Oleh Jajang Suryana
Panji Koming dan Pailul, tokoh kartun ciptaan Dwi Koendoro, masih menggunakan uang "kepeng" untuk kegiatan transaksi jual beli mereka. Kedua tokoh tersebut adalah tokoh zaman Nusantara Lama yang dihadirkan kembali untuk “menyungging” kehidupan masa kini oleh pekartunnya dalam koran Kompas Minggu. Uang kepeng, bagi mereka, adalah nyawa kehidupan sehari-hari. Jauh setelah zaman Panji Koming, di Bali, uang kepeng masih memiliki harga yang tinggi. Bahkan, banyak masyarakat Bali yang sangat bangga bisa memiliki koleksi uang kepeng yang banyak daripada memiliki uang rupiah!
Bagi Made Gede Koming, penduduk Gianyar, Bali, kepeng juga masih memiliki nilai yang sama dengan rupiah atau dollar, poundsterling, yen, mark, ringgit, dan berjenis duit modern lainnya. Kepeng bisa dirupiahkan. Bahkan, beberapa jenis kepeng bernilai tukar lebih mahal, sekitar 200-300 ribu rupiah per keping. Kepeng yang bergambar tokoh-tokoh wayang seperti Arjuna dan Bima serta gambar binatang seperti jaran dan gajah, misalnya, dianggap memiliki tuah. Malah ada sejenis kepeng yang disebut paica, yang dianggap sebagai anugerah kekuatan tertentu. Oleh karena itu, masih banyak masyarakat Bali yang mempercayai hal itu. Koming, pun merasakan derasnya perputaran uang kepeng itu, terutama pada bulan-bulan tertentu.
Keterkaitan masa lalu dengan masa kini, pada masyarakat Bali, sangat kental. Masyarakat Bali yang beragama Hindu masih mengusung pola hidup yang erat kaitannya dengan para leluhur. Kawitan merupakan istilah yang digunakan sebagai sebutan tentang keterkaitan itu. Seorang warga Hindu Bali dianggap tidak bisa lepas dari ikatan asal (wit, ane mula), baik dengan leluhur maupun desa kelahiran. Oleh karena itu, pada setiap upacara besar, orng-orang Bali yang beragama Hindu, yang telah tinggal di luar desa, juga di luar Bali, harus pulang kampung untuk melaksanakan upacara di desa kawitannya. Hal lain yang menunjukkan bahwa masyarakat Bali masih terkait dengn keberadaan catatan masa lalu adalah pemanfaatan uang bolong (pis bolong, jinah bolong) yang biasa disebut ke-peng, dalam aneka kegiatan upacara.
Uang bolong dimaksud adalah uang logam (terbuat dari bahan krawang atau sejenis bahan pembuatan gamelan, kuningan, juga perunggu) yang memiliki lubang pada bagian tengahnya. Lubang pada uang tersebut umumnya berbentuk segi empat. Ada juga yang berbentuk bundar, segi enam sama sisi, juga segi banyak tak beraturan. Orang Belanda menyebutnya Chinesche Duit atau juga Chinese Coins.
