Thursday 8 September 2011

Seni: Pikir, Rasa, dan Kesadaran Lingkungan
Oleh Jajang Suryana


Ketika kegiatan seni dianggap sebagai "pengisi waktu luang", jangan anggap hal itu sebagai bentuk pelecehan. Di antara sekian banyak kegiatan seni yang telah dilakukan oleh para sesepuh kita, mengisi waktu luanglah yang mereka pilih sebagai inti kegiatan. Setelah mereka jeda menggarap sawah, huma, kebun, atau setelah menyadap nira, mengail ikan, dan banyak kegiatan nafkah hidup lainnya, barulah mereka berkesenian. Mereka memanfaatkan waktu luang untuk kemaslahatan hidup. Bukan sekadar ngerumpi! Dan, dari kegiatan memberi makna waktu luang dengan perbuatan yang maslahat, penuh keikhlasan, arif terhadap lingkungan, serta serius dalam mengelola pikiran, mereka bisa melahirkan rumah adat Joglo (Jawa Tengah), Julang Ngapak (Sumedang), Toraja (Toraja), Gadang (Padang), dan sejumlah rumah adat yang penuh simbolisasi dan ramah lingkungan! Begitupun ketika mereka merespon kebutuhan lingkungan sehari-hari dengan mengadakan perangkat keperluan hidup utama mereka. Lahirah aneka perabot rumah tangga, baju tradisi, senjata, alat transportasi, alat pertanian, alat perikanan, alat permainan sehat, kontainer bahan makanan, dan asesoris kehidupan mereka yang menawan (tarian, nyanyian, cerita edukatif, petuah, kalimat hikmah, dan aneka kekayaan lainnya).

Siapa bilang semua yang mereka hasilkan hanya sekadar produk olah rasa semata? Semua karya mereka sarat dengan hasil proses olah pikir, olah rasa, dan olah kesadaran lingkungan. Oleh karena itu, karya-karya mereka selain menyatu dengan lingkungan, juga berterima dengan pikiran, rasa, dan kondisi lingkungan  masyarakat pendukungnya.

Ketika teori modernisme menguasai pikiran para ahli seni "sekolahan", teori-teori itu telah banyak mengubah pola pikir, rasa, dan kesadaran sosial sebagian masyarakat. Dengan berkendaraan teori Barat itu, lebih khusus terkait dengan teori seni, para anak muda lulusan sekolah seni berbangga hati, bahwa teori yang mereka kuasailah yang paling sahih, valid, dan empirik. Tudingan mereka terhadap para sesepuh sangat melecehkan. Bahkan untuk urusan penyebutan profesi seni pun mereka pilah sesuai "selera" mereka. Ketika telunjuk terarah kepada mereka, sebutan senimanlah yang mereka gunakan. Tetapi, ketika telunjuk mengarah kepada para sesepuh, orang desa, pegiat seni yang tanpa sekolahan, mereka menyebutnya sekadar artisan (istilah pinjaman dari teori Barat), perajin, tukang, juru, dan sejumlah sebutan yang menunjukkan posisi lebih rendah daripada sebutan seniman (artist). Dan, mereka amat bangga dengan segala milik bangsa lain.

(Insya Allah, akan dilanjutkan)