Sunday 30 August 2009

Menghidupkan Golek Dalam Buku

Oleh Drs. Jajang Suryana, M.Sn.

  
1. PENGANTAR
(Sebuah Hasil Interpretasi)

Ada sebuah peribahasa Sunda lama yang berbunyi: “elmu lain tina daluang tapi ti pada urang”. Isi peribahasa yang merupakan petuah, pelajaran (Kamus Umum Basa Sunda, 1992: 44); mengiaskan maksud (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1991: 738); nasihat, prinsip hidup, atau aturan tingkah laku (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990: 671), boleh jadi telah diwariskan secara turun temurun. Selanjutnya, kandungan petuah tadi dijadikan dasar sikap hidup.

Secara umum peribahasa tadi bisa ditafsirkan sebagai berikut. Padan kalimatnya: “ilmu bukan dari kertas (buku) tetapi dari manusia”. Isi kalimat tadi bisa mengandung dua arti: 1) untuk mendapatkan ilmu bukan melalui belajar sendiri, tetapi melalui proses guru-murid; 2) mencari ilmu itu cukup dari belajar kepada orang saja, bukan dari buku. Tafsiran yang pertama sudah umum kita ketahui keberadaannya. Belajar, pada masa kini, sebagai sesuatu yang amat mendasar, harus ada guru, di sekolah atau pendidikan formal. Tetapi, tafsiran kedua, kalau memang benar, agak mengundang kekhawatiran. Berguru itu sangat perlu dalam kegiatan mengumpulkan ilmu, sebaliknya belajar sendiri, mengolah ilmu dari buku, atau mengolah ilmu menjadi buku, dianggap sesuatu yang tidak penting!

Berangkat dari kenyataan bahwa buku Ki Sunda yang mencatat masalah hasil olah budi dan daya masyarakatnya sangat kurang, muncul interpretasi tentang keterkaitan antara kenyataan dengan isi peribahasa tersebut, terutama dengan isi tafsiran yang kedua. Masyarakat Sunda telah begitu banyak melahirkan hasil olah pikir dan rasanya dalam bentuk gubahan: dengaran, lihatan, dengaran dan lihatan, maupun yang kasat mata. Mereka merespon lingkungan alam maupun sosial untuk mendapatkan kemaslahatan hidup. Tetapi catatan lengkap tentangnya tidak banyak kita dapatkan.

Gubahan berbentuk tembang, igel, igel-tembang, tabuh, alat tabuh, carita, dan aneka perkakas kerja maupun hiburan, begitu banyak jenisnya yang dilahirkan oleh masyarakat tatar Pasundan. Kekayaan tersebut, waktu demi waktu, sebagian telah ditinggalkan penggunanya. Sejumlah kesenian buhun mulai kehilangan pendukung. Para pelaku aktifnya tidak sempat menurunkan pengalaman, kesukaan, maupun rasa penghargaan kepada generasi penerusnya. Lalu, jenis hasil olah nalar dan tanggapan hati yang masih ada, cukup memiliki pendukung, kurang diperhatikan keberadaannya.

Wayang golek sebagai contoh, selanjutnya cukup disebut golek (bisa mengacu kepada boneka wayang maupun pertunjukan) masih diperlakukan sebagai hasil olah pikir dan rasa yang cukup diturunkan lewat pola cantrik. Seorang pegolek (juru golek, pembuat golek) atau pun pedalang (pengguna golek), mengajarkan ilmunya dengan cara lisan dan teladan.

Keberadaan sekolah formal pedalangan telah cukup membantu dalam melanjutkan alih generasi bidang pedalangan secara formal. Tetapi, pewarisan keterampilan membuat boneka golek? Belum ada sekolah formal untuk para pembuat golek. Di sekolah formal seni rupa, jurusan atau fakultas pada UPI Bandung, ITB, STISI Bandung, maupun yang lain, belum ada yang tertarik untuk memperhatikan hal itu, walaupun hanya sekadar memasukkan materi pembuatan boneka golek sebagai mata kuliah, atau submata kuliah seni kriya kayu. Sehingga, seseorang yang belajar membuat boneka golek, tidak pernah mendapatkan teori tertulis. Para murid belajar melalui proses peniruan terhadap karya guru (copy master) maupun cara dan gaya guru.

