Thursday, 17 September 2009

MENGGAGAS PERTUNJUKAN WAYANG KULIT BERWARNA

Oleh Jajang Suryana

PENDAHULUAN

Pertunjukan wayang kulit adalah pertunjukan wayang yang menggunakan kelir atau layar. Kelir berfungsi sebagai media untuk menampilkan bayang. Oleh karena itu, istilah wayang diartikan sebagai bayangan. Tetapi, pengertian bayangan tersebut tidak sekedar berupa bayangan yang tergambar pada kelir. Bayangan atau wayang pada hakekatnya adalah gambaran kehidupan manusia.

Selama ini, pertunjukan wayang kulit cenderung dalam tampilan yang ekawarna (monokrom). Warna-warna penghias wayang yang menggambarkan ciri watak tokoh, tidak pernah tampil pada kelir. Secara lihatan, terutama dalam pertunjukan, warna-warna itu tidak pernah diolah oleh dalang untuk memperkuat penampilan watak tokoh cerita, karena pertunjukan yang ekawarna dan sifat bahan kulit yang tak tembus cahaya. Memang, pada pertunjukan wayang kulit yang kerap disiarkan oleh stasiun televisi, seperti yang dilakukan setiap malam Minggu (mulai tahun 1996) melalui stasiun teve swasta Indosiar, gaya pertunjukan wayang kulit berwarna sudah dilakukan. "Peran tata cahaya ini", tulis Halyadi dalam harian Kompas (Rabu, 9 Oktober: 1996), "ternyata berpenagaruh pada jalannya pertunjukan. Pemakaian tata cahaya yang berbeda saat adegan di balairung dan di medan laga membuat pertunjukan semakin kaya akan segi estetik tanpa meninggalkan unsur tradisional".

Wayang adalah jenis kesenian lama yang bisa bertahan hidup hingga masa kini, dan tetap mendapat dukungan masyarakat pencintanya. Tetapi, di samping itu, banyak kesenian tradisional yang telah punah. Penyebab kepunahannya, di antaranya bisa diperkirakan, karena tidak ada masyarakat pendukungnya. Sejalan dengan perubahan waktu, pandangan masyarakat terhadap salah satu jenis kesenian pun ikut mengalami perubahan. Ada jenis-jenis kesenian tertentu yang tidak dianggap memiliki hubungan batin dengan kehidupan masyarakat masa kini. Oleh karena itu, kesenian tersebut ditinggalkan, tak didukung keberadaannya.

Sebagai kesenian masa lalu yang sekligus kesenian masa kini, keberadaan wayang, seperti yang disebutkan dalam beberapa prasasti, telah sangat tua. Dalam prasasti tembaga (840 M./762 Çaka) disebut kata aringgit yang berarti tukang wayang atau dalang. Kata parbhwayang atau pertunjukan wayang, yang merupakan salah satu nama kelompok kesenian, disebut dalam prasasti Ugraçena (896 M.). "Sigaligi mawayang buat Hyang, macarita ya Bhima Kumara",  merupakan satu kalimat yang tertera dalam prasasti Balitung yang berangka tahun 907 M./829 Çaka (Buku Panduan Pameran Wayang Kulit Koleksi Museum Bali, 1979: 2). Mertosedono (1990: 18) menyebutkan bahwa wayang purwa pertama yang menggambarkan wajah dewa, terbuat dari daun tal, adalah milik Sri Jayabaya, raja Mamonang, Kediri (939 M.). Salah satu catatan yang paling populer tentang pertunjukan wayang adalah yang tertera dalam kakawin Arjunawiwaha, yang digubah oleh Mpu Kanwa abad ke-11. Dalam kakawin tersebut diceritakan bahwa penonton wayang menangis sedih karena terpengaruh oleh isi ceritanya (Wibisono, 1983: 59; LRKN-LIPI, 1986: 143; dan Mertosedono, hal. 7). Sumber yang kerap diacu oleh para penulis buku wayang.

Sukasman (1993: 37) bersiteguh bahwa kesinambungan wayang, dalam pakem raut, watak tokoh, dan cerita utamanya, sejak masa lalu hingga kini, karena keluwesannya sehingga selalu dianggap sesuai dengan situasi apa pun. Selanjutnya Sukasman menyebutkan: "Kenyataannya bahwa wayang dapat bertahan, dapat berhasil sebagai media dakwah, bahkan mencapai puncak jaman keemasannya pada jaman yang seharusnya mencampakkannya, ini hanya sekedar bukti hasil kerja keras dari para pendukungnya yang dipimpin para wali".

