. Bisa kita perhatikan ketika anak-anak menonton film kartun para jagoan masa kini, mereka tanpa beban berteriak: "Ya ... mati kamu!"  Kekerasan, kekasaran, kerusakan, bahkan kematian tokoh cerita, terutama tokoh jahat, sudah menjadi "keharusan, kewajaran". Bahkan, dalam cerita-cerita yang dikemas pada program pemainan komputer, bisa kita temukan perilaku tokoh yang lebih kejam seperti pada cerita Mortal Combat.


FENOMENA BARU


"Joni dan Mimi terus berjalan tapi tanpa disadari mereka malah makin jauh tersesat.
 'Istirahat dulu Jon ... Aku capai dan haus ...'
 'Untung aku bawa Vidoran Multivitamin minumlah agar kondisimu lebih stabil'
 'Daripada makin sulit cari jalan keluar ayo kita gunakan ini ...'
 'Setuju ..!!'
... Akibatnya makin fatal ... Joni Kukuh dan Mimi malah terpental ke jaman lain ...
Bezz" (Bobo, Tahun Ke XXII, Tgl. 26 Januari 1995: hal. 9).


Itulah sepenggal cerita jagoan baru yang dilatari kehebatan sebuah produk multivitamin untuk anak-anak. Dengan selalu menelan butiran Vidoran, Joni Kukuh bisa memiliki kekuatan hebat. Bahkan V-man (Vidoran man) jagoan teman Joni Kukuh, pun selalu rajin meminum produk tersebut. Hal yang sama digambarkan dalam cerita Milo Kid (diilhami Karate Kid?). Milo Kid, sang jagoan, bisa menjadi jagoan karena rajin meminum Milo. Misalnya, pada satu penggal cerita (Bobo, Tahun Ke XXIII. Tgl. 12 Oktober 1995, hal.: 53), ketika Milo Kid berhasil mengalahkan seorang pencoleng "Si Bayangan". Si Bayangan bertanya: "Dik, kau hebat! Apa rahasianya?" Dijawab oleh Milo Kid: "Giat berlatih, selalu minum Milo, dan makan Koko Krunch". Kini, Milo Kid lebih banyak digarap dengan unsur cerita olah raga.  
Di samping yang menggambarkan kejagoan, ada juga cerita komik yang menggambarkan tokoh piawai dalam menyelesaikan masalah, cergas, bijak, dan rajin belajar. Misalnya, tokoh Freddy dari Dunkin' Donuts (komik) dan Nana dari Frisian Flag Instant (cergam). Ada juga yang menyertakan tokoh trade mark produk yang "dimanusiakan", seperti tokoh Calfred (ayam goreng California), Dancow (susu Dancow), Si Nyam-Nyam Harimau (biskuit-batang colek Nyam-Nyam), Koko  Koala (susu sereal Koko Krunch), dan Prince (biskuit).
Produsen Dancow tampaknya lebih berani menampilkan bahan pengetahuan bagi pembaca, sebanyak dua halaman, seperti juga pernah ditampilkan produsen Frisian Flag Susu & Sereal dan KIKO.  Materi bacaan cukup beragam. Selain tampil dalam cerita yang bersifat pengetahuan, kadang-kadang Dancow juga menambah tampilannya dalam bentuk komik secara bersamaan (seperti pada Bobo, Tahun XXIV, Tgl. 13 Oktober 1996, hal. 34-35 dan 52). Hingga tahun 1997 ini, tampaknya hanya produsen Dancow inilah yang tetap berani menampilkan aneka cerita berbau ilmu pengetahuan secara terus menerus dalam Majalah Bobo. Bahkan kini, pemroduk susu ini, kembali menunjukkan perhatian-lebihnya terhadap penyediaan cerita anak (mengindonesia) melalui bonus komik kepada para pembeli.
PT Kinosentra Indrustrindo, pemroduk permen, menghadiahkan  komik mini sebagai bonus pada setiap kemasan permen yang dijualnya. Komik mini dengan cerita Scooby Doo dipilihnya sebagai hadiah. Tahun 2000 awal, Penerbit Mizan dengan Divisi Komik Mizan menerbitkan komik mini sejenis yang disebarluaskan sebagai hadiah permen oleh perusahaan permen yang sama. Ceritanya digarap oleh pekomik lokal, yaitu mengambil pokok cerita 1001 Malam, seperti Aladdin, Abu Nawas, Ali Baba, dan Sinbad si Pelaut, dengan pola cerita dagelan ala anak muda masa kini.  
Pada kenyataannya, kecenderungan ini bisa dianggap memuat sumbangan positif dan negatif. Sumbangan yang positif yaitu mendorong anak supaya senang membaca. Bahan bacaan, seperti telah disebutkan, lumayan banyak yang bernilai pengetahuan umum praktis. Hal negatif yang boleh jadi berpengaruh juga kepada anak, keinginan membeli setiap dagangan yang ditawarkan. Mungkin karena ingin menjadi "jagoan". Mungkin juga karena ada embel-embel hadiah yang beraneka macam.
IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) mulai tahun ini (1997) memberikan penghargaan Adi Karya untuk buku anak-anak terbaik (Gatra, No. 33 TAHUN III, 5 Juli 1997: 124). Sebuah upaya menghargai karya masyarakat buku dalam negeri telah dimulai. Tampaknya, melalui cara penghargaan tersebut, diharapkan keberadaan buku-buku cerita produk dalam negeri bisa terdongkrak, bisa bersaing dengan produk luar yang kini semakin menggelombang. Tetapi, kalau para penerbit masih setengah-setengah dalam menyikapi hal ini, terutama lebih mematok pertimbangan untung-rugi fisik, keberadaan buku cerita yang menasional masih tetap sulit terangkat. Di samping itu, kualitas garapan karya para penulis cerita maupun para pekomik dalam negeri, masih perlu peningkatan.
Keindahan alam, keindahan nilai sebuah persahabatan, keindahan perjuangan dalam aneka cerita keluaran Walt Disney, misalnya, meskipun berlatar belakang cerita dunia lain, bisa mengasah rasa cinta para pembaca. Lebih hidup lagi kalau cerita itu kita nikmati dalam cerita animasi kartunnya. Tetapi, cerita hasil para pengarang kita? Rasanya belum ada yang peduli dengan model penceritaan yang lebih mementingkan pembinaan rasa tersebut. Beberapa film animasi kartun Jepang yang kini kerap diputar di teve-teve swasta, menampakkan konsep penceritaan yang melibatkan emosi penuh penontonnya. Gaya penceritaan tersebut, misalnya saja, tampak pada cerita The Kicker, Virtua Fighter,dan Kungfu Boy.
Lingkungan anak-anak kini telah banyak berubah. Dunia bermain mereka adalah dunia cerita para jagoan. Merebaknya acara teve ke desa-desa, sejalan dengan meningkatnya tanda kemakmuran dan kemampuan daya beli masyarakat Indonesia pada umumnya, telah mengubah begitu banyak lingkungan anak kita. Dulu, ketika teve dan radio masih berupa barang mewah dan langka, anak-anak masih bisa merasakan perubahan alam. Rembulan yang purnama masih bisa dinikmati, bahkan ditunggu-tunggu, untuk melengkapi kebahagiaan bermain di lingkungan rumah. Musim panen di lingkungan persawahan selalu dinanti untuk bermain layang-layang sepuasnya. Keakraban anak-anak dengan lingkungan alam kini telah dibatasi dinding rumah. Pada siang hari, anak sulit menemukan lahan bermain yang bebas dan aman. Pada malam hari, anak-anak lebih banyak menongkrongi acara teve. Keakraban anak dengan alam tinggal dongeng dalam buku-buku. Itu pun telah disusupi aneka pesan sponsor lewat para jagoan ciptaan baru. Boleh dikatakan, kini, dunia anak adalah dunia para jagoan: jago belanja dan jago tawuran?***






