Sunday 10 July 2016

KELEMAHAN DATABASE BUDAYA INDONESIA


Oleh
Jajang Suryana



Arsip, selama ini dibayangkan sebagai sekumpulan data berupa tumpukan kertas. Kertas-kertas berisi catatan itu, biasanya, disimpan bertumpuk, dalam gudang yang selalu tertutup, penuh debu dan sarang laba-laba. Ya, arsip sejenis itu, masih banyak kita temukan di lingkungan institusi kita di Indonesia.  

Ketika para pengawas dari 'pusat' mendadak datang memeriksa suatu instansi, yang mereka cari adalah arsip-arsip berbagai data fisik, sesuai dengan keperluan pemeriksaannya. Data fisik menjadi data yang dianggap 'benar, valid, shahih, terpercaya, dan bukti nyata'. Oleh karena itu, arsip selalu cenderung dalam bentuk data fisik. 

Jika sumber data yang harus diarsipkan beribu jumlahnya, dan setiap hari yang kemudian menjadi minggu, bulan, dan tahun, arsip terus bertambah, maka arsip fisik itu memerlukan ruang penyimpanan yang sangat luas. Selain memerlukan ruangan yang lega, arsip memerlukan cara penempatan yang memudahkan pencariannya (istilah sekarang pengaksesannya). Diperlukan sistem penyimpanan yang khusus. Lalu, gudang sebesar apa dan sistem seperti apa yang bisa mewadahi ribuan bahkan jutaan arsip fisik tersebut? Hingga kapan arsip itu harus disimpan dalam gudang sebagai arsip berharga? 

Miris sekali apa yang sempat tertangkap kamera milik mahasiswa. Kejadiannya berlangsung pada saat hari libur. Petugas sebuah perpustakaan fakultas pada sebuah kampus, “membersihkan” isi gudang arsip skripsi milik perpustakaan fakultas. Setiap periode pelulusan mahasiswa, jika pada sebuah fakultas ada 6 jurusan atau prodi, dan pada setiap jurusan ada sekitar 10 orang saja yang lulus, mereka menghasilkan 60 eksemplar skripsi yang diarsipkan di perpustakaan fakultas. Meningkat lebih tinggi, di perpustakaan universitas, tumpukan arsip tersebut bisa dikalikan jumlah fakultas yang diayominya. Betapa kekayaan arsip setiap universitas. Belum lagi ada sejumlah arsip penelitian dosen yang terkumpul data laporannya di lemlit dan LPM. Setiap semester telah terkumpul sekian ribu laporan hasil penelitian. Apakah semua arsip tesebut sempat didesiminasikan? Sebagian, ya! Sisanya? Sebuah upaya pencarian dan hasil temuan ilmiah yang belum pernah bisa ditemukan jalan keluar pemanfaatannya. Itulah, yang terjadi pada suatu hari Minggu, di sebuah perpustakaan fakultas, ada “hujan” skripsi dari lantai tiga gedung fakultas, jatuh di atas tempat sampah pinggir gedung lantai dasar. Pertanyaan postingan yang menyertai video hujan skripsi tersebut sangat mengenaskan: “Skripsiku akan bernasib seperti itu juga?”

Skripsi di UIN Alauddin Makassar (dari Liputan 6)


Di samping arsip fisik seperti skrpisi dalam paparan tadi, mahasiswa biasanya diwajibkan menyerahkan satu keping cakram berisi kopian arsip skripsi mereka untuk jurusan, fakultas, dan universitas. Tumpukan benda arsip inipun hampir sama kondisinya, menyesaki ruang simpan arsip masing-masing lembaga. Diperlukan kebijakan pengarsipan yang lebih sehat agar semua hasil olah ilmiah tadi bisa bermanfaat bagi (minimal) sivitas akademika lembaga tertentu. Digitalisasi dianggap jalan keluar masa kini permasalahan tersebut.

