Friday, 28 August 2009

NILAI PSIKOLOGIS GAMBAR BAGI ANAK-ANAK

Oleh DRS. JAJANG SURYANA, M.Sn.
1. PENGANTAR
Ada keyakinan tradisional yang menyatakan bahwa anak adalah “miniatur manusia dewasa” (Hurlock, 1998: 2). Oleh karena itu,  “keyakinan tradisional telah memberikan pedoman siap-pakai untuk mendidik anak-anak, dan diterima secara bulat bahwa pedoman itu cukup untuk diterapkan di rumah dan di sekolah” (Hurlock, ibid).
Keyakinan tradisional tadi, pada awalnya, mengurangi motivasi para peneliti untuk meneliti anak sebagai suatu individu. Banyak penelitian yang dilakukan hanya untuk mempelajari cara-didik anak agar mereka menjadi warga negara yang baik. Jadi, pada awalnya, anak dianggap sebagai “embrio orang dewasa”. Lalu pada masa perintisan yang dilakukan John Amos Comenius, muncul dua kecenderungan penelitian tentang anak: 1) anak-anak dipelajari secara tidak langsung dalam pendidikan dan 2) pengamatan anak dari sumber pertama langsung. Penelitian dengan kecenderungan yang kedua ternyata lebih bermanfaat daripada yang kesatu.
Beberapa tokoh pendidikan yang secara langsung memiliki perhatian khusus tentang anak adalah John Locke dari Inggris, Rousseau dari Perancis, Pestalozzi dari Swiss, dan Herbart serta Froebel dari Jerman. Penelitian-penelitian awal tentang masalah anak dimulai dari catatan tentang anak peneliti senidiri. Pestalozzi, misalnya, membuat rekaman ilmiah pertama tentang perkembangan anaknya (1774). Kemudian Tiedeman dari Jerman; Millicent Shinn dari Amerika yang terkenal dengan “Biography of Baby” ; dan G. Stanley
Hall dengan “Content of Children’s Mind of Entering School”. Hall secara khusus
menegaskan bahawa “anak-anak bukan orang dewasa kecil”. Penegasan Hall diterima oleh murid-muridnya, sehingga kemudian dilakukan beribu-ribu penelitian tentang anak tanpa mengacu kepada pendidikan. Oleh karena itu, Hall sering disebut sebagai “bapak pergerakan penelitian anak” (Hurlock, ibid).
Penelitian tentang anak, kini semakin meluas pokok bahasannya. Kajian tidak sebatas membahas perkembangan fisik anak. Khusus pengkajian masalah anak oleh para psikolog yang ada kaitannya dengan kesenirupaan, seperti dikemukakan oleh O’Hare dan Cook (1983), bisa dikelompokkan ke dalam lima kelompok utama. Pertama, penelitian tentang pola-pola atau tingkatan-tingkatan untuk menggambarkan ciri-ciri usaha anak. Rhoda Kellogg, misalnya, “menghimpun tidak kurang dari sejuta gambar anak-anak dari berbagai umur, tingkatan sosial dan kebangsaan yang meliputi 31 negara di 5 benua dalam jangkauan waktu lebih dari 20 tahun” (Iskandar, 1984). Kellogg menemukan pola-pola dan tingkatan kemampuan anak dalam kegiatan menggambar. Secara khusus ia menemukan bahwa anak-anak di mana pun berada, akan menggambar hal dan cara yang sama. 
Kedua, kajian dipusatkan pada aspek kemampuan anak yang khas seperti menangkap kesan perspektif atau mencontoh bentuk-bentuk geometris, seperti kajian yang dilakukan oleh Philips et. al. (1978). Mereka mempelajari kemampuan realisme intelek yang tampak pada gambar-gambar kubus yang dibuat oleh anak-anak. Mereka menemukan bahwa gambar-gambar kubus secara perspektif digambar oleh anak begitu banyak menghilangkan keakuratan, bahkan gambar tersebut hampir tidak bisa dipandang sebagai gambar yang menampilkan objek tertentu. Mereka memandang hal tersebut berkaitan dengan dua hal penyebab yang disebut kemampuan computational complexity (kerumitan perhitungan) dan graphic motor schema (bagan gerak-grafik).