Saturday 2 January 2010

BEBAN DALAM POLA GAMBAR GUNUNG KEMBAR

Oleh
Jajang Suryana


Sebuah kondisi umum yang ditemukan dalam gambar anak-anak dengan pola "gunung kembar" adalah 2 bidang 'luas' yang sulit ditaklukan oleh anak-anak. Pola gambar tersebut menyisakan dua ruang bidang gambar yang penggarapannya bisa melelahkan. Seseorang yang ingin mengisi kedua bidang tersebut, harus berpikir "bagaimana mengisi lahan luas di depan penggambar hingga ujung kaki gunung"? Kesadaran bahwa antara gunung dengan penggambar ada 'jarak' yang amat luas, amat jauh, memaksa penggambar harus bersusah payah mengisikan banyak objek dalam dua bagian lahan tadi. 


Sebuah pemecahan masalah yang lazim ditemukan adalah, setelah menempatkan jalan lurus atau berkelok (ini bagian pola 'wajib' dalam pola gambar "gunung kembar"), adalah mengisi bidang kiri dengan gambar petak-petak sawah atau tegalan yang berpohon jarang, dan sebelah kanan dengan ruang berair sejenis danau atau laut. Pola ini bisa juga memaksa penggambar untuk mengisi bagian kiri dan kanan dengan tegalan, sementara bagian tengah dengan lahan berair. 


Bagi anak-anak sekolah TK dan SD kelas rendah, kondisi itu tidak terlalu memberatkan. Bagi mereka, isi tegalan bisa berupa satu rumah, satu pohon besar (pohon kayu atau kelapa), satu orang, dan satu vas bunga. Bagi mereka isi tegalan yang luas itu cukup dengan objek-objek tadi. Tetapi bagi anak-anak kelas 5 dan 6 SD misalnya, apalagi remaja SMP dan SMA, mereka dibebani oleh 'keharusan' mengisi ruang dengan objek gambar yang "rasional". Beban inilah yang kerap dikeluhkan oleh anak-anak dan remaja yang sejak awal hanya bisa menggambar mengikuti pola "gunung kembar".