Masyarakat Bali yang terkait dengan uang kepeng ini mengenal, paling tidak, lima jenis pis bolong. Ada yang disebut pis lumrah (uang bolong yang paling banyak ditemukan beredar), pis krinyah atau mas (berwarna kuning), pis kuci atau jepun (berwarna hitam, diperkirakan dari Jepang masa lalu), pis lembang (permukaannya rata), dan pis wadon (wadon sangka, bermotif; wadon sari, biasa dipakai untuk pelengkap sajen). Menurut aneka catatan, uang kepeng tersebut terdiri atas tiga kelompok. Kelompok pertama disebut kepeng asli Cina atau Jepang, yaitu kepeng yang berisi tulisan huruf kanji. Kedua, kepepng lokal Nusantara yang berhuruf Jawa Kuno atau Dewanagari, berhuruf Arab, dan berhiasan bentuk wayang atau flora lokal. Ketiga, kepeng “tiruan” buatan masa kini. Kepeng masa kini berkualitas sangat rendah, mudah meleleh ketika terbakar api. Sedangkan kepeng masa lalu, misalnya yang telah menjadi pelengkap upacara pembakaran jenazah (pelebon, ngaben), uang tersebut masih bisa utuh, bisa digunakan lagi. Kepeng Cina berisi tulisan huruf kanji Cina pada kedua bagian permukaannya (jou), baik pada permukaan atas (mien atau sleh) maupun pada permukaan bawah (pei atau trep). Lubangnya (hao) berbentuk segi empat sama sisi. Pada bagian muka tertulis informasi (“legenda”) tentang gelar kaisar Cina yang sedang memerintah. Tulisan tersebut mengisi bagian sleh, mengelilingi hao, bagian atas, kanan, dan kiri. Tipografi dan hiasan tersebut, seperti dicatat oleh Darmayendra (2000) dari sumber Balai Arkeologi Bali, cara membacanya berurutan atas-kanan-bawah-kiri, atau bisa juga atas-bawah-kanan-kiri.
Selanjutnya, disebutkan ada lima gaya tulisan yang ditemukan dalam kepeng Cina: 1) zhuan shu (seal script style), gaya tulisan melengkung menyerupai materai, yaitu gaya tulisan tertua yang dipakai pada masa Dinasi Sui dan sebelumnya; 2) li shu (square plain script style), gaya tulisan persegi; 3) kai shu (regular script style), gaya tulisan baku; 4) xing shu (running script style), gaya tulisan sambung; dan 5) cao shu (cursive script style), gaya tulisan miring. Bagian trep berisi tulisan tentang nama tempat pembuatan uang kepeng tersebut.
Uang Nusantara Lama ukurannya lebih besar daripada uang Cina. Menurut catatan yang ada pada Museum Bali, ditemukan uang kepeng yang bertuliskan pangeran ratu dengan huruf Jawa Kuno (Dewanagari) yang diperkirakan dari Banten. Lubang yang terdapat pada uang kepeng tersebut berbentuk segi enam beraturan. Tulisan pada sleh disusun melingkari lubang. Pada bagian trep berisi goresan-goresan yang kurang begitu jelas maknanya. Begitu pun pada uang kepeng Palembang. Tulisannya, huruf Arab, disusun melingkari lubang yang bentuknya membundar. Tulisan pada bagian sleh: Hadza Fulus fi Balad Palembang 1198. Bagian trepnya polos tanpa tulisan apapun.
Tulisan-tulisan tersebut, kini, tidak menunjukkan harga satuan uang kepeng, karena perhitungannya dalam transaksi adalah jumlah biji uang tersebut. Satu biji uang kepeng disebut keteng, aketeng. Di pasar uang kepeng, misalnya di Gianyar, masyarakat mengenal jumlah kepeng tertentu yang dijual secara ikatan. Uang kepeng, untuk memudahkan pendistribusiannya, sekaligus juga berkaitan dengan kepercayaan tertentu, diikat dengan benang tukelan untuk kepeng yang jumlahnya 25 (selae keteng), diikat dengan tali tali bambu (200 biji, satak keteng), dan diikat dengan tali ampen, tali serat (1.000 biji, siu keteng). Tetapi untuk satuan jumlah kepeng yang disebut satak, jumlahnya dikurangi sebanyak 5 biji yang disebut long, dan satuan siu keteng dikurangi 25 biji. Tentang pengurangan tersebut, ada yang menyebutkan untuk mengurangi “pembengkakan hitungan (embet)” dalam transaksi. Tetapi, alasan-alasan tentang masalah pengurangan tersebut belum begitu jelas. Sidemen (1998) mencatat, model pengurangan seperti itu ditemukan juga dalam perhitungan uang kepeng (satuannya disebut picis) di Jawa, setiap pembayaran 1 puon (1.000 picis) selalu dikurangi 30 picis. Ngurah Nala dan Adia Wiratmadja (1991) menjelaskan bahwa dalam setiap korban suci (yadnya) di Bali dilengkapi dengan aneka simbol berupa sesajen. Sesajen tersebut dibuat dari unsur tumbuh-tumbuhan, binatang, termasuk mineral. Uang kepang dianggap memiliki unsur-unsur panca datu (lima jenis logam): emas, perak, tembaga, besi, dan logam campuran. Kelima unsur tadi, menurut Sudana dan Budiastra (1999) bertalian dengan konsep keseimbangan dunia dalam faham agama Hindu. Emas di Barat, perak di Timur, tembaga di Selatan, dan besi di Utara. Sedangkan di tengah-tengah adalah besi campuran. Semua itu dihubungkan dengan posisi nama-nama dewa Mahadewa, Iswara, Brahma, Wisnu, dan Syiwa dalam kepercayaan Hindu. Oleh karena itu, uang kepeng biasa dijadikan sebagai pengganti unsur-unsur logam tersebut.