Dalam proses peniruan tersebut diajarkan berbagai aturan, sejenis pakem, tentang raut golek, tentang warna hiasan dan wajah tokoh golek, juga tentang ukuran tinggi dan besar tubuh tokoh golek. Ada pemilahan kerja antara pria dengan wanita yang tampak dalam penyelesaian pembuatan golek. Para pegolek, terdiri atas para pria, hanya menyelesaikan pembuatan bagian tubuh golek tanpa pakaian maupun rarangken. Pemasangan pakaian dan hiasan adalah pekerjaan para wanita. Tentang hal ini pun tanpa acuan pasti yang ketat seperti pada pakem wayang kulit. Golek lebih menampakkan kebebasan sikap, atau malah menunjukkan ketidakajegan aturan? Contohnya pada penggunaan pakaian tokoh utama, warna baju dan jenis kain yang digunakan tidak diatur ketat. Begitu pun pada motif hias dan warna mahkota boneka golek. Semua itu, tentu, diajarkan tanpa buku petunjuk yang jelas. Oleh karena itu, tata aturan pembuatan golek bisa ditafsir secara merdeka oleh para pegolek, namun tetap bertanggung jawab. Yang dimaksud bertanggung jawab, seperti dikemukakan oleh M. Duyeh (1994) pegolek asal Cibiru, tetap mengacu kepada pola umum cerita dan tanda-tanda yang telah menjadi pakem utama dalam cerita wayang. Gaya Cibiru Lama, Gaya Cibiru Baru, Gaya Giriharja, dan Gaya Elung Bandung misalnya, menunjukkan keragaman tafsir tersebut. Begitupun hal-hal yang bertalian dengan cerita.

Pedalang Elan Surawisastra misalnya, pernah memprakarsai lahirnya Golek Pakuan, golek yang dipertunjukkan dengan menampilkan cerita tradisi Pasundan (Jajang, 1997). Memang, seni tradisi cenderung mengikuti pola penurunan yang tuna-tulis. Tetapi, bila kita lihat pola penurunan seni tradisi di lingkungan istana, penurunan itu lengkap dengan buku pintar. Tentang buku pintar golek ini, tentu menjadi masalah besar bagi mereka yang ingin mengetahui aneka aturan pembuatan golek. Bukti tentang langkanya buku pintar tentang golek itu bisa ditemukan di lapangan. Hingga kini, belum tampak Ki Sunda yang secara “sungguh-sungguh” merasa perlu membukukan golek. Di bagian perpustakaan Museum Sri Baduga, di Perpustakaan Daerah Jawa Barat, di Perpustakaan Umum Universitas Padjadjaran, dan beberapa tempat yang diperkirakan pantas memiliki pustaka golek, tidak saya temukan pustaka tersebut.

Hasil penelitian tahun 1995 (Jajang, 1995), beberapa orang yang terkait langsung dengan keberadaan golek awal --pegolek dan pedalang-- masih jumeneng. Dalam catatan Somantri (1989: 9) disebutkan bahwa Ki Darman, juru wayang asal Tegal, tahun 1840-an menggubah bentuk golek pertama berdasarkan pesanan Dalem Karang Anyar yang pada saat itu akan mengakhiri masa jabatannya sebagai Bupati Bandung. Bentuk golek pertama,cikal bakal golek masa kini, dibuat dari bahan kayu. Hasil gubahan Ki Darman masih menampakkan pengaruh wayang kulit. Bentuk golek buatannya tidak membulat seperti golek masa kini. Ki Darman beserta keluarganya tinggal di daerah Cibiru, Bandung. Beberapa keturunan Ki Darman yang masih tinggal di sekitar Cibiru, Ujung Berung, dan Selacau Padalarang, bisa dijadikan sebagai nara sumber, saksi hidup bagaimana kehadiran golek di tatar Pasundan.

Para pegolek generasi keempat dari Ki Darman, hingga kini masih aktif membuat boneka  golek. Bahkan, mereka mengembangkan bentuk-bentuk tambahan boneka golek. Mereka aktif merespon tuntutan lingkungan: berdialog dengan para penentu kebijakan seni, pemerhati seni, maupun pengguna karya seni. Begitu pun beberapa dalang kondang (“lima dan empat zaman”) masih bisa diajak berdialog membicarakan sisi kesejarahan golek dan pertunjukannya. Kelompok Giriharja dari Jelekong, Kabupaten Bandung, dikenal sebagai kelompok dalang yang berhasil membangkitkan kembali minat masyarakat dalam menonton pertunjukan wayang golek, terutama kalangan penonton muda. Mereka mempertunjukkan wayang golek sejalan dengan tuntutan zaman. Keberhasilan mereka juga memacu semangat para dalang wayang golek yang lain. Bahkan, gaya pertunjukannya diserap oleh para dalang wayang kulit yang dikenal sebagai dalang taat pakem.

2. GOLEK KUNO “RUSAK OLEH BERAS”
(Sebuah Kenyataan yang Memprihatinkan)

Nasib para pegolek berbeda jauh dengan nasib para dalang. Para dalang yang kemudian dikenal oleh masyarakat, bisa meningkatkan taraf  hidup mereka secara normal, bahkan di atas normal. Sebaliknya, para juru golek banyak yang kemudian berhenti berkarya karena alasan kekurangan biaya. Pegolek yang memiliki kemahiran dalam menghasilkan boneka golek yang bermutu, tetapi (terutama) kekurangan modal kerja, baru bisa berkarya ketika menerima uang persekot pesanan dari para dalang kondang. 