Bertalian dengan kerumitan perhitungan, mereka menunjukkan bahwa gambar-gambar yang mencontoh alam nyata telah menghilangkan begitu banyak keakuratan, karena begitu banyak masalah yang harus diselesaikan. Menggambar secara nyata, berarti harus mengenal secara dekat objek yang akan digambar untuk menampilkan kesan ruang yang trimatra. Lalu, tentang skema motor-grafik, penjelasan mereka adalah sebagai berikut: ketika seseorang mencontoh gambar secara nyata, seseorang hanya bisa memilih kemampuan skema motor-grafik yang relevan saja. Artinya, orang tersebut menjadi tidak bebas memanfaatkan kemampuan miliknya. Hal itu akan memberi pengaruh yang jelas kepada hasil akhirnya.
Ketiga, Freeman (1980) telah melakukan analisis yang meluas tentang strategi penggambaran alam yang dilakukan oleh anak-anak. Dia menekankan, dalam kegiatan menggambar  selalu ada keterlibatan kegiatan perencanaan dan proses penentuan. Analisis tentang gambar anak, dalam titik pandang ini, berkait dengan kemampuan anak dalam mengorganisasi kegiatan penggambaran dan kemampuan meruang secara umum. Dia secara terbatas hanya menganalisis masalah raut dan bentuk, masalah sensitivitas warna luput dari kajiannya.  
Keempat, pendekatan yang dilakukan oleh Richards dan Ross (1967), yaitu membahas tentang nilai artistik dan manfaat karya seni rupa anak-anak. Richards dan Ross mengumpulkan gambar-gambar tentang kucing dan anak kucing buatan anak-anak (dari 1.200 anak usia 5 - 14 tahun). Gambar-gambar tersebut diberi nilai dengan mempertimbangkan unsur penilaian seperti berikut: 1) jumlah penggunaan warna, 2) luas gambar, 3) penggunaan warna yang tidak realistis, 4) kehadiran garis kaki langit dan bidang tanah, dan 5) penggunaan tipe gambar latar belakang dan garis luar (kontur).
Hasil penilaian mereka menunjukkan perbedaan-perbedaan yang bertalian dengan usia dan jenis kelamin anak. Anak perempuan lebih dahulu berubah dibanding anak lelaki. Tetapi tampak kecenderungan yang terbalik pada usia 12 tahunan, kecuali dalam penguasaan garis yang telah berhenti secara lengkap. Mereka menemukan bahwa keanekaragaman warna, kepenuhan ruang gambar, kelengkapan bagian latar belakang, mencapai puncaknya pada usia 12-an, dan menurun setelahnya.
Pada usia 9 dan 12, menurut hasil penemuan Richards dan Ross, anak menggunakan warna dan garis rancangan awal yang tidak realistis secara minimum, sedangkan pada usia lainnya penggunaan tadi bertambah. Anak usia 5 tahun menggunakan beberapa warna secara acak sampai ke ujung spektrum warna dan anak usia 13 tahun menggunakan warna secara terpilih. Tetapi mereka tidak menyertakan keterangan lengkap tentang hal ini. Richard dan Ross hanya menyampikan kualitas artistik gambar anak semata.
Kelima, tahun 1968 Goodman membuat definisi tentang nilai estetis karya seni rupa anak. Tahun 1979 Carothers dan Gardner mencoba mengkaji definisi Goodman tersebut. Dua dari kriteria estetis yang ditekankan oleh Goodman, kemudian dijadikan bahan tes oleh Carothers dan Gardner melalui tugas melengkapi gambar, adalah ekspresivitas dan kepenuhan gambar.
2. TENTANG GAMBAR
Manusia adalah mahluk yang banyak menggunakan tangannya untuk aneka kegiatan. Pada permulaan kelahiran, indera pendengaran merupakan indera yang berfungsi paling awal. Setelah itu, secara berturut-turut indera penglihatan, peraba, pengecap, dan pembau. Kematangan merupakan salah satu yang menjadi pendorong kemampuan seorang manusia. Ketika tangan sudah berfungsi untuk memegang sesuatu, anak balita mulai memfungsikan alat tubuh tersebut. Biasanya dimulai dengan memasukkan semua benda yang bisa diarihnya ke dalam mulut. Selanjutnya mengetuk-ketukkan semua benda yang bisa dipegang untuk didengar suaranya. Sebagai latihan terakhir adalah latihan koordinasi antara penglihatan dengan gerak otot lengan dan tangannya, melalui kegiatan mencorat-coret (Jajang, 1992: 2).