Uang kepeng digunakan sebagai salah satu pelengkap sesajen (persembahan) dalam upacara. Panca yadnya adalah upacara yang terkait dengan keberadaan kepeng tersebut, terdiri atas dewa yadnya, rsi yadnya, pitra yadnya, manusa yadnya, dan butha yadnya. Pitra yadnya dan manusa yadnya, terutama, yang banyak memerlukan kelengkapan kepeng. Karena rutinnya upacara-upacara tersebut, pemakaian uang kepeng tidak pernah berhenti. Pada bulan Juli – September, setiap tahun, pesanan uang kepeng meningkat keras. Pada bulan-bulan tadi transaksi jual-beli uang kepeng di pasar tradisional Bali menjadi masa paling ramai, bertalian dengan bulan upacara bagi masyarakat Hindu.
Permintaan pasar tidak sebanding dengan ketersediaan kepeng. Apalagi ketersediaan kepeng Cina, kepeng asli, sudah semakin berkurang. Kesulitan tadi terkait juga dengan akar kreasi seniman Bali sendiri yang cenderung merambah hal-hal yang baru yang bisa diuangkan. Bentuk gubahan patung yang bahannya dari uang kepeng adalah salah satu yang terkait erat dengan hal tadi. Kesulitan-kesulitan tersebut, kemudian, mendatangkan cara baru dalam menaggulangi kekurangan uang kepeng. Kini, banyak kepeng baru, buatan baru, yang “dianggap” bisa menutupi kebutuhan terhadap kepeng. Tetapi, banyak masyarakat Hindu yang kemudian merasa kurang sempurna aktivitas upacaranya ketika memakai kepeng buatan baru, karena kualitas uang baru itu lebih buruk daripada uang yang asli. Kepeng baru, tampaknya, dibuat dengan perhitungan yang sangat ekonomis, tidak tahan lama, agar produksi bisa tetap berjalan.
Kelangkaan kepeng asli, secara sejarah, juga pernah terkait dengan sikap pemerintah Belanda yang ingin menghilangkan fungsi kepepng tersebut sebagai uang pembayaran yang syah pada saat itu. Tetapi, keteguhan masyarakat Bali dalam mempertahankan keberadaan kepeng sebagai sarana upacara, khususnya, melunturkan keinginan Belanda, sehingga penggunaan kepeng dalam keseharian masyarakat Bali saat itu tidak dipermasalahkan lagi. Bahkan, hingga kini, kepeng tetap memiliki nilai khusus sebagai uang masa lalu yang berharga.
Harga uang kepeng, seperti diakui oleh salah seorang penjual kepeng di Klungkung, cukup beragam. Jenis uang kepeng lama, uang berwarna emas Rp 800,00 perbiji, uang kuci yang berwarna hitam Rp 900,00 perbiji, dan uang lumrah Rp 500,00 perbiji. Jenis uang kepeng “baru” terdiri atas uang super (warna kuning) Rp 20.000,00 per 200 biji, uang kuci Rp 15.000,00 per 200 biji, dan uang lumrah Rp 12.000,00 per 200 biji.
