Saturday, 29 August 2009

SENIRUPAWATI BALI

Oleh 
Jajang Suryana



Para ahli perempuan membagi ruang gerak perempuan dalam dua lokasi. Pembagian tadi mengacu kepada ruang publik dan ruang domestik. Ruang publik adalah ruang luas yang menyediakan aneka bentuk persitindakan dengan orang banyak. Ruang publik bisa juga diartikan sebagai ruang prestise, ruang kehormatan, ruang pamer. Para perempuan, kata para ahli itu, jarang diberi kesempatan tampil di ruang publik, cukup menikmati ruang "sumpek" di bilangan domestik saja. 



Ketika anak-anak membaca buku pengetahuan dasar, mereka disuguhi teori bahwa ibu biasa memasak dan bapak selalu pergi ke kantor. Memang, para ibu, para perempuan adalah juru masak di rumah, di ruang domestik. Para laki-laki adalah pemanfaat hasil kerja para perempuan. Tetapi, di ruang publik, di pasar senggol, di hotel, di banjar, para laki-lakilah yang tampil sebagai ahli masak. Kata ahli perempuan itu: "Yang ada uangnya, yang menjanjikan penghargaan publik, diambil alih oleh para laki-laki".       



Perempuan Bali banyak terlibat dalam kegiatan kesenirupaan. Dalam sejumlah kasus, mereka menyelamatkan sumber keuangan keluarga. Satu contoh yang terjadi di desa seni Beratan, Kabupaten Buleleng, Bali Utara. Kegiatan menggarap perak, terutama mengolah bentuk-bentuk hiasan seperti cincin, gelang, kalung, dan anting-anting, beberapa di antaranya mulai digarap perempuan. Sebut saja mereka itu senirupawati, karena mereka adalah penggubah karya-karya seni rupa. Mereka merasa bertanggung jawab penuh untuk melanjutkan kegiatan seni kriya perak yang mulai banyak ditinggalkan para laki-lakinya.


Banyak senirupawan Beratan mulai beralih profesi. Mereka tidak tahan mengolah benda-benda perak yang cenderung kurang peminat. Apalagi pada masa krisis ekonomi seperti sekarang. Beberapa di antara senirupawan perak itu mulai menjajal kegiatan mengojek, memburuh bangunan, atau bertani. Tetapi, di antara mereka, ada juga yang lebih beruntung dari sisi materi, kemudian meninggalkan kegiatan mengolah perak yang dianggap kurang menjanjikan hasil. Para senirupawati desa Beratan sangat tanggap, mengambil alih pengelolaan kegiatan warisan turun temurun itu. Beberapa art shop di Desa Beratan masih bisa hidup karena campur tangan lembut para senirupawati.


JENDER DAN JENDER


Di Bali ada sejumlah kegiatan seni rupa yang dianggap milik kaum perempuan. Keberadaan semodel bisa juga kita temukan di berbagai daerah seni yang lain. Sebagai contoh, menenun adalah milik perempuan. Orang tua telah menganjurkan sejak dini kepada anak-anak perempuannya supaya belajar menenun. Begitu pun membordir, menganyam, bahkan majejahitan (membuat bentuk-bentuk pelengkap upacara dari bahan daun janur), mabanten (menyiapkan sajen), maupun membuat pajegan (sajen berupa rakitan buah-buahan atau kue warna-warni yang kadang-kadang lebih dari satu meter tingginya). Di Desa Jineng Dalem, masih di kawasan Kabupaten Buleleng, ada kepercayaan yang masih dipelihara oleh para perempuan bahwa "jika perempuan Jineng Dalem tak bisa nyongket, perempuan itu tak bakal masuk nirwana". Sebuah upaya pewarisan dan pemertahanan si-kap yang dianggap membedakan peran jender.



Keterlibatan para perempuan sangat banyak memberi arti kepada hasil kegiatan seni rupa di Bali. Perempuan yang selalu dianggap memiliki kelebihan dalam ketelatenan, kehalusan rasa, dan keapikan, kemudian ditempatkan sebagai penggarap bagian finishing benda-benda seni rupa. Di Desa Tegallalang, Ubud, misalnya, dalam kegiatan pembuatan patung-patung kayu, para perempuan ditempatkan sebagai pengampelas, pemelitur, atau jenis kegiatan finishing lainnya.