Permasalahan yang sama tentang pengeliminasian data fisik berupa skripsi dan tesis yang sempat menjadi bahan respon netizen, terjadi di UIN Alaudin Makassar. Satu catatan yang sempat ditampilkan dalam berita digital Liputan 6 (http://citizen6. liputan6.com/read/2449307/beredar-foto-ribuan-skripsi-dibuang-pihak-kampus-netizen-geram) ditanggapi oleh pihak kampus seperti dikutipkan berikut ini:

"Kebijakan ini bukan utk membuang skripsi, melainkan menyiangi (selving). Setiap tahun pasca 2010, kita menerima lebih dari 7000an karya ilmiah (belum termasuk makalah dan hasil penelitian. Koleksi tsb ditempatkan di lantai 4. Jika 4 tahun ke depan tdk kita siangi dari sekarang, maka karya ilmiah yg sekarang masih di rak, plus 34.000an yang akan masuk. Maka ada resiko over load koleksi. Kebijakan menyiangi tdk berarti memusnahkan hasil kerja ilmiah seluruh penulis (khususnya adik mahasiswa). Kami hanya menyiangi fisiknya setelah mengkonversi ke file pdf dan insyaAllah akan bisa diakses via website perpustakaan. Jadi tenanglah dinda, karya kalian tentu tdk akan dibuang, hanya dialih mediakan. Skripsi adinda semua sebetulnya juga ada di fakultas dan jurusan, namun biasanya tak dikelola dgn baik. Penyiangan di UPT Perpustakaan insyaAllah juga menjadi awal pemberdayaan perpustakaan fakultas secara lebih optimal, khususnya uyk layanan karya ilmiah."

Netizen lalu menanggapi dengan pertanyaan, jika skripsi digital adalah solusi agar pengelolaan arsip lebih mudah, mengapa selama ini pihak kampus masih menerapkan kebijakan penggarapan skripsi dengan menggunakan kertas. Jika pada akhirnya dibuang, bukankah itu mubazir?

Kutipan lain dari detik.com (http://news.detik.com/berita/3156561/uin-makassar-buang-ribuan-skripsi-komisi-viii-dpr-aneh-dan-janggal) dilengkapi dengan berita tentang tanggapan anggota dewan yang merespon kejadian tersebut.

Jakarta - UIN Alauddin Makassar membuang dan memusnahkan ribuan karya ilmiah berupa skripsi, tesis, dan disertasi yang tersimpan di perpustakaan. Ketua Komisi VIII DPR Saleh Partaonan Daulay merasa aksi pembuangan dan pemusnahan itu janggal dan aneh.

"Tidak semestinya pihak perpustakaan UIN Alauddin memusnahkan karya-karya akademik seperti itu. Ada beberapa hal yang membuat tindakan itu dinilai aneh dan janggal," kata Saleh kepada wartawan, Kamis (3/3/2016).

Jika diperiksa secara teliti, semua kampus memiliki persoalan yang hampir sama. Mungkin juga lembaga lain yang terkait dengan jenis-jenis arsip ilmiah dan non-ilmiah lainnya. Jalan keluar perlu dirumuskan secara nasional, karena hal ini adalah masalah nasional, masalah yang akan dihadapi oleh semua lembaga terkait.

Pengakuan berupa jalan keluar yang dianggap etis, tampak dalam berita berikut (http://news.detik.com/berita/3156994/feb-ugm-juga-musnahkan-skripsi-sejak-2010-ubah-dalam-bentuk-digital)

Sleman - Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) telah melakukan digitalisasi karya ilmiah mahasiswa sejak 6 tahun terakhir. Setelahnya penghancuran dilakukan, tapi dengan proses yang hati-hati.

"Di FEB UGM sudah dimusnahkan, mulai tahun 2010. Tahun ini sudah tahap terakhir, Insya Allah selesai," ujar Koordinator Perpustakaan FEB UGM Atun kepada detikcom, Kamis (3/3/2016).

Proses digitalisasi dan pemusnahan dilakukan pada karya tulis di bawah tahun 2008. Sebab, sejak tahun 2008, mahasiswa hanya mengumpulkan skripsi, tesis, dan disertasi dalam bentuk softfile.