Fungsi otot, ternyata berkait erat dengan fungsi otak, kemampuan berpikir. Washburn, dalam Obolensky (t.th, I: 43) seperti dikutip oleh Tabrani (1991: 42) menyebutkan: “Latihan otot-otot membentuk dan mempertahankan seluruh tubuh kita, terutama kelenjar-kelenjar dan tulang-tulang, dan seluruh fungsi otak hanya menjadi akibatnya.” Selanjutnya Tabrani mengutip Schobinger (1987: 125) yang menyatakan: “Tangan, seperti organ-organ suara, dengan setia menyatakan buah pikiran ..., tidak ada yang menghambat kita untuk menganggap bahwa bahasa dan ketrampilan teknis saling bergantung satu sama lain sepanjang perkembangan manusia”.
Perkembangan kemampuan berpikir, sejalan dengan kematangan organ suara, melahirkan kemampuan cara berkomunikasi awal secara visual. Misalnya seperti yang dialami manusia prsejarah: homosapiens. Disebutkan oleh Tabrani (ibid. hal.: 45-46):
     “.... Tangan manusia yang telah tampil kian mampu menggambarkan citra yang ada dalam imajinasinya dan penguasaan pita suaranya telah begitu maju hingga mampu memperjelas penamaan dari apa-apa yang ada di alam, yang dibuatnya, yang dipikirkannya, ataupun impian-impiannya.
     Semula dalam imajinasinya, manusia baru mampu membandingkan apa yang saat ini dilihatnya (imaji sensasi persepsi) dengan apa yang pernah dilihatnya dulu (imaji memori),
lalu untuk suatu tujuan mencetuskan perpaduan antara keduanya hingga tercetus sesuatu yang baru (imaji imajinasi), dan dengan demikian mampu membuat konsepsi. Ia juga semula baru mampu mengindera sesuatu, dan membuat gambar serta memberinya nama dengan suara. Jadi Homosapiens kemudian mampu mengembangkan sistem tanda-tanda yang merupakan gambar-gambar dan suara-suara yang mewakili sesuatu menjadi sistem siombol-simbol....”  
Selanjutnya Tabrani (ibid. hal.: 48) menjelaskan:
     “Demikianlah dari asal-usulnya maka gambar dan bahasa, baik lisan maupun tulisan, sejak ‘dalam kandungan’ sudah bagaikan saudara kembar. Bila kita mengucapkan katanya maka terbayang gambarnya dan bila kita melihat gambarnya terngiang katanya. Keduanya lahir dari perkembangan kemampuan manusia untuk membuat konsep dari fakta-fakta, hingga mampu mengembangkan tanda menjadi simbol. Gambar bukanlah sekedar rekaman kenyataan atau mewakili kenyataan, ia merupakan hasil suatu proses pemilihan, pemikiran, perasaan dan penciptaan. Ia bukan lagi sekedar tanda, tapi sudah menjadi simbol dan karenanya membawakan suatu pesan atau makna. Begitu pula kata-kata ....”
Makna gambar bagi perkembangan anak telah menjadi kajian para ahli pendidikan, ahli psikologi, maupun ahli pendidikan seni rupa. Para ahli ilmu jiwa sudah lama menyadari bahwa gambar menjadi salah satu hal yang bisa dikaji berkaitan dengan kejiwaan seseorang. Perkembangan anak bisa diperiksa dari proses kegiatan menggambar maupun hasil kegiatannya. Gambar telah menjadi salah satu alat untuk mengupayakan seseorang yang memiliki penyakit psikologis, seperti di rumah sakit jiwa, untuk menemukan kembali kesadarannya. Dan, gambar pun telah menjadi alat tes khusus dalam menyaring calon pelajar, pegawai, bahkan calon angkatan bersenjata. Gambar telah menjadi bagian hidup manusia, sejak bangun tidur hingga tidur kembali.