Masih ada sejumlah boneka golek peninggalan masa lalu yang mejadi catatan kesejarahan bidang wayang golek disimpan oleh orang-orang tertentu. M. Duyeh misalnya, banyak   memiliki boneka golek tua yang sarat dengan catatan penting tentang kesejarahan golek. Seperangkat boneka golek lama yang pernah dipergunakan seorang dalang kondang pada masanya, yang kerap digunakan dalam mempertunjukkan cerita wayang di istana negara pada masa Soekarno, dihibahkan oleh pemiliknya kepada M. Duyeh. Duyeh sendiri tidak mengerti, apa yang menjadi dasar pertimbangan pemilik golek menghibahkan sekotak  boneka golek itu kepadanya. Yang pasti, boneka-boneka golek karya M. Duyeh banyak dipakai para dalang tenar. Dia memiliki wawasan yang cukup luas tentang sejarah wayang maupun tata-bangun pembuatan boneka golek. Di samping itu, dia bisa dikatakan sebagai pegolek yang kreatif, banyak gagasan, serta banyak berhubungn dengan para pemikir dan  pemerhati golek. Barangkali, orang percaya kepadanya, sehingga dia mendapatkan hibah boneka-boneka golek kuno. Tetapi sayang, karena seperti pegolek kebanyakan yang  kondisi ekonomisnya kurang mencukupi, Duyeh terpaksa melepas satu demi satu golek kuno koleksinya, untuk “ditukar dengan beras”.    

Keberadaan boneka-boneka golek kuno seperti disebutkan tadi , bisa dipandang sebagai sesuatu yang memprihatinkan. “Pemuliaan” benda kuno selalu terbentur dengan masalah kurangnya biaya. Pemerintah daerah maupun pusat belum meperhatikan secara sungguh-sungguh tentang pencatatan semua hasil olah pikir dan rasa masyarakat kita yang penting.
Pengelola Museum Sri Baduga, Jawa Barat, maupun pengelola Museum Wayang Jakarta misalnya, tampaknya belum mampu mendokumentasikan keberadaan wayang secara lengkap, lebih khusus tentang golek. Kedua museum itu baru menyimpan boneka golek sebatas sebagai terok (sampel) catatan semata. Sayangnya, benda-benda visual yang masih tersimpan tersebut dibiarkan “bisu” tanpa informasi tertulis yang mendampinginya. Di Museum Sri Baduga, misalnya, hanya tersimpan (aman dalam kotak kaca) beberapa tokoh boneka golek lama cerita Mahabharata. Ada juga beberapa model golek menak (golek  lama dengan cerita panji, Raja Menak, Amir Ambiya), wayang kulit, dan wayang beber. Pengamanan karya, mungkin cukup baik, dengan adanya kamera pengaman untuk memantau pengunjung. Tetapi, kepuasan pengunjung yang ingin mendapatkan informasi yang lebih lengkap tentang golek, belum bisa terpenuhi. Buku koleksi perpustkaan museum yang ditempatkan di sebuah ruangan nyingkur, juga belum bisa memuaskan pengunjung. Atau mungkin, selama ini pengunjung tidak pernah butuh informasi tersebut?

Sama halnya dengan yang ada di Museum Wayang Jakarta. Keberadaan golek yang mengisi museum ini baru sebagai pelengkap koleksi museum. Pengelola museum baru menyediakan catatan pendek yang ditempel menyertai benda pajangan. Sumber informasi yang agak panjang baru ada berupa leaflet. Pengunjung belum bisa mendapat bahan tertulis secara lengkap. Informasi visual yang ada belum sejalan dengan kebutuhan pengunjung. Masih diperlukan begitu banyak bahan tertulis yang bisa dikaji ulang lama setelah mengunjungi museum.
Yayasan Sena Wangi, pengelola Museum Wayang Jakarta, pernah menerbitkan sebuah majalah yang isinya melulu membicarakan masalah perwayangan (1979 - 1989-an). Majalah yang diberi nama Gatra itu (bukan majalah Gatra dari kelompok Tempo) kini tak bisa terbit lagi. Majalah langka tersebut seperti yang ditulis dalam pengantar redaksi, dimaksudkan sebagai jembatan penghubung antara pelaku langsung kegiatan wayang dengan pemerhati dan penikmat wayang. Tampaknya, ditunggu segera pemilik modalyang sadar-wayang untuk menunjang dana penerbitan kembali majalah tersebut. Sehingga dunia teori perwayangan bisa dibicarakan dalam lingkup yang lebih luas.

3. GOLEK DALAM BUKU
(Sebuah Usulan Upaya Pelestarian)

Pemertahanan hasil budaya fisik maupun nonfisik sering ditunjuk sebagai bentuk upaya pelestarian. Melanjutkan keberadaan, menurunkan pola, mewariskan nilai, mengajarkan kembali, adalah bentuk-bentuk pelestarian yang gampang ditunjuk. Sejumlah orang ngotot, bahwa melestarikan hasil budaya adalah melanjutkan keberadaannya secara asli.