Berdasarkan alasan tersebut, Sukasman mempersamakan nilai wayang seperti nilai ilmu pengetahuan eksakta, teknologi, atau pun sistem religi, yang menunjukkan kebenaran tertentu. Tetapi, meskipun demikian Sukasman masih menyadari perlunya menumbuhkan kreativitas para juru wayang.

Hingga kini, pertunjukan wayang masih tetap disukai oleh masyarakat tertentu. Guritno (dalam Ismunandar, 1988: 62) menyebutkan bahwa di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, tercatat sekitar 40 jenis wayang. Sebagian di antaranya telah punah, sebagian lagi hanya tercatat pada Museum Wayang Jakarta Kota, tetapi tidak diketahui secara pasti keberadaan wayang-wayang tersebut. Beberapa jenis wayang, seperti wayang kulit purwa (berbahasa Jawa), wayang golek purwa (berbahasa Sunda), wayang wong (berbahasa Jawa), dan wayang langendria (wayang tari berbehasa Jawa) masih kerap dipertunjukkan. Bahkan, wayang kulit purwa gagrag tertentu, lebih khusus lagi wayang golek purwa, sejak tahun 1980-an telah mengalami masa kebangkitan (kembali) sebagai suatu seni pertunjukan masa kini.

Keberhasilan yang dicapai para dalang dalam menampilkan pertunjukan wayang masa kini, terkait dengan hasil usaha para dalang dan juru wayang (pembuat wayang) dalam mengubah beberapa hal. Perubahan itu --tanpa merusak ugeran pakem-- menyangkut penceritaan (cerita carangan), tampilan sejumlah tokoh cerita (tokoh baru seperti buta dan emban), maupun penyesuaian tampilan yang sejalan dengan tuntutan penonton masa kini.

Belajar dari keberhasilan "Gebrakan 80-an", sebuah gebrakan pertunjukan wayang golek purwa "baru" yang dilakukan oleh para dalang wayang golek dari Keluarga Giriharja, Jelekong, Kabupaten Bandung, wayang kulit purwa bisa "dihidupkan" kembali. Ade Kosasih Sunarya (Jajang S., 1995: 78-81) memiliki keberanian dan kreativitas dalam menyodorkan sesuatu yang baru, sebuah inovasi pertunjukan wayang golek purwa, tanpa harus melunturkan kekentalan ikatan pakem.

Pertunjukan wayang golek purwa memarak kembali, setelah sangat lama tidak mendapat perhatian masyarakat pendukungnya. Para dalang menemukan kembali kehidupan dunianya. Tanpa sungkan, mereka mengekor pertunjukan yang dikembangkan oleh Keluarga Sunarya dari Giriharja II, Jelekong itu. Muncullah tokoh-tokoh lakon baru yang diolah sejalan dengan selera penonton masa kini, seperti tokoh buta (raksasa) yang bisa pecah kepalanya ketika sedang berperang; tokoh panakawan yang bermain alat musik modern seperti gitar; atau tokoh-tokoh lakon yang bisa bersilat dengan gaya pekungfu dari biara Shaolin. Pada pertunjukan wayang kulit purwa pun, misalnya yang ditampilkan oleh dalang Anom Soeroto, ada tokoh cerita yang bisa bersalto, bermain musik gaya pengeband, menunggang kuda terbang, dan lain-lain. Kecenderungan maraknya model pertunjukan yang mengutamakan tingginya teknik memainkan wayang gaya masa kini semakin merebak. Para penghuni sekolah, para akademisi, para pegawai kantor, dan para pengelola hotel berbintang, merasa bangga mementaskan wayang golek purwa dan wayang kulit purwa di tempat tinggalnya.

"Gebrakan baru" yang sama perlu dikembangkan dalam upaya mengakrabkan wayang kulit purwa Buleleng kepada khalayak, terutama kepada kaum muda. Sebagai pilihan pertama dalam upaya memasukkan unsur baru dalam penggarapan wayang kulit purwa Buleleng, adalah pengayaan bahan pembuatan wayang. Plastik mika adalah bahan alternatif yang bisa dijadikan media untuk memperkaya jenis wayang, menghasilkan jenis wayang baru. Seperti pada masa lalu, pertambahan jenis wayang berjalan sesuai dengan kebutuhan waktu. Pada awalnya, wayang hanya berupa wayang batu, kemudian muncul wayang dari kulit kayu, dari daun tal, dari kertas (wayang bèbèr), dari kulit binatang (wayang kulit), dari kayu bulat torak (wayang golek), dari kayu pipih (wayang klithik), dan bahkan dari bahan seng (lihat koleksi Museum Wayang Jakarta Kota).