PERWUJUDAN, JIMAT, DAN PERMAINAN
Penggunaan kepeng bisa ditemukan dalam berbagai bentuk benda upacara di Bali. Benda-benda upacara seperti canang sari, penyugjug, sapsap, orti, banten penyeneng, kewangen, adalah sajen dan sejenisnya yang dilengkapi kepeng. Jumlah uang kepeng yang melengkapi benda-benda tersebut bermacam-macam. Menurut pengakuan beberapa masyarakat Bali, pada sajen-sajen tertentu, uang kepeng ada juga yang telah digantikan dengan uang logam recehan yang baru, uang Indonesia masa kini.
Pada masyarakat Hindu di Bali ada kepercayaan tentang kekuatan tertentu yang dilambangkan dengan bentuk tertentu pula. Arca perwujudan (praraga) termasuk jenis patung perlambangan tersebut. Arca ini, umumnya, dibuat dari bahan kayu cendana untuk bagian kepala dan “dalaman” tubuh patung. Pakaian patung sepenuhnya dibentuk dari untai- an uang kepeng asli Cina. Patung jenis ini biasa disebut patung Sri Sedana, yang konon, sebagai patung yang akan membawa keberuntungan. Sri Sedana adalah lambang dewi kekayaan.
Sebuah patung Sri Sedana bisa menghabiskan 1.000 biji uang kepeng. Untuk pembuatan patung Sri Sedana yang ditujukan sebagai alat pemujaan, menurut seorang pembuatnya, bisa menghabiskan modal dasar sekitar Rp 4.000.000,00. Patung tadi bisa dijual dengan harga antara 6 juta – 8 juta rupiah. Sedangkan “harga turis” bisa lebih melambung, sekitar 40 juta rupiah. Sebuah harga yang cukup mahal. Oleh karena itu, sejalan dengan permintaan pasar luar negeri, pembuatan patung jenis ini terus berjalan. Hal itu berarti terus akan mengurangi ketersediaan kepeng asli Cina. Kini, kepeng asli, menurut beberapa pelaku pasar, telah didatangkan dari Lombok dan Jawa. Dan, pis kuci, pis jepun yang berwarna hitam jika dipakai membuat patung Sri Sedana, akan medatangkan kekuatan tertentu, yang disebut taksu.
Uang kepeng, di antaranya dianggap menyimpan kekuatan yang bisa dipakai sebagai jimat. Jenis kepeng yang disebut kepeng paica adalah salah satu di antara yang dianggap sebagai jimat. Kepeng ini bisa dimiliki oleh seseorang melalui kegiatan semedi, sebagai anugerah dari kekuatan tertentu kepada orang khusus. Tentu saja, jenis uang kepeng ini tidak pernah bisa dilihat oleh orang lain yang bukan pemiliknya. Ada kepercayaan, kalau uang paica ini diperlhatkan kepada orang yang bukan haknya, kekuatan yang dikandung dalam uang paica itu akan berkurang, atau malah akan hilang.
Di samping kepeng paica, ada juga kepeng pretima dan kepeng rerajahan. Jenis kepeng pretima biasanya disimpan di tempat yang dianggap suci. Kepeng yang dipakai untuk membuat pretima adalah kepeng lumrah. Setelah digubah menjadi tiruan bentuk manusia, binatang, bidang segitiga, atau bidang segi empat, kemudian diupacarai, jenis kepeng ini selanjutnya dianggap memiliki nilai sakral. Sedangkan kepeng rerajahan adalah jenis kepeng yang bergambar tokoh-tokoh pewayangan tertentu atau binatang tertentu yang kemudian dijadikan perlambangan.
