Saturday 29 August 2009

TEKNOLOGI BUNGKUS MAKANAN

Oleh Jajang Suryana

( Dimuat dalam harian Nusa Tenggara,

 

Siapa yang peduli dengan urusan bungkus makanan? Sejak kecil kita mengenal begitu banyak makanan yang dibungkus aneka daun. Kita tak peduli. Kita hanya tinggal memakan penganan tersebut. Yang kita perhatikan hanya sebatas nama kudapan. Atau, bahkan namanya pun tak sempat kita kenal. Lalu, urusan membungkus, merancang pembungkus, jenis pembungkus, siapa orang yang terkait dengannya, tak sempat kita pedulikan!

 Kudapan basah adalah jenis penganan yang serba segar. Jenis makanan ini cenderung cepat basi. Jarang ditemukan yang bisa bertahan agak lama. Memang, ada beberapa jenis makanan basah seperti ketupat, dodol, dan wajik misalnya, yang biasanya bisa disimpan agak lama, lebih dari dua hari. Tetapi, kalau pengolahan awal kurang baik, kebasian cepat juga datang.

KEMASAN MASA KINI

Kita telah begitu banyak kehilangan pengetahuan tentang hasil teknologi tradisional milik masyarakat kita. Membanjirnya makanan terkemas bikinan luar negeri merupakan salah satu penyebabnya. Di samping itu, yang paling utama, minat dan perhatian terhadap urusan ini tidak ada. Kemasan makanan produk impor memang lebih kaya warna. Keindahannya terasa secara lihatan langsung. Jauh berbeda dengan bungkus makanan tradisional milik kita.

Jika kita memperhatikan secara lebih teliti, ternyata bungkus makanan tradisional pun memiliki daya tarik lihatan, meskipun bukan berawal dari segi warna. Masyarakat tradisional kita adalah masyarakat kreatif, masyarakat yang tekun, dan tidak puas dengan model karya yang mandeg. Mereka selalu berusaha mencari pembaruan bentuk dan cara membungkus makanan, khususnya makanan basah. Terbukti, bila kita memeriksa satu jenis makanan yang biasa kita sebut ketupat, tipat, atau juga kupat, kita akan menemukan beberapa cara menganyam kulit ketupat tersebut. Di antaranya, ada ketupat yang bentuk dasarnya betul-betul seperti bidang belah ketupat yang sudah kita kenal. Ada juga yang berbentuk empat persegi panjang, dan belah ketupat yang sepasang sisinya lebih panjang dibanding sepasang sisi lainnya. Semua bentuk tersebut dihasilkan dari cara yang berbeda dalam menganyam daun kelapa untuk pembungkus ketupat tersebut.

Banyak jenis daun yang biasa digunakan untuk membungkus makanan. Jenis daun yang digunakan itu memberi rasa yang khas kepada makanan. Misalnya, tapé ketan yang dibungkus dengan daun pisang berbeda rasa dengan yang dibungkus daun jambu air. Dodol yang dibungkus dengan kertas berbeda aroma dan rasanya dengan yang dibungkus kulit jagung. Begitu banyak kekhasan yang telah ditemukan nenek moyang bangsa kita. Dan, semua itu pernah menjadi pengetahuan umum masyarakat masa lalu.

KEMASAN MASA LALU

Sebagian kekayaan tinggalan masa lalu masih tersisa. Bahkan, meskipun berdesakan dengan banjir produk luar yang berkemasan lebih menarik, hingga kini masih terus digunakan. Berbagai jenis makanan masih akan tetap kita temukan di pasar tradisional. Ada pula usaha sementara orang yang mencoba memasukkannya ke dalam pasar swalayan. Dan, makanan ini tetap punya penikmat khusus. Makanan yang berbungkus daun pisang berbagai jenis nama dan model bungkusnya. Misalnya sumping (isi pisang), pasung (isi gula), blebes (isi tepung gula), bugis, lemper, lepet, timus, tipat daun, dan tape ketan. Yang berbungkus daun kelapa bisa disebut contohnya bantal, belayag, tipat, celorot, dan satuh. Lukis, paning, topot, dan papah keladi, penganan berbungkus daun bambu. Dodol, iwel, dan sebagian wajik, berbungkus daun nangka, kulit jagung, kelokop bambu, maupun kertas.

Cara membungkus, desain kemasannya, sangat beragam. Ini menandakan bahwa masyarakat kita mengerjakannya secara sungguh-sungguh, bukan hanya sekadar asal bungkus. Keberagaman rancang-kemas tadi, kalau dijadikan bahan penelitian merupakan bahan dokumentasi yang sangat kaya. Bukan hanya pembungkus, wadah pun ternyata banyak macamnya. Bisa disebut misalnya takir, tekor, temilung, tamas, dan taled.

Mahasiswa seni rupa, mahasiswa boga (teknologi pengolahan makanan), dan mahasiswa antropologi misalnya, bisa memanfaatkan jenis kekayaan budaya bangsa ini sebagai bahan kajian. Tetapi, jarang sekali yang terusik untuk mencoba menelaahnya. Apakah segala hal yang menjadi milik masyarakat kecil, hasil karya masyarakat dusun, kurang menarik untuk bahan penelitian? Tidak tertarikkah para dosen untuk mengarahkan mahasiswanya supaya meneliti masalah sejenis ini? Ketika bangsa lain sudah lebih dulu mendokumentasikannya, barulah kita merasa kecolongan.***

2 comments:

  1. Teknologinya sih sudah bagus dan keren. Tapi, apakah Kemasan Makanan yang dihasilkan itu terbaik juga? Apa cuma teknologinya saja yang kere?

    ReplyDelete