Sanggahan yang menunjukkan sikap hati-hati dan bijak dalam menyikapi masalah skripsi ini tampak dalam berita berikut yang dilansir oleh detik.com (http://news.detik.com/berita/3157026/meski-skripsi-sudah-didigitalisasi-uny-tetap-jaga-dokumen-asli)

Yogyakarta - Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof Dr Rochmat Wahab M Pd, MA angkat bicara soal foto pemusnahan skripsi dan tesis yang ramai dibicarakan di media sosial. Menurutnya, dokumen asli karya ilmiah seharusnya tetap dijaga.

"Kalau kami, akan tetap disimpan. Itu dokumen asli penting harus dijaga," ujar Rochmat kepada detikcom, Kamis (3/3/2016).

Menurutnya, karya ilmiah merupakan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan yang harus dirawat. Dia menegaskan hingga saat ini tak ada kebijakan pemusnahan karya ilmiah dalam bentuk apapun di UNY.

"Kadang ada yang lulusan tahun 80-an minta transkrip, kan harus ada dokumennya," kata Rochmat. Sehingga meski sudah dilakukan digitalisasi, dokumen asli tetap disimpan.



detikNews / Berita / Detail Berita (Kamis 03 Mar 2016, 12:20 WIB)




ENDO SUHANDA

Arsip masa kini, yang memungkinkan disimpan dalam bentuk digital, ternyata belum bisa diterima penuh oleh para petugas pemeriksa arsip. Mereka selalu butuh arsip fisik. Lalu, ketika arsip fisik, seperti telah disebutkan, telah membangun ruang bingung, bagaimana posisi arsip digital? Kini muncul dua jenis beban pengarsipan: arsip fisik dan (keharusan, sejalan perkembangan teknologi) pengarsipan secara digital. Jika semua arsip harus disimpan dalam bentuk fisik, bagaimana mengamankan data fisik berupa benda-benda nyata, yang memakan ruang dan memerlukan pemeliharaan khusus? Gedung museum, gallery, dan tempat ‘pengarsipan’ sejenisnya, adalah juga sebagai tempat yang sangat terbatas. Lalu, bagaimana mengarsipkan benda-benda hasil budaya fisik maupun hasil budaya lainnya?

Saya teringat apa yang dikemukakan oleh Endo Suanda (06 Januari 2010), ahli etnomusikologi, yang membeberkan permasalahan tentang pengarsipan data hasil seni budaya Bali secara digital. Kegiatan berlangsung dalam semiloka ulang tahun ke-5 GEOKS (Jalan Raya Singapadu No.87, Singapadu, Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali). Dimotori oleh Prof. Wayan Dibia, guru besar tari dari ISI Denpasar, dalam acara semiloka ini dihimpun berbagai pengelola lembaga penyimpan data seni budaya Bali, seniman, dosen kesenian, dan pemerintah daerah.


Lokasi GEOKS Singapadu

Bagi Endo, arsip yang digital dianggap sangat perlu, untuk menghidupkan fungsi arsip tersebut. Banyak arsip ‘mati’ karena tidak bisa diakses, tidak memiliki keterangan diri, dan penyimpanannya seperti menyimpan barang yang tak boleh diketahui orang lain. Jenis arsip lama kondisinya seperti itu. Seorang petugas arsip, hanya merasa punya keharusan menumpuk arsip dalam ruang khusus dan sekadar mencatat dalam buku agenda arsip. Setelah itu, selesailah tugas pengelola arsip tersebut. Ketika arsip diperlukan sebagai pembuktian data tertentu, pekerjaan mengakses data-data tersebut menjadi sangat ruwet dan penuh tenaga. Bahkan, bisa jadi, arsip yang dimaksud sulit ditemukan.

Banyak arsip (lebih khusus arsip digital) yang telah terkumpul menjadi arsip mati karena alat aksesnya telah hilang dari peredaran, tidak diproduksi lagi. Misalnya, film-film dokumentasi di studio televisi dan piringan-piringan hitam di studio audio. Jenis media penyimpanan data seperti pita film dan cakram audio serta video, sangat bergantung pada perkembangan teknologi. Jika data-data yang tersimpan dalam media sejenis terlambat ditransfer ke dalam media produk teknologi lanjutannya, akan sangat sulit mengakses data tersebut, karena perangkat pengolah data sejenis sudah tidak tersedia di pasaran. Banyak film dan cakram audio lama yang hanya mendekam dalam gudang, tidak bisa lagi memberi kontribusi kepada pencari data maupun pemilik data. Sejumlah pita rekaman yang (mungkin) masih bisa ditumpuki data lain yang baru, diberitakan, banyak juga yang digunakan ulang. Artinya, arsip lama didelete kemudian ditumpuki data baru.