PEMBAHASAN

Pengayaan bahan pembuatan wayang ini menuntut cara mempertunjukkan yang lain. Yaitu, cara dan pertunjukan wayang berkelir (wayang kulit) yang berwarna. Tampilan berwarna bayangan wayang mika pada kelir akan didukung oleh efek pencahayaan yang juga nekawarna. Pembaruan pertunjukan wayang (kulit), wayang yang ditampilkan dengan menggunakan kelir, menjadi pertunjukan wayang yang penuh warna, merupakan upaya menarik minat para penonton muda yang pewaris budaya wayang, yang sudah terbiasa menonton berbagai acara televisi yang nekawarna.

Perubahan pertunjukan dan pengayaan jenis wayang, tidak mengubah pakem. Pakem wayang di antaranya mengikat jejer carita (jalan cerita utama), raut tampang, watak, dan penokohan. Sabetan dan pertunjukan, seperti pertunjukan melalui radio, rekaman kaset, maupun pada acara teve, sudah lama diterima oleh masyarakat pendukung wayang tanpa protes. Begitu pun lahirnya jenis wayang baru yang telah begitu lama kita ketahui, tidak menjadi permasalahan dalam pembicaraan tentang pakem. Wayang mika, gaya pertunjukan wayang berkelir yang berwarna, pada dasarnya mengacu kepada keadaan tersebut.

Tulisan ini dimaksudkan untuk menggagas upaya pelestarian salah satu hasil budaya milik bangsa Indonesia yang berharga, yang telah diakui sebagai salah satu benda budaya milik dunia. Pelestarian bisa berarti pelanjutan secara utuh atau hanya sekadar pengembangan. Pengayaan bahan pembuatan wayang kulit, pengembangan gaya pertunjukan wayang kulit berwarna, termasuk ke dalam bentuk usaha pelestarian tadi. Yang mengilhami gagasan ini adalah keberadaan wayang kulit purwa Buleleng.

Wayang kulit purwa Buleleng hingga saat ini kurang begitu akrab dengan masyarakat pendukungnya, terutama dengan kaum muda. Dari hasil wawancara awal, banyak kaum muda yang menyatakan kurang menyukai pertunjukan wayang kulit ini. Kendala pertama yang diakui oleh sejumlah kaum muda Buleleng, adalah unsur bahasa yang digunakan dalang dalam mempertunjukkan wayang. Bahasa pengantar pertunjukan wayang adalah bahasa yang tidak dimengerti oleh kaum muda, yaitu bahasa Jawa Kuna. Kendala kedua menyangkut segi pertunjukan wayang yang kurang sesuai dengan dunia kaum muda. 

Pewarisan budaya adalah pengalihan tanggung jawab dari generasi tua kepada generasi muda. Seandainya kaum muda sebagai kelompok yang akan diwarisi budaya tidak memiliki ikatan kepemilikan terhadap sesuatu yang akan diwariskan, maka proses penurunan tidak akan berjalan mulus. Sejumlah seni tradisional yang pada dasarnya menunjukkan nilai-nilai kepiawaian bangsa Indonesia, telah punah tanpa sempat terdokumentasikan, apalagi terwariskan.

Wayang kulit purwa Buleleng yang selama ini lebih banyak --khususnya-- digunakan untuk kebutuhan melengkapi upacara manusa yadnya, bisa diperluas jangkauan fungsinya, bukan sebagai media tuntunan semata. Tuntunan yang terkandung dalam penceritaan wayang, akan lebih banyak tersampaikan bila kesempatan mempertunjuk-kan wayang itu lebih banyak dan lebih memasyarakat. Salah satu usaha untuk mendekatkan wayang kulit purwa Buleleng dengan masyarakat masa kini, terutama untuk menjangkau masyarakat penonton muda adalah melalui pembaruan tampilan wayang.

