Oleh Jajang Suryana
Ada sejumlah pengertian yang bertalian dengan pengertian komik. Pengertian-pengertian ini adalah pengertian yang sangat mendasar, pengertian umum. Pada perkembangan masa kini, pengertian tadi mungkin berubah, berkembang, meluas, atau bahkan melenceng dari pengertian umum. Hal tersebut tidak akan dipernasalahkan terlalu jauh, karena perubahan merupakan hal yang wajar, biasa, bahkan menjadi keharusan untuk menunjukkan perubahan-perubahan sejalan berubahnya pola pikir dan tindak manusia.
Tahun 1951-an, Poerwadarmita penyusun Logat Ketjil Bahasa Indonesia, belum memasukkan istilah komik dalam kamus yang disusunnya. Bisa diperkirakan bahwa peristilahan tadi masih dianggap asing. Dalam kamus yang disusun lebih kini, istilah komik tersebut sudah umum dikenal. Misalnya, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) akan kita temukan pengertian komik sebagai "bacaan bergambar, cerita bergambar (dl majalah, surat kabar atau berbentuk buku)" (Poerwadarminta, 1991: 517). Para penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut pengertian komik sebagai "cerita bergambar (dl majalah, surat kabar, atau berbentuk buku) yang umumnya mudah dicerna dan lucu" (Moeliono, djp., 1990: 452).
Istilah komik berasal dari bahasa Inggris (Amerika?) comic, yang berarti cerita atau buku komik; yang bersifat gembira (Echols dan Shadily, 1990: 129), cerita bergambar yang lucu (Wojowasito, 1985: 75). McCloud (2001) dalam buku Understanding Comics yang unik, karena disusun dalam gaya penceritaan buku komik, memaparkan tentang komik secara lebih lengkap. Disebutkan, bahwa pengertian komik: "Gambar-gambar serta lambang-lambang lain yang terjukstaposisi (jukstaposisi = berdekatan, bersebelahan) dalam turutan tertentu, untuk menyampaikan informasi dan/atau mencapai tanggapan estetis dari pembacanya" (McCloud, 2001: 9).
Kini, yang disebut buku komik, tidak semata berisi cerita gembira, lucu, dan mudah dicerna. Cerita-cerita komik masa kini banyak yang menggambarkan kekerasan, keruwetan, kebengisan, kesadisan, bahkan kecabulan. Buku komik buatan Amerika, misalnya keluaran perusahaan Walt Disney, dikenal dengan cerita-cerita lucu tokoh-tokoh binatang seperti Donald Duck, Mickey Mouse, Pluto, Simba, Garfield, dan Tom and Jerry. Lain halnya dengan komik-komik keluaran perusahaan Warner Bros, sekalipun tokoh-tokoh ceritanya adalah binatang, sejumlah tokoh itu digambarkan kasar dan jahat. Sejumlah komik keluaran perusahaan Perancis (seperti cerita Asterix dan Scooby Dou), Brussel (seperti cerita Smurf ), dan Belgia (seperti cerita Tintin), cenderung menceritakan petualangan detektif atau jagoan masa lalu; kadang-kadang bercampur dengan cerita hantu yang lucu tetapi menegangkan.
Sehubungan dengan kondisi tersebut, McCloud menambahkan pemerian lainnya tentang istilah komik. Dia memasukkan tokoh-tokoh pahlawan super berkostum warna cerah (seperti Batman, Superman, X-Man, Spiderman, dan sejenisnya); kelinci, tikus, dan beruang lucu; serta "sesuatu yang merusak mental remaja". Apa yang disebutkan oleh McCloud terakhir bisa tampak pada komik-komik masa kini. Misalnya, sejumlah komik keluaran Jepang.
Komik-komik buatan perusahaan Jepang memang sangat beragam. Tema ceritanya terdiri atas cerita untuk anak-anak murni (Doraemon, Pokemon, Digimon), cerita tentang anak tetapi ditujukan untuk orang dewasa (Crayon Shin-Chan, Detektif Conan, dan Dragon Balls), cerita remaja (Sailor Moon dan Candy-Candy), dan cerita untuk orang dewasa murni (Saint Seiya). Oleh karena itu tidak semua komik, juga film kartun --McCloud menunjukkan persamaan dan perbedaan antara komik dengan animasi, film kartun-- cocok untuk anak-anak. Kini, sudah banyak perusahaan komik maupun film kartun, yang memproduksi karya senimannya, khusus untuk konsumsi orang dewasa. Tetapi, karena anggapan umum bahwa komik maupun kartun adalah untuk anak-anak, begitu banyak orang tua yang kurang memperhatikan anak-anak pada saat membaca komik maupun menonton film-film kartun untuk orang dewasa.