Mengikuti pakem dan segala jenis aturan, adab, timbangan, keharusan, merupakan pilihan model pelestarian yang terlalu kaku. Harus kita sadari bahwa hasil budaya adalah hasil olah pikir, rasa, dan keterampilan, yang bisa dinikmati dengan pikir, rasa, atau dalam pelanjutan bentuk keterampilan. Padahal ketiga unsur tadi berubah mengikuti waktu dan keinginan-keinginan manusia.
Ketika pertunjukan golek dianggap “membosankan”, bahkan dituding sebagai biang keburukan, banyak dalang kemudian tidak mendapat panggilan untuk manggung. Penilaian yang negatif tadi menantang Abah Sunarya, pegolek sekaligus pedalang kondang dari Jelekong, Kabupaten Bandung. Abah (panggilannya) menggugah anak-anaknya, juga pedalang, untuk motekar --mencari aneka jalan untuk meningkatkan sesuatu ( Iden Sunarya, 1994). Muncullah Ade Kosasih Sunarya yang menemukan gaya pertunjukan wayang golek baru, gaya pertunjukan yang mengutamakan banyolan, guyonan. Cara mempertunjukkan boneka golek dilengkapi dengan sabetan yang prima.

Peniruan gaya-gaya yang populer dari tayangan film televisi, film silat misalnya, sangat mendominasi gaya pertunjukan kelompok dalang Giriharja. Tokoh-tokoh “baru” sebagai unsur pelengkap cerita ditampilkan mengikuti tanda-tanda kekinian. Ada tokoh wayang yang membawa gitar, bernyanyi lagu Barat, menunggangi sepeda motor, (maaf) muntah mie, muntah darah, “mengeluarkan” aji kanuragan seperti dalam film-film kungfu, retak bagian kepala, membuka mulut dan menjulurkan lidah, bahkan karena pengaruh film boneka Kermit, ada juga tokoh wayang buta (raksasa) yang dibuat dari bahan karet.           
   
Terlepas dari sikap setuju atau menolak terhadap tampilan baru pertunjukan wayang golek tersebut, kita pandang usaha para dalang Giriharja itu sebagai bentuk pelestarian. Terbukti, setelah muncul gaya panggung keluarga Sunarya (dimotori oleh Ade Kosasih Sunarya dan Asep Sunandar Sunarya), bangkitlah kesenangan menonton pertunjukan wayang golek.

Sasaran utama program garapan Ade beserta kakak dan adiknya yang disebut “Gebrakan 80-an” itu, adalah generasi muda. Mereka ingin mengantarkan pertunjukan wayang golek ke hadapan generasi muda. Dan, upaya tersebut berhasil. Kini, pertunjukan wayang golek bisa masuk ke kampus, kantor, bahkan hotel berbintang.

Meskipun demikian, sejumlah pemerhati pertunjukan wayang golek merasa “terganggu” oleh gaya pertunjukan baru tersebut. Berbagai perbantahan, polemik, muncul di media massa. Kelompok yang tidak setuju dengan hasil pembaruan itu menyatakan keberatan atas perubahan-perubahan yang dimunculkan dalam sejumlah raut tokoh golek. Seperti ditulis Abas (1988), para dalang generasi tua yang “konservatif” ada yang masih beranggapan bahwa munculnya raut golek baru tersebut “menurunkan nilai isi pertunjukan golek, ngelantur terlalu jauh dari tetekon”, aturan baku. Kelompok masyarakat yang merasa “terhibur” dengan gaya pintonan anyar, tontonan baru garapan para dalang Giriharja, menyatakan kesetujuan mereka. Mereka merasakan angin segar ketika menonton pertunjukan wayang golek masa kini. Terutama mereka melihat pengaruh baik yang ditimbulkan dari gaya pertunjukan tersebut, yaitu semakin meluasnya penikmat pertunjukan wayang golek.     

Perubahan dan pelestarian dalam bentuk lain tanpa terasa bisa diterima oleh pendukung wayang golek. Pertunjukan wayang golek telah lama “masuk” radio, kemudian dikasetkan, dan terakhir ditayangkan di televisi. Boleh jadi, sejalan dengan berkembangnya media massa dan perangkat teknologi, pertunjukkan wayang golek akan masuk juga dalam lingkungan internet. Animasi cerita wayang, cikal bakalnya, pernah digarap menjadi tayangan dalam televisi.
Catatan tentang pertunjukan wayang golek cukup beragam. Rekaman dalam pita kaset (audio), dalam film negatif dan positif (gambar bingkai mati), maupun dalam pita seluloid (audio visual), merupakan catatan penting yang bisa disimpan sebagai bukti keberadaan pertunjukan wayang golek. Bahkan, dengan semakin mudahnya teknik penggandaan CD dan DVD, pertunjukan wayang golek bisa direkam dan dikemas ringkas dalam beragam bentuk format media cakram tersebut.

Catatan tertulis tentang pertunjukan wayang golek berupa dokumen teori bisa ditunjuk beberapa buku. Di antaranya dalam 1) Ungkapan Beberapa Bentuk Kesenian (Teater, Wayang Dan Tari) yang ditulis oleh Ahmad A. Kasim, djp., t.th., Jakarta: Direktorat Kesenian, Proyek Kesenian Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; 2) Wayang Golek De Fascinerende Wereld Van Het Klassieke West-Javanese Poppenspel, (Peter Buurman, 1984), Amsterdam: A.W. Sijthoff; 3) Padalangan, 2 jilid, cetakan kedua, (Mas Adung Salmun, 1986), Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; 4) Pagelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan (Atik Soepadi, 1984), Bandung: Pustaka Buana; 5) Tetekon Padalangan Sunda, dari Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia Jakarta, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, dan 5) Majalah Warta Wayang Gatra, No. 19.I.1989, Jakarta: Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia “Sena Wangi”.  Mungkin, masih ada buku teori yang lain, yang entah mengapa tidak beredar secara luas, sehingga sulit ditemukan.   