Secara jender, senirupawati Bali adalah pelaku utama dalam kegiatan-kegiatan menenun, membordir, menganyam bilah bambu untuk membuat sokasi (sejenis bakul nasi atau tempat sajen), membuat gerabah, sekadar memelitur perkakas, atau terutama mabanten (me-nyiapkan banten, sajen). Di daerah-daerah pusat pariwisata seperti Gianyar, ada kekha-watiran sementara orang terkait dengan mulai melemahnya tugas jender para perempuan dalam mabanten. Mereka, dalam kesibukan tugas ganda: mengurus keperluan keluarga dan mencari nafkah tambahan, masih harus menyelesaikan tugas adat. Oleh karena itu, muncullah para penjual banten yang secara fisik memberi kemudahan kepada para perempuan sibuk.



Hasil penelitian di daerah Buleleng dan Gianyar (Jajang dan Widnyana, 2001) menunjukkan bahwa kualitas keterlibatan para perempuan Bali dalam kegiatan bidang kesenirupaan lebih banyak sebatas pelaksana kegiatan (58%). 32 % sebagai pelaku utama (perancang kegiatan, pelaksana, maupun pemasar), dan sisanya berturut-turut sebagai pemasar, buruh, dan pemilik modal. Kebanyakan di antara mereka (sekitar 89%) bergerak di ruang domestik. Hanya 11% yang bergerak di ruang publik. Dan, baru 1,23 % perempuan pelaku seni rupa yang menjadi pemilik modal. Seperti disebutkan, awalnya mereka merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan kegiatan yang pernah digarap oleh para suaminya.



Para lelaki Bali beranggapan bahwa keberadaan para perempuan di bidang kesenirupaan adalah sebagai mitra yang sangat menguntungkan ekonomi keluarga. Ciri jender telaten, sabar, halus, dan tekun yang telah dilekatkan kepada perempuan ditunjuk sebagai salah satu pilihan mengapa para perempuan Bali, para senirupawati Bali, masih ditempatkan sebagai pemberi sentuhan terakhir dalam pengerjaan benda-benda seni rupa. Padahal, seperti Desak Nyoman Suarti, bisa mencolok keberadaannya dalam penggubahan desain benda-benda perak, adalah contoh yang perlu banyak diperhitungkan perempuan Bali lainnya. Memang, sejumlah perempuan pengolah seni rupa masih merasakan ketidakberanian memilih bersaing dengan para lelaki. Tetapi, mereka punya keinginan yang belum tercapai, ingin belajar lebih banyak dari yang pernah mereka dapatkan. Para lelaki Bali, sebetulnya telah banyak yang berbagi kesempatan dengan para perempuan. Di samping itu, lingkungan Bali yang sibuk-wisata adalah lahan subur bagi para perempuan untuk mengembangkan kegiatan olah seni rupa.



Senirupawati Bali yang bergerak di ruang publik, walau jumlahnya sangat sedikit, baru mengusung kegiatan bidang seni lukis. Bisa disebut misalnya, I Gusti Ayu Kadek Murniasih dari Ubud dan I Gusti Ayu Melati kelahiran Singaraja, yang telah mulai menuai keberhasilan. Mereka bergerak di ruang publik di antara para pelukis "penguasa" ruang publik, dengan tampilan yang sangat berbeda. Dan, sentuhan perempuan ternyata bisa menghadirkan kelainan yang cukup memukau publik penikmat seni rupa.


PENDIDIKAN


Ruang publik bidang kegiatan seni patung dan seni kriya, kegiatan seni rupa andalan ma-syarakat Bali lainnya selain seni lukis, belum banyak disentuh para perempuan Bali. Konon, mematung itu berat. Oleh karena itu, para perempuan kurang elok jika menggarap suatu pekerjaan berat. Seorang Rita Widagdo yang telaten menggarap seni patung, bahkan materi karyanya adalah bahan berat, ternyata mampu meraih keberhasilan. Para perempuan Bali, memang masih malu-malu untuk tampil di ruang publik seni rupa. Pada-hal di ruang publik seni lainnya, begitu banyak di antara mereka yang telah meraih ke-berhasilan.



Perempuan Bali yang bersekolah di lembaga pendidikan seni rupa bisa dihitung dengan jari. Sementara yang berharap bisa memilih bidang pariwisata, atau bidang yang terkait dengan pariwisata, misalnya bidang studi bahasa Inggris, sangat banyak jumlahnya. Padahal, kekayaan Bali adalah kesenian, terutama seni tari, seni rupa, dan seni musik. Jika bidang seni rupa telah dipenuhi aneka karya model "titipan pemesan", Bali akan dipenuhi karya kriya gaya Asmat, Dayak, bahkan Indian. Sementara di sekolah seni rupa, pun lebih banyak cerita tentang seni rupa Barat. Dan, dalam seni rupa Barat, para perempuan adalah pelaku seni rupa yang sangat tidak diperhitungkan keberadaannya.***

No comments:

Post a Comment