Majalah Intisari, Juni 2001, memuat tulisan Andrian W.D. yang mengangkat permasalahan "Kontroversi di Balik Film Kartun". Disebutkan, salah satu film kartun yang pernah ditayangkan oleh RCTI dihentikan penayangannya karena protes para orang tua yang memandang bahwa film kartun tersebut terlalu banyak menonjolkan adegan sadis, pertumpahan darah, dan balas dendam. Hal yang mengenaskan pernah terjadi di Jepang (produk film-film animasi selalu dibuat lengkap dengan buku komiknya, sehingga cepat populer). Peristiwa buruk terjadi antara tahun 1995-1996. Seorang murid menusuk gurunya. Peristiwa itu "diduga sebagai pengaruh film kartun Neon Genesis Evangelion yang yang tengah naik daun saat itu. Di dalamnya memang ada adegan salah satu Eva menusuk lawan dengan senjata serupa pisau cutter. Akibat kasus itu, penayangan anime (film animasi, pengutip) di Jepang dibatasi (Andrian, 2001: 115).
Di Indonesia belum tercatat kasus menggemparkan akibat pengaruh komik, hal ini terkait dengan masih rendahnya minat baca masyarakat kita. Namun kini, setelah komik-komik asing dimunculkan lengkap dengan film animasi cerita yang sama di televisi, video game, play station, x-box, video compact disk (VCD), game personal computer, dan yang lebih memasyarakat yaitu game dalam telesel (telefon seluler) minat “pembaca” muda Indonesia tampaknya mulai bangkit.
Akibat langsung dari film animasi dan lebih khusus komik bisa tampak dari kesukaan siswa sekolah dasar mengoleksi buku komik dan meniru-niru bentuk tokoh kesayangan mereka dalam bentuk gambar. Sejumlah orang tua berada pun telah mulai menyediakan fasilitas pemutar video dan mengoleksi aneka VCD/DVD berisi cerita animasi untuk anak-anaknya. Bahkan, dengan semakin mudahnya penyewaan VCD/DVD dan pemutarnya, semakin banyak orang yang terlibat langsung dengan penikmatan cerita animasi tersebut. Bisa kita periksa hingga ke pelosok desa kecil sekalipun, tempat penyewaan VCD/DVD, bahkan penjualan VCD/DVD, bisa kita temukan.
Perkembangan hasil riset tentang media penggandaan sejenis cakram, CD-R (compact disk recordable, CD yang bisa ditulisi ulang) dan CD-RW (compact disk recordable & writeable, dan hasil teknologi media perekaman yang lebih tinggi darinya, cakram yang bisa ditulisi maupun dihapus-ulang isinya), sangat memudahkan penggandaan film animasi maupun game di atas cakram. Apakah hal itu telah cukup dijadikan bukti bahwa masyarakat Indonesia masa kini tidak terpengaruh kondisi krisis ekonomi yang selama ini dituding sebagai penyebab keterpurukan bangsa Indonesia ?
KEBERADAAN KOMIK DI MANCANEGARA
Dalam tulisan ini, yang dimaksud komik adalah semua jenis buku cerita yang dilengkapi gambar. Komik bukan cergam (cerita bergambar). "Dalam cergam, gambar berperan sebagai ilustrasi, pelengkap tulisan, sehingga sebetulnya tanpa hadirnya gambarpun cerita masih bisa dinikmati pembacanya" (Masdiono, 1988: 9). Selanjutnya, Masdiono menegaskan: "Dalam komik yang terjadi adalah sebaliknya, teks atau tulisan berperan sebagai pelengkap gambar, misalnya: memberi dialog, narasi, dan sebagainya. Jadi lebih tepatnya, KOMIK adalah GAMCER -gambar bercerita. Sehingga, sebuah komik, kalau penggambarnya "canggih", bisa saja tanpa kata-kata".
Gambar cerita, menurut hasil penafsiran para ahli, telah ada sejak masa prasejarah. Gambar-gambar yang menghiasi dinding-dinding gua di Gua Lascaux, Perancis Selatan atau di Gua Lelang-Leang, Sulawesi Selatan, tulisan hieroglyph di dinding kuil Mesir, piktograf suku-suku Indian di Amerika, maupun goresan-goresan gambar pada tebing di Irian Jaya, adalah gambar yang bercerita. Wayang dikenal pula pernah mengalami masa gambar cerita. Ketika cerita wayang masa lalu ingin disampaikan secara naratif dan bisa dibawa ke mana saja pencerita pergi, terjadilah perubahan dari wayang batu berupa relief pada dinding candi menjadi wayang beber. Gambar pada daun lontar yang dikenal dengan sebutan prasi, menjadi bukti yang sama tentang gambar cerita masa lalu. "Tentu saja keahlian membuat gambar 'komik' seperti itu tidak berkembang seperti cerita bergambar yang kita kenal sekarang (Jakarta-Jakarta, No. 99, 1988: 18).