Anak-anak yang pola berpikir ruangnya telah mengikuti pola pikir teori gambar perspektif, di antaranya bisa mengatasi beberapa kendala pola gambar "gunung kembar" itu. Misalnya, mereka menemukan bahwa objek yang dekat dengan penggambar ukurannya lebih besar, sehingga bisa menutup sebagian ruang gambar. Sementara gambar objek lainnya yang jauh dari penggambar, dibuat dengan ukuran lebih kecil, dan sebagian terhalang objek yang lebih dekat posisinya. Objek disusun bersaf saling menghalangi. Ada juga yang menemukan cara "perebahan" yang khas. Contohnya, ketika ada gambar objek jalan yang telah dibuat, maka gambar pohon, tiang listrik, rumah, atau objek lainnya direbahkan ke arah sisi jalan yang berbeda: ke kiri dan ke kanan. Gambar kendaran bisa digambarkan rebah ke arah kiri atau ke kanan. Dan yang lebih unik, ketika ada gambar sebuah lapangan atau kolam dengan dasar gambar segi empat, objek-objek akan digambarkan rebah keempat arah sisi bentuk sebi empat objek. Namun kebanyakan anak dan remaja mengalami kesulitan karena mereka menggunakan pola gambar perspektif burung: semua objek digambar dengan posisi penggambar dari arah atas. 


Satu pola lagi yang kerap ditemukan sebagai bentuk penaklukan ruangan perspektifis pada anak dan remaja adalah pola susun yang biasa digunakan dalam lukisan tradisional. Objek disusun berderet ke arah bidang atas. Objek yang jauh ditempatkan lebih di atas.


Yang perlu mendapat perhatian guru dan orang tua adalah beban berat yang dihadapi anak-anak ketika mereka telah sangat kuat terikat pola gambar "gunung kembar". Anak-anak menghadapi bidang gambar yang harus diisi begitu banyak objek (tuntutan rasio), sementara mereka memiliki keterbatasan imajinasi. Jalan keluar menghadapi permasalahan itu adalah mengenalkan pola perspektif objek, bahwa benda-benda yang ada di alam tidak berposisi sama semuanya. Objek-objek selalu menempati ruang yang berbeda (:contohkan dengan melihat benda-benda sebenarnya di alam). Menggambar alam, sebaiknya melihat langsung alamnya. Menggambar menggunakan imajinasi semata kerap berbentrokan dengan pertimbangan rasio. Pertimbangan rasio itulah yang sering membebani anak-anak dan remaja. Apalagi jika beban itu ditambah oleh pertanyaan dan pernyataan guru atau orang tua: "Kok gambarnya begitu? Mengapa tidak begini dan begitu?"!





Tegalan yang luas, dalam pola gambar "gunung kembar", menjadi beban tersendiri bagi anak-anak
yang telah 'dikuasai' pertimbangan rasionya


Bagian lahan berair menjadi pilihan yang dianggap 'aman' untuk mengisi ruang gambar yang luas, di samping tegalan yang tak rimbun


Gambar jalan dalam pola gambar "gunung kembar" seolah menjadi objek 'wajib'. Anak-anak tertentu menggarap penggambaran gunung menjadi lebih beragam dari pola dasar yang telah mereka dapatkan


Pola gambar perspektif burung, penggambar berada di posisi atas, menyebabkan lahan gambar yang
semakin luas, semakin berat beban keharusan dalam mengisi lahan luas tersebut
 
Objek yang dekat dengan penggambar telah direkam secara benar (menurut rasio), sementara objek lainnya
masih diposisikan sesuai dengan imajinasi penggambar


Petak-petak sawah dan vas bunga menjadi sangat penting dalam gambar ini, sehingga ukurannya (secara rasio) lebih besar daripada objek lainnya, objek rumah misalnya


Kesadaran perspektif mulai tampak lebih dominan dalam gambar ini. Objek-objek mulai ditempatkan
'sesuai dengan posisinya'. Tetapi, beban tegalan masih menjadi beban yang jug dominan
 
Meniru lingkungan, paling tidak meniru gambar hasil karya orang dewasa, telah mengubah
bebarapa bagian gambar yang dibuat oleh anak-anak


Pola perebahan objek gambar mengikuti arah bidang gambar, misalnya jalan, di sini kentara sekali, terutama
dalam penggambaran kendaraan dan sebagian pohon yang ada di pinggir jalan. Imajinasi penggambar,
dalam gambar ini, sangat dominan dibanding rasionya


Semua gambar direproduksi menggunakan kamera HP Sony Ericsson K850i