3. GAMBAR DAN PENDIDIKAN ANAK
“Nasib buruk” dialami Pendidikan Kesenian. Di dalamnya ada seni rupa, seni suara, seni tari, seni sandiwara, dan (meskipun tidak secara khusus pembelajarannya) seni sastera. Bisa kita periksa perubahan-perubahan yang telah dilakukan para penyusun kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Indonesia sejak masa penjajahan hingga masa reformasi ini. Bisa diperiksa juga bagaimana sikap orang tua, bahkan guru sekali pun, dalam menanggapi keberadaan bidang ajar ini. Nasib buruk tadi, ternyata tidak hanya dialami di dalam sistem pendidikan Indonesia saja. Lebih dari satu dasawarsa yang lampau, di negara maju seperti Amerika, ketika para penggagas “hemat anggaran dan kembali ke pokok” memangkasi segala “embel-embel” di sekolah-sekolah Amerika, pendidikan kesenian menjadi mata ajar yang paling pertama dipangkas!
Padahal, berdasarkan hasil-hasil penemuan para ahli, tiadanya pelajaran kesenian bisa menghambat perkembangan otak anak-anak (Williams, 1977: 21). Orang-orang yang memiliki daya cipta tinggi --peningkatan daya cipta bisa dilakukan melalui kegiatan-kegiatan seni-- memiliki kesempatan “hidup” yang lebih lama ketimbang yang hanya sekedar memiliki kecerdasan tinggi. Daya cipta memerlukan lebih dari sekedar kecerdasan (Paat, 1987). Perkembangan kecerdasan, katakanlah, bisa dicapai melalui bidang-bidang ajar seperti matematika, sains, dan teknologi. Tetapi, untuk mengembangkan potensi seseorang, secara nyata, harus memperhatikan keseimbangan potensi nalar dan imajinasi. Pengembangan imajinasi merupakan garapan utama bidang pendidikan kesenian. Kegiatan kesenian tampaknya merangsang rasa ingin tahu alamiah seorang anak, dan mengembangkan kemampuan otaknya (Williams, loc. cit.).
Seorang filsup ahli perilaku, direktur Yayasan Penelitian Jiwa di Pomona, New York, Dr. Jean Houston, pernah menyatakan ketidaksetujuannya tentang anggapan bahwa pendidikan kesenian merupakan bidang ajar yang tidak begitu penting. Tulisanya (dalam Williams, ibid.):
“Orang perlu berpikir baik berdasarkan imaji maupun berdasarkan kata-kata. Dia membutuhkan pemikiran seluruh tubuh --buat menimbulkan sistem tubuh-jiwanya secara keseluruhan. Kecerdasan verbal-linear-analitis hanyalah bagian kecil dari spektrum kecerdasan. Masih ada lagi kecerdasan visual-estetis-plastis (bekerja dengan tangan), tapi itu semua tidak diakui di sekolah-sekolah”.
Tentang kecerdasan verbal-linear-analitis dan visual-estetis-plastis ini, dikaitkan dengan fungsi belahan otak kiri dan kanan. Belahan otak kiri mengendalikan bagian tubuh sebelah kanan, sedangkan belahan kanan menguasai gerak tubuh sebelah kiri. Belahan otak kiri bertalian dengan kemampuan berbahasa, menulis, kegiatan rumit yang logis dan analitis, serta kegiatan kalkulasi matematis. Belahan ini berfokus pada setiap rincian, pengamatan ciri-ciri individualistis, dan bukan pola keseluruhan. Fungsi belahan otak kanan lebih baik daripada otak kiri dalam mengkonstruksikan gambar-gambar geometris dan perspektif, serta lebih efektif  dalam kegiatan menyusun desain yang kompleks. Belahan ini memegang peranan khusus dalam hayal dan mimpi, kemampuan musik dan artistik, dan pengamatan pola geometrik. Persepsinya holistik (menyeluruh) dan efektif  khususnya mengenai tugas yang membutuhkan visualisasi mengenai hubungan, serta memperlihatkan lebih banyak emosi, impulsif, daripada belahan kiri (Atkinson et. al., 1987: 62 - 70).
Selanjutnya Atkinson menegaskan:
“Beberapa peneliti telah berspekulasi bahwa perbedaan individu dalam hal kognitif berhubungan dengan perbedaan individu dalam hal efisiensi relatif dari kedua belahan otak itu. Maka, individu yang sangat logis, analitik, dan verbal mempunyai fungsi belahan otak kiri yang sangat efisien, sedangkan mereka yang luar biasa sifat holistiknya, musikal, intuitif, dan impulsif mempunyai kelebihan yang seimbang pada belahan otak kanannya. Pendapat mengenai keseimbangan yang berbeda dalam belahan yang berfungsi menjelaskan perbedaan setiap individu dalam hal kognitif merupakan pendapat yang menarik, meskipun lebih berdasarkan pada spekulasi daripada bukti empirik langsung”. (Atkinson, ibid.)
Tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa dominasi tangan kanan pada seseorang menjadikan orang tersebut lebih unggul daripada yang didominasi tangan kiri. Juga sebaliknya. Tetapi, terdapat bukti, bahwa penggunaan salah satu tangan yang dominan (kanan atau pun kiri) memberi keuntungan bagi seseorang. Terlebih lagi jika tangan yang dominan dibantu dengan latihan penggunaan tangan lainnya yang kurang dominan, seseorang akan memiliki tingkat efisiensi kerja yang lebih besar. Sedangkan seseorang yang dominasi tangannya kurang, kekuatan, kecepatan, dan akurasi gerakannya akan kurang bila dibandingkan dengan yang memiliki tangan yang dominan (Hurlock, op. cit., hal. 164).
  
Kegiatan anak ketika belajar menggambar permulaan, pada dasarnya adalah kegiatan yang bertalian erat dengan latihan motorik. Perkembangan motorik yang terlambat berarti perkembangan motorik yang berada di bawah norma umur anak. Akibatnya, pada usia tertentu anak tidak bisa menyelesaikan tugas perkembangannya secara baik. Keterlambatan itu bisa disebabkan karena kerusakan otak pada waktu lahir atau kondisi pralahir, atau lingkungan yang tidak menyenangkan anak pada masa pascalahir (Hurlock, ibid.). Pengaruh perkembangan motorik, secara umum, yang terlambat berbahaya bagi penyesuaian sosial dan pribadi anak yang baik. Anak akan mengalami ketidakberuntungan dalam memahami konsep dirinya, sehingga sering menimbulkan masalah perilaku dan emosi. Juga, keterlambatan kematangan motorik itu tidak menyediakan landasan bagi keterampilan motorik anak. Kerugian psikologis akibat keterlambatan perkembangan motorik, dalam banyak hal, bahkan lebih besar daripada kerugian fisik (Hurlock, ibid.).
Kegiatan menggambar, bagi anak-anak, hanyalah sebuah alat untuk mencapai tujuan perkembangan. Oleh karena itu, di sekolah-sekolah umum, selain sekolah kejuruan kesenian, pendidikan kesenian tidak menjadi tujuan akhir pembelajaran, melainkan hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan.
4. PERKEMBANGAN KEGIATAN MENGGAMBAR PADA ANAK-ANAK
Kegiatan menggambar telah lama digunakan oleh para ahli pendidikan seni rupa dalam mengukur perkembangan kemampuan anak. Dimulai oleh Ruskin yang menerbitkan The Elements Of Drawing, tahun 1857. Apa yang dirintis oleh Ruskin menjadi inspirasi bagi Ebenezer Cooke, seorang guru berkebangsaan Inggris. Cooke menulis dua buah artikel (akhir 1885 dan awal 1886) dalam Journal Of Education. Tulisan Cooke merupakan tulisan ilmiah pertama tentang seni rupa anak-anak yang berupa hasil proses penelitian yang rumit. Cooke bersama James Sully, seorang ahli psikologi Inggris terkemuka, membahas makna gambar-gambar karya anak-anak. Kalau Ruskin mengarahkan teorinya untuk membentuk seorang seniman, Cooke menggunakan prinsip pembelajaran-seni-rupanya untuk keperluan pengajaran di sekolah. Masalah tersebut, juga mulai mendapat perhatian di tempat lain, Corrado Ricci menerbitkan L’arte dei Bambini di Bologna dan L’art et la Poésie Chez L’enfant oleh Bernard Perez di Paris (Read, 1958: 116).
Franz Cizek dengan Viola’s Book-nya (1942) mengutip istilah child art yang pernah diperkenalkan oleh Sully (1895). Dia menyatakan: “The term chlid art is itself very young. Two generations ago nobody dreamt that every child is a born artist. The discovery of child art is parallel with --or perhaps a consequence of-- the discovery of the child as a human being” (Field, 1973: 137 - 139).  