Tabrani (1991: 59) menunjukkan perubahan gambar dari relief pada dinding candi menjadi bentuk gambar cerita yang mulai dilengkapi dengan teks kunci:
"Gambar-gambar, baik lukisan maupun relief yang menggambarkan sekuen-sekuen, masih tetap yang diutamakan dengan ditambahkan teks ringkas sebagai kata-kata kun-ci untuk masing-masing sekuen. Pada saat proses belajar mengajar, maka sang pendeta atau sang guru dengan berpegang pada kata-kata kunci kemudian menceritakan tiap sekuen secara panjang lebar dengan kata-kata lisan. Gambar-gambar tiap sekuen dibu-at sedemikian agar si penutur dapat membayangkan kembali dalam ingatannya keseluruhan kejadian sekuen itu dulu, jadi juga di sini gambar masih merupakan simbol suatu proses".
Tampaknya, cikal bakal komik yang disebut Masdiono sebagai gamcer (gambar bercerita) telah ada sejak masa kuno, masa kerajaan-kerajaan Nusantara Lama. "Relief cerita di Candi Borobudur adalah versi 'cergam', begitupun "kropak lontar cergam seperti kisah 'Dampati Lalangon' dari Lombok" (Tabrani: ibid.: 61).
McCloud membahas secara menarik tentang keberadaan komik dalam bentuk yang lain, yang ia sebut "hanyalah sebagian epik dari naskah bergambar pada jaman pra-Columbus yang 'ditemukan' oleh Cortes sekitar tahun 1519". Gambar berwarna sepanjang 36 kaki (12 meter) ini menceritakan tentang seorang pahlawan militer dan politikus besar bernama "Kuku Macan 8 Rusa". Bahkan ditunjukkan pula gambar yang ditemukan di Perancis, yaitu Permadani Bayeux, yang keberadaannya beratus-ratus tahun sebelum Cortes mulai mengumpulkan komik. Permadani itu panjangnya 230 kaki (sekitar 76 meter). Isi gambarnya tentang penaklukan Norman atas Inggris, yang berawal pada tahun 1066. Namun, hieroglif, sekalipun berbentuk gambar, menurut McCloud, tidak bisa dikelompokkan sebagai komik, sekalipun gambar itu berbeda juga dengan abjad karena masing-masing unsur gambarnya melambangkan bunyi (McCloud, 2001: 12).
Komik "sebenarnya", berkembang di Amerika Serikat. Tetapi, nama-nama pekomik termasyhur dari Jenewa seperti Rudolf Toffler (1966-1846) dan Willem Busch (1832 - 1908) dari Jerman, tak bisa dilepaskan dari keberadaan komik-komik modenn masa awal. Begitupun dari Perancis dikenal nama Caran d'Ache dan Rabier, serta Tom Brown dari Inggris. Amerika meniru apa yang terjadi di Eropa. Pada tahun 1880-an, ketika terjadi persaingan surat kabar yang sangat kuat antara Joseph Pulitzer (New York World) dn William Randolph Hearst (Morning Journal) di New York , surat kabar-surat kabar Amerika mulai memuat komik (Jakarta-Jakarta, op. cit.).
Tahun 1910-an muncul kecenderungan baru di Amerika, yaitu terbitnya komik-komik yang lebih intelektual. Tahun 1924-an kecenderungan itu berubah, ke arah cerita kemasyarakatan. Tahun 1929-an, setelah muncul cerita Tarzan yang disusul lahirnya komik Flash Gordon, Secret Agent X-9, Jules Jim, Terry The Pirate, Prince Valiant, Batman, Phantom, serta Mandrake (hanya menyebut beberapa yang terkenal) adalah kecenderungan komik baru berisi cerita petualangan. Setelah itu muncul komik science fiction, seperti Superman yang hingga kini ceritanya masih populer. Komik dengan cerita Mickey Mouse dan Donald Duck, terbitan Walt Disney, baru muncul pada tahun 1931-an (Jakarta-Jakarta, ibid: 20).