Kepeng rerajahan dengan gambar Arjuna, konon, memiliki fungsi sebagai pengasih-asihan. Kepeng Bima untuk kedigjayaan. Kepeng jaran untuk kecepatan. Kepeng gajah untuk kekuatan. Masih banyak lagi jenis rerajahan yang dibuat oleh paranormal di atas uang kepeng, sesuai fungsi masing-masing. Para wanita Bali yang memiliki kepercayaan terhadap jimat, suka menyimpan kepeng rerajahan bergambar bulan. Pis bulan, sebutan untuk kepeng rerajahan ini, kata sementara orang, berfungsi sebagai pengikat para suami supaya tetap menyayangi istrinya. Tentang kebenaran fungsi-fungsi tersebut, tentu, sulit dibuktikan secara nyata. Tetapi, begitu banyak orang yang percaya tentang hal itu.
Masyarakat Bali memiliki sejumlah bentuk permainan yang melibatkan penggunaan uang kepeng. Permainan tersebut ada yang hanya melibatkan kaum lelaki dewasa saja, ada juga yang bisa dimainkan oleh masyarakat umum. Bentuk permainan, kemudian, banyak yang mengarah ke perjudian. Plinceran, makeles, dan metogtog, adalah nama jenis permainan tersebut.
Kreativitas seniman Bali tidak pernah berhenti. Uang kepeng, selain dimanfaatkan untuk keperluan melengkapi benda upacara dan permainan, ada juga yang dibuat untuk menghiasi tempat tertentu. Hiasan, dalam hal ini, adalah hiasan yang dikaitkan dengan tempat suci umat Hindu dan juga hiasan “modern” yang merupakan garapan seniman masa kini.
Begitu banyak keterkaitan masyarakat Hindu di Bali dengan uang kepeng. Untuk menghias bangunan profan, baik yang tradisional maupun modern, para seniman Bali membuat tiruan uang kepeng dalam ukuran yang amat besar. Ukuran tiruan uang tersebut sekitar 50 kali besar uang kepeng sebenarnya. Bahan yang digunakan untuk membuat tiruan kepeng tersebut antara lain adalah bahan tanah liat, kayu, dan kuningan. Jenis hiasan seperti ini bisa kita temukan di warung-warung seni di sekitar Ubud. Hiasan ini biasanya digantungkan di dinding rumah atau sebagai penghias pintu gerbang.
Kefanatikan sebagian masyarakat Bali terhadap uang kepeng, terutama yang masih tampak pada kaum tua adalah kebanggaan mereka memiliki jumlah uang kepeng yang banyak. Ada orang tua yang terkagum-kagum ketika mendengar seseorang memiliki jumlah kepeng yang banyak, tetapi tidak peduli ketika mendengar orang lain memiliki uang jutaan rupiah, misalnya. Dan, setiap warga masyarakat Bali yang beragama Hindu, bisa dipastikan memiliki jumlah uang kepeng tertentu di rumahnya sebagai sarana upacara rutin mereka. Di samping uang kepeng dipakai sebagai sarana hukum adat pada sejumlah desa adat di Bali, yang mengharuskan warganya yang terkena sanksi adat, harus membayar denda dengan 1.000 biji uang kepeng. Sanksi seperti tersebut, bahkan telah menjadi imbauan Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA) Bali, kepada semua desa adat, agar memberlakukan sanksi semacam itu kepada warga yang melanggar ketentuan adat. Mengapa dengan uang kepeng? Jawabannya, “itulah keputusannya”. Paling tidak, lembaga adat tersebut menunjukkan bahwa uang kepeng memiliki nilai tinggi, sulit didapatkan, dan akan menjadi beban berat bagi yang terkena sanksi.!
saya sering beli dari orong2 uang kepeng tapi saya jual lg pd pengepul jg di banyuwangi saya pengen ada pembeli dari bali dengan harga yang relativ saya bisa mengumpulkan perminggu rata2 2ribu keping/buah.bahkan yang segi 5 tengahnya kemarin terjual 1 uta ada 5 buah
ReplyDeletejual pis bolong asli
ReplyDeletelokasi denpasar bali
jual per200/satak keteng
bisa eceran juga
minat hub 081936102209