Kajian tentang perkembangan kegiatan menggambar yang dilakukan oleh anak-anak, telah banyak dilakukan oleh para ahli. Meskipun gambaran perkembangan tadi diambil dari waktu dan tempat yang berbeda dengan kondisi Indonesia, paling tidak keberadaan hasil penelitian ini bisa dijadikan sebagai bahan bandingan. Masih memerlukan waktu lama untuk menunggu hasil penelitian tentang perkembangan kegiatan menggambar anak-anak Indonesia. Hasil kajian yang cukup sering menjadi bahasan, antara lain yang disusun oleh Sir Cyril Burt (dalam Read, op. Cit.), Viktor Lowenfeld and W. Lambert Brittain (1970: 89 - 221 dan 255 - 313), dan Amir Hamzah Nasution dan Oejeng Soewargana (1968: 107 - 111). Bahasan Amir dan Oejeng, memang, menggunakan contoh gambar buatan anak-anak Indonesia, tetapi pendekatan kajiannya menggunakan pendekatan Barat. Sebagai gambaran yang lebih jelas, perbandingannya bisa dilihat pada tabel berikut ini.
GAMBARAN PERKEMBANGAN KEGIATAN MENGGAMBAR
PADA ANAK-ANAK
Sir Cyril Burt
Viktor Lowenfeld And
W. Lambert Brittain
Amir Hamzah Nasution
Dan Oejeng Soewargana
Masa Corengan
(usia 2 - 5 tahun)
Masa Corengan
(usia 2 - 4 tahun)
Periode Menggores
(sampai usia 3 tahun)
Masa Garis
(usia 4 tahun)
Masa Prabagan
(usia 4 - 7 tahun)
Periode Skema
(usia 3 - 7 tahun)
Masa Perlambangan Terurai
(usia 5 - 6 tahun)
Masa Realisme Terurai
(usia 7 - 8 tahun)
Masa Bagan
(usia 7 - 9 tahun)
Periode Bentuk dan Garis
(usia 7 - 9 tahun)
Masa Realisme Cerapan
(usia 9 - 10 tahun)
Masa Realisme
(usia 9 - 12 tahun)
Periode Silhuet
(usia 9 - 10 tahun)
Masa Represif (usia 11 - 14 tahun, terutama usia 13 tahun)
Masa Naturalisme Semu
(usia 12 - 14 tahun)
Periode Perspektif
(usia 10 - 14 tahun)
Masa Kebangkitan Rasa Artistik
(usia 15 tahun)
Masa Kepastian
(usia 14 - 17 tahun)
Pada kenyataannya, akan sulit untuk mencari gambaran yang umum tentang perkembangan kegiatan menggambar pada anak-anak. Anak-anak adalah individu-individu yang masing-masing bersifat unik. Setiap anak memiliki irama perkembangan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, apa yang disusun Sir Cyril Burt, Viktor Lowenfeld & W. Lambert Brittain, dan Amir Hamzah Nasution dan Oejeng Soewargana, menampakkan beberapa perbedaan masa atau periode. Batasan yang berbeda untuk setiap jenjang masa perkembangan, tentu saja, adalah hal yang wajar, tidak perlu dipermasalahkan.
5. SIMPULAN
Seperti disebutkan terdahulu, kegiatan menggambar awal pada dasarnya adalah kegiatan latihan motorik, kalau tugas perkembangan motorik tidak terselesaikan oleh anak, akan muncul akibat-akibat tertentu yang dialami oleh anak. Kegiatan motorik awal yang terlatih melalui kegiatan menggambar adalah kegiatan motorik bahu, lengan, dan tangan, yang merupakan sinkroniasi kemampuan mengkoordinasikan kemampuan lihatan dengan gerakan alat (lebih khusus) untuk menulis.