Komik dengan tokoh cerita anak badung (bandel) sudah muncul sejak awal abad ke-20). Di samping itu mucul pula cerita tentang tokoh anak bijak (Jakarta-Jakarta, ibid.). Tampaknya, kini komik dengan berbagai tema cerita muncul secara berbarengan dari para pekomik Jepang. Tema-tema seperti persahabatan, permusuhan, balas dendam, percintaan, anak bandel, anak bijak, anak jagoan, fiksi ilmiah, petualangan, dan berbagai jenis tema cerita lainnya, termasuk cerita dunia robot, telah begitu besar menyedot perhatian para pembaca muda. Semua komik Jepang ditata berbeda dengan komik keluaran Amerika, Perancis, dan Belgia yang cenderung tertib. Teknik banyak frame, dilengkapi close up bagian-bagian tertentu, kemudian dirangkai dengan ketidakteraturan pemilahan bidang gambar, tampaknya telah mengilhami para pekomik muda Indonesia . Pada tabloid Fantasia dan Tablo misalnya, bisa dilihat kecenderungan pengaruh gaya komik Jepang tersebut. Bukan hanya gaya penggambaran saja yang ditiru, dunia robot pun telah menjadi topik cerita yang ditiru dan dikembangkan para pekomik muda Indonesia . Sementara pada tabloid atau koran untuk konsumsi kelas bawah, muncul kecenderungan memanfaatkan tokoh wayang, khususnya punakawan, yang di"modern"kan suasana ceritanya.
KOMIK DI ANTARA KARYA-KARYA SENI RUPA
Mempertanyakan posisi komik di antara karya seni rupa lainnya menjadi sangat menarik. Komik termasuk karya gabungan. Beberapa kegiatan seni bisa muncul di sana . Seni rupa sebagai induk kegiatan utamanya (seni gambar, seni ilustrasi, dan seni grafis), dipadu dengan unsur seni sastra. Tetapi banyak kalangan teoretisi seni rupa maupun sastra yang enggan memasukkan komik ke dalam kategori seni utama. Dalam bidang seni rupa, komik tidak dimasukkan ke dalam kelompok karya seni rupa utama. Begitu pun dalam seni sastra, cerita komik tidak dimasukkan sebagai karya sastra utama.
Seni Utama
Teori seni rupa Barat mengenal pemilahan kelompok seni rupa dalam dua bentuk: seni murni (terjemah dari pure art), sering juga disebut dalam kelompok seni utama (major art), dan seni terap (applied art) atau tergolong seni remeh (minor art). Dalam aneka bahasan buku seni rupa yang menjadi buku acuan, yaitu buku-buku yang ditulis oleh pengarang Barat, pola bahasannya lebih mengutamakan bahasan jenis seni rupa yang dikategorikan seni murni (Jajang, 2000: 109). Oleh karena itu, jenis hasil kegiatan maupun teori tentang seni yang tidak termasuk kelompok seni murni, kurang banyak dibahas.
Myers (1958: 211) menulis dalam salah satu bukunya yang kerap diacu sebagai sumber teori seni rupa Barat, yang termasuk kelompok seni murni hanya bidang-bidang kegiatan "painting, sculpture, architecture, prints, and drawing". Sejalan dengan Myers, para penyusun ensiklopedi seperti Chambers's Encyclopedia, Collier's Encyclopedia, dan Encyclopedia Americana, dalam bagian bahasannya mengupas pengelompokan seni rupa ke dalam rumpun seni utama dan seni remeh. Sekalipun prints (seni cetak) dan drawing (seni gambar) menjadi bagian utama kegiatan pembuatan komik, dalam bahasan seni cetak dan seni gambar tidak sekali pun menyinggung bahasan komik.
Dalam perjalanan seni lukis modern, pelukis pop asal Amerika, Andy Warhol, mengangkat potongan-potongan gambar dari bagian cerita komik terkenal di Amerika. Kemudian potongan gambar (frame, sequence) itu ditiru-besarkan di atas kanvas. Perbuatan Warhol sempat mengundang polemik besar dalam menyambut atau menolak gerakan seni rupa pop. Tetapi, apa yang telah dilakukan oleh Warhol tidak bisa menempatkan komik (sebagai bagian ungkapan yang diangkat Warhol) secara utuh masuk ke dalam kelompok seni murni, atau sekadar mengangkat komik menjadi bahan bincangan penting.