Sejak abad ke-9 (tercatat dalam prasasti tembaga dan Ugraçena) pertunjukan wayang telah ada di Nusantara. Bentuk dan jenis wayang yang dipertunjukkan tidak disebutkan di dalam prasasti tersebut. Pada awalnya, menurut perkiraan para dalang, wayang kulit pertama terbuat dari kulit kayu (Jajang S., 1995: 48-49). Unsur agama Hindu (cerita Bhima Kumara: Mahabharata) di samping unsur cerita pemujaan terhadap arwah para leluhur, dipakai secara berdampingan sebagai unsur cerita wayang. Selanjutnya muncul wayang lontar yang disebut sebagai wayang purwa pertama. Sekitar tahun 1200-an tercatat adanya wayang kertas yang selanjutnya disebut wayang bèbèr (Tabrani, 1991: 6). Baru pada abad  ke-13 tercatat adanya wayang yang terbuat dari bahan kulit binatang yang disebut wayang prampogan, rombongan. Tercatat pula wayang yang dibuat dari bahan kayu pipih (wayang klithik), kayu bulat torak (wayang golek), dan seng.

Di Bali, ada beberapa prasasti, babad, dan relief yang bisa dipakai sebagai petunjuk tentang keberadaan wayang. Prasasti Bebetin (896 M./818 Çaka) atau yang lebih dikenal dengan Prasasti Ugraçena, dan prasasti Pandak Gede (1045 M. /993 Çaka) merupakan dua buah prasasti yang secara jelas mencatat adanya wayang di Bali. Relief yang menggambarkan Semara Ratih, relief perunggu, yang disimpan bersama-sama dengan prasasti Anak Wungsu (1071 M.) dan dipergunakan untuk hiasan gantungan pontar merupakan bentuk wayang tertua yang ada di Bali. Di samping itu, pada prasasti tembaga (1204 M.) yang tersimpan di Pura Kehen Bangli, digambarkan Batara Guru yang bentuknya mendekati bentuk pelukisan wayang di Bali saat ini. Dalam babad lain, babad Dalem, disebutkan bahwa Sri Dalem Semara Kepakisan pernah pergi ke Majapahit dan pulangnya, di antaranya, membawa hadiah berupa sekotak wayang kulit. Pada waktu raja Mengwi memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke Blambangan, raja sempat membawa wayang gambuh, yang kini masih tersimpan di Blahbatuh (Suartha, 1993: 14).

Salah satu bentuk wayang peninggalan masa lalau yang kini masih bertahan hidup di lingkungan masyarakat pendukungnya adalah wayang kulit purwa Buleleng. Wayang kulit ini dikelompokkan sebagai wayang purwa karena ceritanya menyangkut lakon Mahabharata dan Ramayana. Wayang kulit purwa ini bisa bertahan hidup karena merupakan bagian dari upacara keagamaan. Setiap upacara manusa yadnya (ruatan, kelahiran, dan wetonan), pitra yadnya (nyekah), dan juga dewa yadnya pertunjukan wayang merupakan salah satu bagian pelengkapnya. Jenis wayang yang digunakan adalah wayang gedog atau wayang lemah yang dipertunjukkan pada siang hari. Tetapi, di samping itu, pada saat-saat seperti kaulan, misalnya, wayang ini pun kerap dipertunjukkan.

Pertunjukan wayang untuk keperluan pelengkap upacara keagamaan cenderung sebagai pertunjukan yang fragmentaris, berupa potongan-potongan cerita yang disesuaikan dengan jenis upacara dan pesanan pengundang. Waktu pertunjukan yang sangat pendek, penyampaian cerita yang terbatas, dan penonton juga yang terbatas, menyebabkan penyampaian tuntunan yang merupakan fungsi awal wayang, kurang terolah. Apalagi jika mempertimbangkan wayang sebagai tontonan. Memang ada pertunjukan wayang yang lebih banyak ditujukan untuk keperluan tontonan, hiburan, yaitu pertunjukan wayang malam hari pada rangkaian upacara ngaben misalnya, tetapi faktor bahasa tetap menjadi kendala bagi penonton.

Seperti disebutkan di atas, salah satu kendala yang menyebabkan kurang akrabnya generasi muda dengan pertunjukan wayang kulit purwa Buleleng adalah masalah penggunaan bahasa yang kurang dekat dengan mereka. Soal bahasa, sebagai alat penyampai tuntunan, memegang peranan penting dalam proses ketersampaian pesan. Di samping itu, unsur pertunjukan baik ujaran (audio) maupun tampilan (visual) --pada adasarnya merupakan bagian paling penting dalam kesenian wayang-- adalah daya penarik utama yang bisa mengoptimalkan wayang sebagai media penyampai tuntunan.