Ketika kita menyebut sesuatu itu bagus, bermanfaat, berhasilguna tinggi, sangat diperlukan oleh masyarakat, atau sebaliknya; menyebut sesuatu itu jelek, berbahaya, burukfungsi, menghambat pembangunan; semua pernyataan itu memerlukan data yang bisa menguatkan anggapan tadi. Pernyataan dan kenyataan ilmiah, selalu meminta dukungan data yang jelas. Dan hal itulah yang selalu menjadi kelemahan banyak masyarakat kita. Oleh karena itu, dalam adu argumentasi, pemilik data ‘nyata’ bisa memenangkan akuannya, sekalipun dia mencuri data milik orang lain, ketimbang pemilik sah yang tidak memiliki bukti catatan data apa pun!

Data, arsip yang hidup, arsip yang mudah diakses, yang informatif, dalam pen-database-an milik bangsa menjadi sangat perlu. Database itu bisa menjadi kekayaan sekaligus bukti penguat bahwa sebuah bangsa memiliki hak yang sah atas benda-benda yang didokumentasikan. Artinya, siapapun yang terlebih dahulu mendokumentasikan tentang sesuatu secara lengkap, bisa dipertanggungjawabkan secara dokumen, wajar jika mengaku menjadi pemilik sah sesuatu. Di sini, dalam konteks ketidakjujuran pengakuan, agak sulit ditentang jika diperkarakan di depan sidang. Seringkali, bukti, entah dibuat dengan akal-akalan atau disiapkan secara jujur dan benar, menjadi pintu kemenangan ketika terjadi pengaduan perkara tentang pengakuan hak milik. Praktik dan produk hukum masa kini lebih memenangkan pemilik data daripada pemilik sah yang kurang peduli atau tidak memiliki bukti data. Tampaknya, seperti diungkapkan dalam peribahasa Arab: “Kebaikan yang tidak ditata secara sistemik bisa kalah oleh keburukan yang dikelola secara sistemik”.

Begitu banyak kekayaan hasil olah pikir, rasa, dan kesadaran lingkungan milik bangsa yang belum terdokumentasi. Kekayaan tersebut selalu secara bertahap hilang sejalan dengan hilangnya dukungan masyarakat. Begituun dengan kosakata yang melengkapinya. Ketika budaya mengolah sawah masih menggunakan perangkat manual buatan masyarakat, tenggala, wuluku, garu, cangkul, garpu, ani-ani, serta perangkat kerja bersawah lainnya hadir sebagai benda fungsional umum di lingkungan persawahan dan perkebunan. Begitupun ketika budaya mengelola wilayah perairan berupa kolam dan sungai serta pesisir masih kuat dilakukan oleh masyarakat, banyak benda fungsional yang baru melengkapinya. Ketika semua kegiatan tesebut mulai kehilangan pendukungnya, satu demi satu mulailah hilang benda-benda dan sekaligus kosakata yang menandai keberadaan benda tersebut. Lalu, catatan tentangnya ada di mana? Siapa yang berkewajiban menginventarisasi data kekayaan bangsa tersebut?

Data kebahasaan Sunda, Jawa, dan Bali, misalnya, harus ditelusuri hingga ke perpustakaan-perpustakaan di Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa data penelitian tentangnya terdokumentasi dalam catatan bangsa lain. Merekalah yang pernah secara tertib mengumpulkan data lengkap tentangnya.

Bangsa Indonesia masih memiliki sejumlah kekayaan hasil budaya yang --sebagian besar-- masih belum terdokumentasikan. Masih ada kesempatan untuk segera menangani pendokumentasiannya sebelum terlambat lagi! Dan, tidak mengulang kekeliruan cara penanganannya.