Oleh
Jajang Suryana
Masyarakat Bali mengenal istilah nyama braya. Istilah ini dikaitkan dengan keberadaan masyarakat pendatang. Masyarakat pendatang, bagi mereka, adalah saudara (braya). Prinsip ini dinyatakan dalam berbagai bentuk bukti nyata di lapangan. Masyarakat Bali di Buleleng misalnya, dulu, menyediakan tempat khusus untuk saudaranya yang berbeda keyakinan, yaitu masyarakat muslim, di sebuah desa yang diberi nama Pegayaman. Kelompok masyarakat muslim ini, pada awal kedatangannya di Buleleng, adalah sebagai tentara bantuan dari Kerajaan Blambangan. Desa Pegayaman dikenal dengan keunikan jejak budayanya yang unik. Masyarakat yang terdiri atas mayoritas umat muslim ini, kini, hidup tenteram di samping masyarakat asli Buleleng yang lainnya.
Di kawasan Bali Selatan, yang sangat terkenal adalah Pulau Serangan yang dihuni mayoritas muslim. Banyak tempat lainnya yang suasananya penuh perasudaraan antarpenghuni berbeda agama: Hindu-Muslim-Kristen, dan sebagainya. Tampaknya, di kawasan Buleleng, daerah seperti itu ada di sejumlah tempat. Di sekitar Danau Beratan, Bedugul, di Tegallinggah, Sukasada, di Kampung Bugis dan Kampung Kajanan,Singaraja, adalah contoh komunitas muslim yang hidup damai dengan komunitas Hindu maupun komunitas agama lainnya. Dan, di Tejakula, Buleleng Timur, ada jejak yang unik terkait dengan kondisi jejak ikatan persaudaraan tersebut.
Di sebuah kawasan kebun kelapa, jauh dari pemukinan penduduk, berdiri sebuah kompleks pura. Pura ini terletak tidak begitu jauh dari bagian pantai Utara Bali bagian Timur. Menurut sejumlah masyarakat yang bekerja di kawasan perkebunan kelapa ini, bangunan pura didirikan sebagai tanda peringatan adanya tali persaudaraan antara kelompok masyarakat sekitar pura dengan orang-orang tertentu yang dianggap braya. Hal itu tampak dalam jejak catatan berupa pelinggih-pelinggih (tempat menupacarai, tempat “kediaman”) tokoh-tokoh yang ada dalam ikatan persaudaraan tersebut. Ada pelinggih Ratu Bagus Sundawan, Ratu Agung Melayu, Ratu Agung Syah Bandar, Ratu Ayu Mutering Jagat, Ratu Ayu Pasek, Ratu Gede Dalem Mekah, Batara Surya, Batari Sri Dwi Jendra, dan satu pelinggih yang tanpa nama. Kesembilan pelinggih itu ditempatkan dalam satu deretan yang menghadap halaman dalam pura berupa lapangan penuh batu. Batu-batu halus khas pantai Buleleng Timur memenuhi halaman tengah pura ini. Khusus untuk pelinggih Batara Surya, posisinya menghadap arah Barat-Timur.
Bagian-bagian bangunan pura lainnya yang dianggap unik adalah adanya pola hias pinggir Yunani, berbentuk huruf T yang disusun berbalikan, ditempatkan di antara pola hias gaya Bali lainnya. Bagian candi bentar pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah dibiarkan miring. Konon, kemiringan itu terjadi sendirinya, hingga kini kondisi itu tidak berubah lagi. Dan, menurut para penutur, khusus untuk pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah ini, ada kaitan dengan persaudaraan antara pembangun pura dengan braya muslim yang berangkat ke Mekkah dan tidak pernah kembali. Pura ini, memang, dikenal dengan sebutan Pura Mekah, karena terkait dengan keberadaan jejak persaudaraan tadi.
Ratu Agung Melayu
Ratu Agung Syah Bandar
Ratu Ayu Mutering Jagat
Ratu Ayu Pasek
Batara Surya
Batari Sri Dewi Jendra
Halaman dalam pura yang dipenuhi batu pantai yang halus
Pintu gerbang utama pura
Semua foto dibuat menggunakan Sony Ericsson K850i
No comments:
Post a Comment