Perubahan bahan pembuatan wayang telah berulang kali dilakukan. Dari sekitar 40 jenis wayang yang pernah tercatat hidup dalam kesenian Indonesia, wayang-wayang tersebut (di luar wayang orang dan wayang langendria) umumnya terbuat dari bahan kulit binatang, kertas, dan kayu (pipih maupun bulat torak). Perubahan tersebut berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hasil karya ini adalah manifestasi dari pergeseran nilai akibat perubahan nilai fungsi wayang (Yudoseputro, 1993: 42). Keselarasan antara fungsi wayang dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan zamannya harus merupakan pertimbanggan yang penting.

Ketika “pertunjukan” wayang hanya hanya bisa ditampilkan melalui relief batu pada bangunan candi, wayang batu telah menjadi alat tuntunan yang cukup pada masanya. Tetapi, ketika para pewarta tuntutan itu (“dalang”) perlu memperlebar jangkauan tempat menunjukkan kandungan cerita wayang, wayang batu tidak lagi dainggap sarana yang praktis. Maka, muncullah wayang bébér yang dibuat di atas sejenis bahan pipih dan rata: kulit kayu, kertas, atau pun kain. Wayang yang lebih menyerupai gambar cerita ini bisa digunakan untuk menyampaikan isi cerita oleh dalang tanpa batas ruang dan tempat.

Seorang dalang wayang bébér bisa membawa perangkat wayang ke mana saja ketika dia akan bercerita, menyampaikan tuntunan. Munculnya wayang kulit, jenis wayang yang paling banyak didapatkan di Jawa (terutama), Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Lombok, sejalan dengan kepentingan pengembangan sarana tuntunan tersebut.

Ketika para pengguna wayang masa lalu menyadari “keterbatasan” wayang kulit sebagai sarana tuntunan dan tontonan, para pemikir bidang wayang pada masa lalu merasa perlu menciptakan bentuk wayang lain yang lebih cocok untuk kepentingan pengembangan tuntunan kepada masyarakat. Wayang kulit, pada awalnya, ditampilkan mengandalkan cahaya bulan purnama. Perubahan muncul ketika sumber pencahayaan diganti dengan blencong, lampu cempor, atau lampu minyak.

Pembuatan wayang baru yang menuntut cara mempertunjukkan yang agak lain dari biasanya perlu dilakukan. Wayang mika yang akan mampu menampilkan efek berwarna jika ditampilkan seperti dalam pertunjukan wayang kulit, merupakan salah satu jawaban untuk memenuhi hasrat masyarakat penonton masa kini yang telah terbiasa menonton pertunjukan yang penuh warna. Penggunaan pencahayaan yang nekawarna, disesuaikan dengan tampilan watak tokoh dan suasana cerita, akan lebih menghidupkan isi cerita. Nilai tuntunan bukan terletak pada wujud atau bentuk medianya, tetapi pada keefektifan media tersebut dalam memberi rangsang persitindakan dengan orang yang akan menerima penyampaian tuntunan.

Pengenalan bahan mika, bahan pewarna mika, dan efek khusus bayangan wayang, bisa menambah wawasan dan memperkaya pengalaman bagi para juru wayang dan para dalang. Pengayaan bahan pembuatan wayang menghasilkan jenis wayang baru, wayang mika. Hal itu merupakan sumbangan yang berarti bagi peragaman dan pengembangan kekayaan khazanah perwayangan milik bangsa Indonesia. Wayang mika atau wayang yang dibuat dari bahan plastik mika,  bukan merupakan gagasan baru. Perubahan bahan pembuatan wayang, seperti diuraikan di atas, sudah sejak lama dilakukan. Perubahan bahan itu tentu saja disesuaikan dengan tuntutan zaman. Mika yang papar seperti kulit samakan, bisa ditatah menjadi wayang, diwarnai dengan teknik pewarnaan yang jernih (transparan, tembus pandang). Warna mika maupun warna watak tokoh wayang yang digambarkan secara simbolis pada bagian tubuh wayang, bisa menampilkan bayangan yang nekawarna pada kelir; bukan tampilan yang ekawarna seperti pada pertunjukan wayang kulit yang lazim.