Lebih jauh dari sekedar latihan motorik, melalui kegiatan menggambar anak mulai memfungsikan kemampuan imajinasinya yang merupakan bagian lain kecerdasan yang dimiliki seseorang. Kecerdasan jenis ini, kecerdasan visual-estetis-plastis, merupakan bagian yang harus dikembangkan pada setiap individu, untuk menyeimbangkan fungsi belahan otak. Fungsi belahan otak kiri, rata-rata, telah dikembangkan sejak awal, sejalan dengan tuntutan materi kurikulum di sekolah, yaitu kecerdasan yang bertalian dengan kemampuan berbicara, menulis, dan kalkulasi matematis. Sedangkan fungsi belahan otak kanan yang berkaitan dengan kemampuan musik, estetis, dan perancangan desain, cenderung kurang mendapat perhatian. Lebih khusus di sekolah umum! &
6. PUSTAKA RUJUKAN
Atkinson, Rita L., et. al. 1987. PENGANTAR PSIKOLOGI. Alihbahasa oleh Nurdjanah Taufiq dan Rukmini Barhana dari Introduction To Psychology. Jakarta: Erlangga
Field, Dick and John Newick (Ed.). 1973. THE STUDY OF EDUCATION AND ART.    London: Routledge & Kegan Paul
Hurlock, Elzabeth B. 1988. PERKEMBANGAN ANAK.  Jilid 1. Alihbahasa oleh      Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih dari Child Development. Jakarta:        Erlangga
Iskandar, Popo. 1984. KREATIVITAS ANAK DALAM MENYERAP       LINGKUNGANNYA. Makalah pada Seminar Seni Rupa Anak di Galeri Decenta,        Bandung, 24 Agustus 1984
Ives, S.W. 1984. “The Development Of Expressivity In Drawing”, dalam THE        BRITISH JOURNAL OF EDUCATIONAL PSYCHOLOGY, Vol. 54, Part 2, June        1984. Edinburg: Scottish Academic Press
Jajang S. 1992. PENDIDIKAN SENI RUPA DAN PENINGKATAN EKONOMI.        Makalah pada Program Studi Seni Rupa Dan Desain, Fakultas Pascasarjana ITB
Jajang S. 1997. KAJI ULANG MATERI AJAR PENDIDIKAN KESENIAN D-II        PGSD, Sebuah Upaya Penyeragaman Tafsiran. Makalah pada Seminar Program       Studi Pendidikan Seni Rupa, STKIP Singaraja
       
Lowenfeld, Viktor and W. Lambert Brittain. 1970. CREATIVE AND MENTAL        GROWTH. London: The Macmillan Company
Nasution, Amir Hamzah dan Oejeng Soewargana. 1968. PENGANTAR ILMU JIWA        KANAK-KANAK. Bandung: Ganaco
Paat, Alex. 1987. “Kreativitas Memerlukan Lebih Dari Sekedar Inteligensi”,  dalam        SUARA PEMBARUAN, 12 Februari 1987
Read, Herbert. 1958. EDUCATION THROUGH ART. New York: Pantheon Books Inc.
Tabrani, Primadi. 1991. MENINJAU BAHASA RUPA WAYANG BEBER JAKA        KEMBANG KUNING DARI TELAAH CARA WIMBA DAN TATA UNGKAPAN        BAHASA RUPA MEDIA RUPARUNGU DWIMATRA STATIS MODERN,        DALAM HUBUNGANNYA DENGAN BAHASA RUPA GAMBAR        PRASEJARAH, PRIMITIF, ANAK, DAN RELIEF CERITA LALITAVISTARA        BOROBUDUR. Disertasi pada Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB
Williams, Roger M., 1977. “Hubungan Tak Terduga Antara Seni Dengan Belajar”, dalam TITIAN, No. 28. Jakarta: International Communication Agency, Kedutaan Besar        Amerika Serikat

1 comment:

  1. bagus sekali artikelnya pak.
    ternyata susah meneliti perkembangan peserta didik terutama pada kegitan menggambar.Dalam penelitian kadang2 tidak sesuai dengan apa yang di teliti oleh ahli sebelumnya.Apa itu tidak merubah prinsip dalam menentukan perkembangan dalam belajar?
    untuk masalah warna yang di tuangkan ke gambar,sekarang banyak yang mewarnai dengan hal yang di sukainya bukan ke hal yang realisnya.Apa itu merupakan suatu perkembangan bagi anak dalam menggambar?saya belum mengerti apakah perkembangan itu kearah ke rasional ato ke arah imajinasi anak.
    saya setuju dengan pendapat bahwa hal yang terbaik dalam melakukan suatu kegiatan terutama menggambar adalah bagian tubuh yang dominan di pakai dah dilatih.
    saya belum mengerti tentang penelitian perkembangan anak menggambar,mengapa umur di atas 20 tahun tidak diteliti?apakah karena umur segitu bukan anak2 lagi ya?hehehehe.....
    terima kasih.
    (i gede panca Gautama 1012031004 A)

    ReplyDelete