Seni Remeh
Yang termasuk katergori seni remeh banyak sekali, yaitu jenis kegiatan seni rupa di luar kelompok seni murni, seni utama. Myers (ibid.) menulis sebagai berikut: "minor or applied art: furniture, textiles, ceramics, etc", tanpa terlalu banyak memberi kupasan. Pengabaian bahasan tadi, tampak juga dalam sejumlah buku lain yang telah menjadi buku acuan utama teori seni rupa Indonesia . Oleh karena itu, sulit sekali kita menemukan buku yang isinya merupakan bahasan mendalam tentang seni-seni terapan ini yang digandengkan dengan bahasan seni murni. Komik, sebagai kelompok seni remeh, berada pada posisi tersebut, posisi yang kurang diperhitungkan keberadaannya.
Yang menarik adalah sikap penulis buku antropologi seni. Para penulis buku ini tidak memilah seni rupa berdasarkan murni-terap atau utama-remeh. Semua jenis seni rupa dibahas secara lengkap sebagai kajian yang memiliki kesamaan posisi. Hal yang sama bisa kita temukan juga dalam bahasan-bahasan sosiologi seni.
Penghargaan terhadap Pelaku Seni
Pengelompokan murni-terap atau utama-remeh dalam seni rupa berawal dari sikap penghargaan terhadap kelompok pelaku seni. Pelaku seni murni adalah para pekota, pelaku seni akademisi. Mereka penentu kebijakan-kebijakan teori seni, karena merekalah yang menulis buku acuan seni. Sikap para teoretisi seni rupa, khususnya, kurang memiliki penghargaan yang baik terhadap para pelaku seni non-akademisi. Oleh karena itu, muncullah penyebutan yang berbeda antara pelaku seni akademisi dengan non-akademisi. Di dunia seni rupa Barat kental sekali pembedaan tersebut, yang bersumber dari pembedaan kelas sosial pelaku seni. Teori seni rupa Barat dengan segala latar belakang kondisi budayanya, diserap secara lengkap oleh para ahli teori seni rupa Indonesia .
Istilah seniman dan perajin lahir dari pembedaan kelas sosial pelaku seni rupa. Seniman, terjemah dari kata artist, adalah sebutan untuk pelaku seni akademisi, orang kota. Sebaliknya, perajin yang merupakan padan kata dari craftsman, adalah untuk menunjuk pelaku seni non-akademisi, kebanayakan orang desa. Begitu di Barat, begitu juga di lingkungan masyarakat seni Indonesia . Pekomik, dalam teori seni rupa Indonesia hanya dihargai sebagai perajin saja, yaitu pelaku seni yang karyanya terkait dengan urusan pesanan, jual-beli, dan sejenisnya. Alasan itulah yang kerap ditunjuk sebagai pembeda antara kegiatan kelompok yang mengaku seniman dengan perajin.
Padahal, yang mengaku sebagai seniman, pelaku seni murni, pengusung seni utama, sejak masa boom seni lukis tahun 1980-an (Jajang, 2000: 85; Jakarta-Jakarta, 1989: 9) hingga kini, sibuk mengatur strategi penjualan karya. Mereka adu pintar mengatur strategi pasar melalui kurator, galeri, dan media massa . Menjual karya, yang dahulu dianggap "aib bagi seniman" dan menjadi titik pembeda yang mereka kedepankan sebagai dinding pemisah antara mereka dengan para perajin, malah kini mereka banggakan sebagai suatu keberhasilan!
Komik dan Gambar Buatan Anak-anak
Pada tahapan tertentu anak-anak usia sekolah dasar menggambar dengan cara meniru. Mereka ingin menguasai cara menggambar objek secara mirip. Dalam beberapa hasil observasi di lapangan, anak usia 5-9 tahun, suka meniru gambar dalam buku bacaan, gambar buatan temannya, atau juga gambar tokoh-tokoh cerita yang sangat disukainya. Anak-anak tertentu yang memiliki pembawaan khusus, pada usia 2,8 tahun sudah bisa meniru gambar tokoh cerita yang sangat disukainya.
Kesenangan meniru gambar tokoh cerita kesukaan, pada saat tertentu, dihambat oleh perkembangan nalar yang semakin realis. Pertimbangan mirip dan tidak mirip mulai muncul menjadi penghambat tingkat ekspresivitas anak dalam menggambar. Beberapa anak yang kurang percaya diri mulai suka menghapus gambar karyanya.
Irama perkembangan masing-masing anak tidak ada sama persis. Semua anak memiliki jalur perkembangan motorik yang berbeda. Seakalipun kesukaan akan gambar pada kebanyakan anak bisa dikatakan seragam pada usia yang sama, namun karena keragaman irama perkembangan tadi menyebabkan perbedaan-perbadaan intensitas perhatian anak terhadap kegiatan menggambar.
No comments:
Post a Comment