Pengembangan wayang bukanlah hal yang tabu. Masyarakat Bali pada umumnya memiliki daya dukung sistem sosial yang disebut jengah (Mantra, 1992: 13). Kata jengah, dalam hubungannya dengan seni Bali, mengandung makna tautan (konotatif) competitive pride atau semangat untuk bersaing. Sifat jengah didukung taksu atau inner power, yaitu kreativitas budaya. Penciptaan wayang baru (wayang mika) dan penggagasan gaya pertunjukan wayang kulit yang penuh warna, bermanfaat untuk membangkitkan kembali kekuatan jengah dan taksu yang merupakan ciri khas masyarakat Buleleng.

PENUTUP

Penikmatan boneka wayang, dalam bentuk apa pun (wayang golek, wayang kulit, wayang klithik, wayang beber) tidak pernah menyentuh unsur-unsur rupa-nya. Warna-warni dan hiasan-hiasan yang menjadi penanda tokoh wayang, tak pernah dipedulikan sebagai bentuk keindahan yang sedap untuk dinikmati. Boneka wayang baru diperlakukan sebagai pelengkap pertunjukan sebuah cerita. Padahal, boneka wayang adalah karya seni rupa yang sangat sarat ekspresi perupanya, sekalipun dalam perupaannya tetap diikat pakem tertentu, pakem gambaran tokoh.

SUMBER RUJUKAN

1. BUKU

Ahmad, A. Kasim, (djp.), t.th. Ungkapan Beberapa Bentuk Kesenian (Teater, Wayang, Dan Tari). Jakarta: Direktorat Kesenian, Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Amir, Hazim, 1991. Nilai-nilai Etis Dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Direktorat Museum, Ditjend. Kebudayaan, Departemen P & K, 1979. Pameran Wayang Kulit Museum Bali. 

Fischer, Joseph (Ed.), 1990. Modern Indonesian Art. Three Generations of Tradition And Change 1945-1990. Jakarta and New York: Pameran KIAS (1990-91) and Festivas of Indonesia.

Guritno, Pandam, 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia, Dan Pancasila. Jakarta: UI-Press.

Ismunandar K., R.M., 1988. Wayang, Asal-Usul Dan Jenisnya. Semarang: Dahara Prize.

Kayam, Umar, 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.

Mantra, I.B., 1992. Bali: Sosial Budaya Dan Modernisasi. Denpasar: Upada Sastra.

Mellema, R.L., 1954. Wayang Puppets, Carving, Colouring And Symbolism. Koninklijk Instituut voor de Tropen.

Poerwadarminta, W.J.S., 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jalarta: Balai Pustaka.

Sagio dan Samsugi, 1991. Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta. Jakarta: Haji Masagung.

Sedyawati, Edi dan Sapardi Djoko Damono (Peny.), 1989. Seni Dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Soedarso, Sp., 1987. Wanda, Suatu Studi Tentang Resep Pembuatan Wanda-wanda       Wayang Kulit Purwa Dan Hubungannya  dengan Presensi Realistik. Proyek             Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Ditjend, Depdikbud.

Soekanto, 1992. Wayang Kulit Purwa, Klasifikasi, Jenis, Dan Sejarah. Semarang: Aneka Ilmu.

Suryana, Jajang. 2001.  Wayang Golek Sunda. Kajian Estetis Rupa Tokoh Golek. Bandung: Kiblat Buku Utama (Yayasan Adikarya IKAPI & The Ford Foundation)

Suseno, Franz Magnis, 1991. Wayang Dan Panggilan Manusia. Jakarta: Gramedia.

Tim Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LRKN-LIPI), 1986. Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia. Bandung: Alumni.

Wibisono, Gunawan, 1974. "Wayang Sebagai Sarana Komunikasi". Bunga Rampai (1983). Jakarta: Gramedia.

Widodo, Ki Marwoto Panenggak, 1990. Tuntunan Ketrampilan Tatah Sungging Wayang Kulit. Surabaya: Citra Jaya Murti.

Yudoseputro, M. Wiyoso dan M. Sulebar Soekarman, 1993. Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Jakarta: Senawangi & Institut Kesenian Jakarta-LPKJ.

2.  SKRIPSI, TESIS, DISERTASI, BUKU AJAR

Jajang S., 1995. Kajian Tentang Raut Wayang Golek Sunda Dtitinjau Dari Latar Belakang Watak Tokoh. Tesis pada Jurusan Seni Rupa Dan Desain, Fakultas Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.