Catatan tentang boneka golek, pembuatan golek, pegolek, maupun sejarah golek, sangat sulit didapatkan. Seperti telah disebutkan, pustaka tentang golek sulit ditemukan, di tempat-tempat yang strategis sekalipun. Di Perpustakaan Umum ITB misalnya, tahun 1990-an baru ada dua buah hasil penelitian Ki Sunda yang khusus membicarakan golek, berupa skripsi dan tesis. Skripsi tersebut disusun untuk menyelesaikan program sarjana seni rupa di Jurusan Seni Rupa, Departemen Perencanaan dan Seni Rupa ITB, ditulis oleh Djauhari Sutarman (1968), dengan judul Wayang Golek Purwa pada Masyarakat Sunda: Suatu Tinjauan serta Saran-saran dari Segi Seni Rupa. Sedangkan tesis disusun sebagai syarat mengikuti ujian akhir pada Program Magister Seni Rupa dan Desain ITB, ditulis oleh Jajang S. (1995) berjudul Kajian tentang Raut Wayang golek Sunda Ditinjau dari Latar Belakang Watak Tokoh.    

Buku yang lain, dengan titimangsa terbaru (1984), ditulis dalam bahasa Belanda bukan oleh Ki Sunda, isinya cukup lengkap menginformasikan tentang pembuatan boneka golek maupun pertunjukannya. Peter Buurman, penulisnya, lebih banyak menyoroti keberadaan pegolek, boneka golek, pedalang, dan pertunjukan wayang golek di daerah Bogor. Buurman membahas golek yang berlatar cerita Mahabharata dan Ramayana.

Dalam pustaka rujukannya, Buurman menunjuk tiga buah buku yang membahas wayang golek. Dua buah buku ditulis oleh Ki Sunda, yaitu Padalangan di Pasoendan yang disusun oleh Mas Adung Salmoen (1948), dan De Wayang Golek in West Java yang ditulis oleh M.A. Sutaarga (1955). Serta, satu buku yang ditulis oleh K. Foley (1979), berjudul The Sundanese Wayang Golek: The Rod Puppet Theatre of West Java (tesis untuk menyelesaikan gelar Ph.D. pada Universitas Hawaii.         

Mengacu kepada keadaan perbukuan tentang boneka golek maupun pertunjukan wayang golek yang demikian langka, sudah sepantasnya terutama Ki Sunda segera sadar untuk mendokumentasikan hasil olah pikir dan rasa masyarakatnya. Pendokumentasian bisa berbentuk buku (literal maupun digital), gambar (foto negatif dan positif, imej digital, dan film), ataupun dalam bentuk penyimpanan fisik boneka golek.

Tentang penerbitan buku literal tampaknya banyak penerbit yang berhitung dana dan keuntungan untuk menerbitkannya. Buku tentang golek dan sejenisnya biasa dianggap sebagai buku yang kurang diminati pembeli. Tetapi kita bisa membandingkan dengan keberadaan buku tentang wayang kulit. Cukup banyak buku yang membahas wayang kulit, terutama tentang sejarahnya, cara pembuatannya, dan gaya pembentukan rautnya. Dahara Prize dari Semarang bisa ditunjuk sebagai salah satu contoh penerbit yang banyak memodali penerbitan buku tentang wayang kulit. Sudah waktunya penerbit-penerbit yang ada di tatar Pasundan berani menjadi sponsor pembukuan golek. Jangan sampai penulis dan penerbit luar negeri saja yang memiliki keberanian menangani pemuliaan seni-seni tradisional milik kita. Kita mesti belajar dari peristiwa masa lalu, ketika para mahasiswa akan membahas dan mendalami nilai-nlai budaya Sunda, mereka harus mencari data di Perpustakaan Leiden. Universitas Hawaii misalnya, juga sudah menerbitkan beberapa kajian tentang wayang golek sebagai hasil penelitian berbentuk tesis atau disertasi.

Masih diperlukan penyadaran kepada para pemilik naskah kuno bahwa naskah-naskah tersebut perlu dibaca oleh banyak orang. Dalam pandangan masyarakat tradisional masih ada anggapan bahwa membaca catatan-catatan kuno yang dipercayai sebagai benda sakral bisa mendatangkan bala bagi pembaca yang bukan haknya. Keadaan seperti itu, di satu sisi bisa mengamankan naskah  kuno karena dianggap pusaka yang harus dipelihara. Tetapi di sisi yang lain menyebabkan terputusnya informasi. Sebagai bahan bandingan apa yang terjadi di Bali. Ada Alqur-an kuno yang diperkirakan lebih tua daripada Alqur-an tertua yang ditemukan di Aceh. Alqur-an tadi masih utuh terpelihara karena sama sekali tidak pernah disentuh apalagi dibaca. Benda kuno tersebut dijadikan benda sakral yang tersimpan sebagai benda milik pura. Baru beberapa tahun yang lalu Alqur-an itu diserahkan kepada seseorang yang kenal dekat dengan pemangku pura tempat Alqur-an itu lama disimpan.     