Jajang S., 1997. Wayang Golek Purwa. Buku Ajar Pada Program Studi Pendidikan Seni       Rupa, Jurusan Pendidikan Bahasa Dan Seni, STKIP Singaraja

Rimbawa, I Made, 1993. Kerajinan Wayang Kulit Di Nagasepaha Buleleng. Skripsi pada Program Studi Pendidikan Seni Rupa, Jurusan Pendidikan Bahasa Dan Seni, STKIP Singaraja.

Tabrani, Primadi, 1991. Meninjau Bahasa Rupa Wayang Beber Jaka Kembang Kuning Dari Telaah Cara Wimba Dan Tata Ungkapan Bahasa Rupa Media Ruparungu Dwimatra Statis Modern, Dalam Hubungannya Dengan Bahasa Rupa Gambar Prasejarah, Primitif, Anak, Dan Relief Cerita Lalitavistara Borobudur. Disertasi pada Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung.

3.  MAKALAH

Soedarso, Sp., 1987. Morfologi Wayang Kulit, Wayang Kulit Ditinjau Dari Jurusan Bentuk. Pidato Ilmiah Pada Dies Natalis Ketiga Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

4.  MAJALAH

Majalah Warta Wayang Gatra. Jakarta: Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia "SENAWANGI".

Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, SENI. Yogyakarta: BPISI.

 

 

3 comments:

  1. Tulisan ini mengingatkan saya betapa budaya dan kesenian Indonesia itu telah berkembang luas dan berpengaruh di Malaysia. Orang-orang Indonesia yang berhijrah dan bermaustautin di Malaysia telah membawa semua kesenian ini. Mereka telah mengamal dan mengembangkan budaya dan kesenian itu di Malaysia.Itulah sebabnya di Malaysia ada wayang kulit Gedek dan Wayang Kulit Jawa. Segelintir orang-orang Indonesia tidak memahami fenomena ini. Itulah sebabnya ada protes dari golongan ini mengenai hal-hal yang berkaitan dengan budaya. Kecuali Tarian Pendet itu memang satu kesalahan besar yang dilakukan oleh orang-orang tertentu di Malaysia.

    Selain Wayang kulit Gedek dan Wayang Kulit Jawa di Malaysia juga ada Wayang Kulit Siam yang selalu dimainkan di Kelantan.Pengaruh Siam atau Thailand itu kuat di situ kerana mereka berasal dari keturunan Siam.

    ReplyDelete
  2. Yang pernah saya teliti, memang ada sejumlah benda seni --kebetulan penelitiannya tentang artefak seni-- yang ditemukan di sejumlah tempat. Benda tersebut menjadi penanda, penunjuk, yang bisa memetakan posisi kesenian tertentu. Dengan ditemukannya benda-benda tersebut, katakanlah wayang, di berbagai tempat, berarti kita bisa melihat gambaran jalur penyebarannya. Seperti peta perjalanan yang biasa dibuat untuk para pemudik lebaran. Begitu. Tetapi tidak banyak orang tahu, betapa keakraban rumpun bangsa ini pernah melakukan aneka interaksi yang damai. Tak mungkin suatu kesenian bisa berkembang di satu tempat, katakanlah di Madagaskar, Indo China, dan Tahiti, yang artefaknya pernah tercatat dalam buku, kalau tidak karena pernah ada sekelompok orang yang hidup lama dan damai di sana.

    Lalu, masyarakat pemilik benda kesenian tersebut merasa menjadi pemilik syah, ya, biasa, tak masalah. Cuma penanda yang menunjuk asal dan tempat berkembangnya kemudian, tetap harus tampak. Katakanlah musik klasik dan jazz yang telah berkembang di luar tempat asalnya, kaitan dengan tempat asal itu tetap nampak. Tidak terputus. Begitupun kesenian lainnya.

    Terima kasih Pak informasinya. Saya telah menjadi pembaca tetap blog Bapak, blog ORANG BEHRANG. Lihat saja kontak saya ada di sana.

    ReplyDelete
  3. Terima kasih Pak Jajang.Saya sangat menghargainya. Saya juga ingin menjadi Followers kepada blog bapak tetapi bagaimana ya? Sebab tidak ada ruangnya.Walau bagaimanapun kita akan selalu berhubung dalam bidang penyelidikan dan penulisan khususnya dalam bidang budaya dan kesenian yang kita cintai ini.

    ReplyDelete