Masih contoh yang ada di Bali. Ada anak muda yang kreatif menerbitkan buku-buku yang berisi informasi “ringan” untuk konsumsi para wisatawan mancanegara. Buku yang disebut indeks tersebut berupa “cerita pendek” yang dilengkapi gambar tentang sesuatu, misalnya tentang  barong, tari kecak, pura, delman, makanan khas, dan sejumlah objek tulisan menarik lainnya untuk para wisatawan. Semua buku tadi disusun dalam bahasa Inggris. Isi bahasannya sebatas: apa yang disebut barong; bagaimana pementasan tari kecak; apa fungsi bangunan pura; dan sebagainya. Buku indeks sejenis sangat laku dan hanya dijual di satu tempat saja di daerah Ubud. Mengindekskan wayang dan semua benda budaya milik kita bisa menjadi pilihan menarik yang bisa dicoba. 

Buku digital tentang golek sudah waktunya juga digarap sebagai salah satu buku yang tidak memerlukan proses cetak langsung ketika buku itu akan ditawarkan kepada pembaca. Para ahli program komputer bisa membangun situs jaringan internet yang isinya tentang wacana, gambar diam maupun hidup, juga film tentang boneka golek dan pertunjukannya. Dunia maya telah menjadi sarana komunikasi tanpa batas antarmanusia di seluruh penjuru dunia. Oleh karena itu, lahan yang biasa dipakai promosi, tukar informasi, e-commerce, hingga pembajakan ini, dalam batas-batas tertentu bisa diambil kemaslahatannya untuk memperkenalkan golek secara lebih luas.

Keunggulan buku digital bisa ditunjuk dalam beberapa hal. Sarana penyimpanan data yang biasa digunakan, mislanya CD-ROM yang normal, bisa menyimpan sekitar 680 MB data. Satu set ensiklopedi cukup disimpan dalam dua buah CD-ROM. Di dalamnya sudah lengkap berisi tulisan, gambar mati, gambar hidup, serta film yang dilengkapi suara dengan format sederhana maupun musik yang rumit. Penyimpanan buku jenis ini pun cukup mudah, ringkas, dan tak memakan ruang terlalu banyak. Buku menjadi semakin aktraktif, bahkan interaktif dengan pembaca. Dan, MPC (Multimedia Personal Computer) sebagai alat baca buku digital yang memadai kini sudah menjadi alat rumahan.   

Apapun jenis pelestarian yang dipilih, akan kembali sepenuhnya kepada kesadaran Ki Sunda. Maukah Ki Sunda menghargai hasil olah rasa, pikir, dan keterampilan milik masyarakatnya? Kemudian, mampukah Ki Sunda menjadi penulis dan pendokumentasi yang baik tentang kekayaan miliknya? Obor harus dinyalakan lagi --meminjam ungkapan “pareumeun obor”  yang digunakan Ajip Rosidi (Sudrajat, 2001: 54) tentang pengalaman buruk masa lalu yang dialami oleh urang Sunda). Oleh karena itu, jangan sampai dalam buku-buku sejarah kita hanya sekadar mencatat tentang tahun, nama raja yang berkuasa, serta nama kerajaan saja sebagai bahan hapalan guru dan murid-murid. Sementara tentang kekayaan pikir, adat, ekonomi, sungai, tanah, gunung, laut, dan sejenisnya tak pernah tersentuh menjadi bahan bahasan. Mudah-mudahan Ensiklopedi Sunda (2000) adalah awal bangkitnya kepedulian Ki Sunda terhadap kekayaan miliknya.  

Pustaka Rujukan

Ahmad, A. Kasim (djp.). t.th. Ungkapan Beberapa Bentuk Kesenian (Teater, Wayang Dan       Tari). Jakarta: Direktorat Kesenian, Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta,        Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Echols, John M. dan Hassan Shadily, 1990. Kamus Inggris Indonesia. Cetakan kedelapan    belas. Jakarta: Gramedia
Jajang S. 1995. Kajian Tentang Raut Wayang Golek Sunda Ditinjau Dari Latar Belakang        Watak Tokoh. Tesis pada Program Magister Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi         Bandung
Jajang S. 1997. Wayang Golek Purwa. Singaraja: STKIP Singaraja
Lembaga Basa & Sastra Sunda. 1992. Kamus Umum Basa Sunda. Cetakan ketujuh.         Bandung: Tarate
Poerwadarminta, W.J.S. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cetakan kedua belas.         Jakarta: Balai Pustaka
Soepadi, Atik. 1984. Pagelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan. Bandung: Pustaka         Buana
Tim Penulisan Naskah Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Barat. 1977. Sejarah Seni        Budaya Jawa Barat (2 jilid). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Wojowasito, S. 1982. Kamus Umum Inggeris Indonesia. Bandung: Pengarang
Wojowasito, S. t.th. Kamus Umum Indonesia Inggeris. Bandung: Pengarang

Media Massa

Harian Pikiran Rakyat, 25 Januari 1988
Majalah Warta Wayang Gatra, No. 19.I.1989
Majalah Berita Mingguan Tempo, Edisi 26 Februari - 4 Maret 2001

Nara Sumber

Elan Surawisastra, dalang wayang golek, Gumuruh Bandung
Iden Sunarya, dalang wayang golek, Jelekong Bandung
M. Duyeh, pegolek, Cibiru Bandung

Republika Online - Ajaran Cinta Sejati Jalaluddin ar-Rumi

Republika Online - Ajaran Cinta Sejati Jalaluddin ar-Rumi

Shared via AddThis

Saturday 29 August 2009

SENIRUPAWATI BALI

Oleh 
Jajang Suryana



Para ahli perempuan membagi ruang gerak perempuan dalam dua lokasi. Pembagian tadi mengacu kepada ruang publik dan ruang domestik. Ruang publik adalah ruang luas yang menyediakan aneka bentuk persitindakan dengan orang banyak. Ruang publik bisa juga diartikan sebagai ruang prestise, ruang kehormatan, ruang pamer. Para perempuan, kata para ahli itu, jarang diberi kesempatan tampil di ruang publik, cukup menikmati ruang "sumpek" di bilangan domestik saja. 



Ketika anak-anak membaca buku pengetahuan dasar, mereka disuguhi teori bahwa ibu biasa memasak dan bapak selalu pergi ke kantor. Memang, para ibu, para perempuan adalah juru masak di rumah, di ruang domestik. Para laki-laki adalah pemanfaat hasil kerja para perempuan. Tetapi, di ruang publik, di pasar senggol, di hotel, di banjar, para laki-lakilah yang tampil sebagai ahli masak. Kata ahli perempuan itu: "Yang ada uangnya, yang menjanjikan penghargaan publik, diambil alih oleh para laki-laki".       



Perempuan Bali banyak terlibat dalam kegiatan kesenirupaan. Dalam sejumlah kasus, mereka menyelamatkan sumber keuangan keluarga. Satu contoh yang terjadi di desa seni Beratan, Kabupaten Buleleng, Bali Utara. Kegiatan menggarap perak, terutama mengolah bentuk-bentuk hiasan seperti cincin, gelang, kalung, dan anting-anting, beberapa di antaranya mulai digarap perempuan. Sebut saja mereka itu senirupawati, karena mereka adalah penggubah karya-karya seni rupa. Mereka merasa bertanggung jawab penuh untuk melanjutkan kegiatan seni kriya perak yang mulai banyak ditinggalkan para laki-lakinya.


Banyak senirupawan Beratan mulai beralih profesi. Mereka tidak tahan mengolah benda-benda perak yang cenderung kurang peminat. Apalagi pada masa krisis ekonomi seperti sekarang. Beberapa di antara senirupawan perak itu mulai menjajal kegiatan mengojek, memburuh bangunan, atau bertani. Tetapi, di antara mereka, ada juga yang lebih beruntung dari sisi materi, kemudian meninggalkan kegiatan mengolah perak yang dianggap kurang menjanjikan hasil. Para senirupawati desa Beratan sangat tanggap, mengambil alih pengelolaan kegiatan warisan turun temurun itu. Beberapa art shop di Desa Beratan masih bisa hidup karena campur tangan lembut para senirupawati.


JENDER DAN JENDER


Di Bali ada sejumlah kegiatan seni rupa yang dianggap milik kaum perempuan. Keberadaan semodel bisa juga kita temukan di berbagai daerah seni yang lain. Sebagai contoh, menenun adalah milik perempuan. Orang tua telah menganjurkan sejak dini kepada anak-anak perempuannya supaya belajar menenun. Begitu pun membordir, menganyam, bahkan majejahitan (membuat bentuk-bentuk pelengkap upacara dari bahan daun janur), mabanten (menyiapkan sajen), maupun membuat pajegan (sajen berupa rakitan buah-buahan atau kue warna-warni yang kadang-kadang lebih dari satu meter tingginya). Di Desa Jineng Dalem, masih di kawasan Kabupaten Buleleng, ada kepercayaan yang masih dipelihara oleh para perempuan bahwa "jika perempuan Jineng Dalem tak bisa nyongket, perempuan itu tak bakal masuk nirwana". Sebuah upaya pewarisan dan pemertahanan si-kap yang dianggap membedakan peran jender.



Keterlibatan para perempuan sangat banyak memberi arti kepada hasil kegiatan seni rupa di Bali. Perempuan yang selalu dianggap memiliki kelebihan dalam ketelatenan, kehalusan rasa, dan keapikan, kemudian ditempatkan sebagai penggarap bagian finishing benda-benda seni rupa. Di Desa Tegallalang, Ubud, misalnya, dalam kegiatan pembuatan patung-patung kayu, para perempuan ditempatkan sebagai pengampelas, pemelitur, atau jenis kegiatan finishing lainnya.



Secara jender, senirupawati Bali adalah pelaku utama dalam kegiatan-kegiatan menenun, membordir, menganyam bilah bambu untuk membuat sokasi (sejenis bakul nasi atau tempat sajen), membuat gerabah, sekadar memelitur perkakas, atau terutama mabanten (me-nyiapkan banten, sajen). Di daerah-daerah pusat pariwisata seperti Gianyar, ada kekha-watiran sementara orang terkait dengan mulai melemahnya tugas jender para perempuan dalam mabanten. Mereka, dalam kesibukan tugas ganda: mengurus keperluan keluarga dan mencari nafkah tambahan, masih harus menyelesaikan tugas adat. Oleh karena itu, muncullah para penjual banten yang secara fisik memberi kemudahan kepada para perempuan sibuk.



Hasil penelitian di daerah Buleleng dan Gianyar (Jajang dan Widnyana, 2001) menunjukkan bahwa kualitas keterlibatan para perempuan Bali dalam kegiatan bidang kesenirupaan lebih banyak sebatas pelaksana kegiatan (58%). 32 % sebagai pelaku utama (perancang kegiatan, pelaksana, maupun pemasar), dan sisanya berturut-turut sebagai pemasar, buruh, dan pemilik modal. Kebanyakan di antara mereka (sekitar 89%) bergerak di ruang domestik. Hanya 11% yang bergerak di ruang publik. Dan, baru 1,23 % perempuan pelaku seni rupa yang menjadi pemilik modal. Seperti disebutkan, awalnya mereka merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan kegiatan yang pernah digarap oleh para suaminya.



Para lelaki Bali beranggapan bahwa keberadaan para perempuan di bidang kesenirupaan adalah sebagai mitra yang sangat menguntungkan ekonomi keluarga. Ciri jender telaten, sabar, halus, dan tekun yang telah dilekatkan kepada perempuan ditunjuk sebagai salah satu pilihan mengapa para perempuan Bali, para senirupawati Bali, masih ditempatkan sebagai pemberi sentuhan terakhir dalam pengerjaan benda-benda seni rupa. Padahal, seperti Desak Nyoman Suarti, bisa mencolok keberadaannya dalam penggubahan desain benda-benda perak, adalah contoh yang perlu banyak diperhitungkan perempuan Bali lainnya. Memang, sejumlah perempuan pengolah seni rupa masih merasakan ketidakberanian memilih bersaing dengan para lelaki. Tetapi, mereka punya keinginan yang belum tercapai, ingin belajar lebih banyak dari yang pernah mereka dapatkan. Para lelaki Bali, sebetulnya telah banyak yang berbagi kesempatan dengan para perempuan. Di samping itu, lingkungan Bali yang sibuk-wisata adalah lahan subur bagi para perempuan untuk mengembangkan kegiatan olah seni rupa.



Senirupawati Bali yang bergerak di ruang publik, walau jumlahnya sangat sedikit, baru mengusung kegiatan bidang seni lukis. Bisa disebut misalnya, I Gusti Ayu Kadek Murniasih dari Ubud dan I Gusti Ayu Melati kelahiran Singaraja, yang telah mulai menuai keberhasilan. Mereka bergerak di ruang publik di antara para pelukis "penguasa" ruang publik, dengan tampilan yang sangat berbeda. Dan, sentuhan perempuan ternyata bisa menghadirkan kelainan yang cukup memukau publik penikmat seni rupa.


PENDIDIKAN


Ruang publik bidang kegiatan seni patung dan seni kriya, kegiatan seni rupa andalan ma-syarakat Bali lainnya selain seni lukis, belum banyak disentuh para perempuan Bali. Konon, mematung itu berat. Oleh karena itu, para perempuan kurang elok jika menggarap suatu pekerjaan berat. Seorang Rita Widagdo yang telaten menggarap seni patung, bahkan materi karyanya adalah bahan berat, ternyata mampu meraih keberhasilan. Para perempuan Bali, memang masih malu-malu untuk tampil di ruang publik seni rupa. Pada-hal di ruang publik seni lainnya, begitu banyak di antara mereka yang telah meraih ke-berhasilan.



Perempuan Bali yang bersekolah di lembaga pendidikan seni rupa bisa dihitung dengan jari. Sementara yang berharap bisa memilih bidang pariwisata, atau bidang yang terkait dengan pariwisata, misalnya bidang studi bahasa Inggris, sangat banyak jumlahnya. Padahal, kekayaan Bali adalah kesenian, terutama seni tari, seni rupa, dan seni musik. Jika bidang seni rupa telah dipenuhi aneka karya model "titipan pemesan", Bali akan dipenuhi karya kriya gaya Asmat, Dayak, bahkan Indian. Sementara di sekolah seni rupa, pun lebih banyak cerita tentang seni rupa Barat. Dan, dalam seni rupa Barat, para perempuan adalah pelaku seni rupa yang sangat tidak diperhitungkan keberadaannya.***