Oleh Jajang Suryana
Rasa
penasaran kembali muncul ketika seorang mahasiswa yang saya bimbing menemukan
kenyataan unik di lapangan. Dia melakukan penelitian quasi eksperimental
terhadap dua kelompok (dua kelas) anak PAUD di sebuah sekolah swasta di Bali.
Sekolah ini, sebagaimana sekolah-sekolah lainnya, menurut informasi yang dapat
saya himpun, telah “mengikuti” pesanan orang tua siswa. Sekolah telah
menyelenggarakan ekstra kurikuler berupa ekstra menggambar, ekstra bahasa
Inggris, dan ekstra renang, untuk anak PAUD binaannya. Salah satu bidang ekstra
yang dijadikan sasaran penelitian mahasiswa saya adalah ekstra menggambar.
Kegiatan penelitian yang terkait dengan laporan skripsi ini, tentu, sangat bisa dipertanggungjawabkan kandungan
ilmiahnya.
Pada
kegiatan ekstra menggambar, Budiaprillia nama mahasiswa peneliti ini, menemukan
bahwa anak-anak PAUD ketika diajak menggambar kerap mengajukan sanggahan berupa
kalimat: “Tak bisa menggambar Bu,”; “Gambar apa Bu?”; “Bagaimana caranya Bu?”;
“Beri contohnya Bu!”; dan kalimat sejenisnya yang menunjukkan bahwa anak-anak
kurang percaya diri. Data awal (dawal) yang bisa dia kumpulkan, guru PAUD biasa
mengajar anak-anak dengan pola dikte. Anak-anak menggambar mengikuti tutorial
guru langkah demi langkah. Misalnya, ketika menggambar bentuk burung, guru akan
mengajak siswa mulai menggambar bulatan besar, kemudian bulatan kecil, dan
seterusnya. Pola ajaran Pak Tino Sidin, sebuah acara tutorial menggambar tahun
70-an yang ditayangkan secara rutin di TVRI pusat, ternyata masih digunakan
oleh para guru. Boleh jadi gurunya sempat merasakan nikmatnya cara menggambar
dengan pola tersebut, atau mewarisi kegiatan dari generasi pembina guru gambar
sebelumnya. Dan, siswa PAUD yang biasa dipandu dengan pola tersebut, selalu
meminta panduan guru ketika mereka harus menggambar.
Budiaprillia
memandang hal itu sebagai masalah yang sangat mengganggu. Sebagai seorang
mahasiswa Pendidikan Seni Rupa, dia ingin mencoba mengubah pola ajar tadi
dengan pola ajar lain yang diperkirakan bisa lebih efektif memberi pangalaman
yang nyaman bagi anak-anak. Dia menemukan pola copy the master yang di
dalam sejumlah sumber bacaan telah lama digunakan di dunia kesenirupaan Timur.
Sebaliknya, dalam teori mengajar menggambar versi Barat pernah disebutkan bahwa
kegiatan meniru adalah pembiasaan buruk yang tidak mendukung ajaran kreativitas
bagi siswa. Intinya, teori pembelajaran seni rupa Barat dimotori dengan segala
langkah kebebasan berekspresi, ajaran persuasif, hingga “pengharaman” kegiatan
meniru. Dan, teori Barat itulah yang kerap dijejalkan oleh dosen mata kuliah
teori pendidikan seni rupa kepadanya. Sementara itu, metode copy the master sudah biasa
juga diterapkan dalam pembelajaran bahasa, lebih khusus dalam penulisan puisi.
Di
lingkungan masyarakat seniman Bali, apapun jenis kegiatannya, bisa melukis,
mematung, membuat karya kriya, peniruan demi peniruan terus dilakukan. Seniman
yang menjadi pendahulu satu bentuk kegiatan (pola karya) tertentu, tidak pernah
merasa keberatan jika gaya melukis atau mematungnya ditiru seniman lain. Mereka
saling melengkapi temuan dalam membangun gambaran pola karya milik masyarakat Bali. Oleh karena itu, ketika satu pola
karya muncul, kemudian jenis karya tersebut disukai pasar, tren itu akan
menjamur di setiap sudut sentra kegiatan industri kreatif masyarakat Bali. Hal
itu akan berjalan normal tanpa tuntut-tuding meniru, menjiplak, atau plagiat.
Pola tersebut telah menjadi budaya masyarakat Bali secara umum. Bahkan dalam
sistem cantrik yang dibangun di sanggar-sanggar, pola copy the master, seperti
yang juga terjadi dalam dunia kesenirupaan Cina, telah banyak melahirkan
seniman-seniman dengan ciri jatidiri yang baru. Mungkin, ciri masternya masih
kental dalam karya para murid. Tetapi, lambat laun jatidiri seniman sebagai
pribadi yang berbeda dengan pribadi lainnya, tetap bisa muncul sebagai hasil
pencarian yang berkelanjutan. Dalam sejumlah kasus, hasil kegiatan di
lingkungan pendidikan formal kesenirupaan pun masih banyak ditemukan karya
mahasiswa yang menampakkan pengaruh warna guru-murid.
Maraknya
tuntutan HaKI (hak atas kekayaan intelektual), hal itu juga muncul dari pikiran
dan ego masyarakat Barat, merasuk juga ke wilayah masyarakat heterogen tradisi-modern.
Wacana
tentang masalah tersebut sempat ramai di lingkungan tradisi dan modern Bali. Bahkan
menjadi polemik antarpendukung dan penolak paham tersebut.
Tradisi
kutipan dalam karya ilmiah telah lama disetujui sebagai konvensi peminjaman
buah pikiran orang lain yang dianggap sangat etis. Di lingkungan seni musik
tari, dan teater, begitu banyak seniman musik, tari, dan teater yang dibesarkan
karena memainkan karya orang lain, bukan karya sendiri. Semua itu seakan tak
ada masalah. Tetapi dalam dunia seni rupa yang umum, dipengaruhi pikiran ego
Barat, murni-terap, seniman-perajin, pekota-pedesa (istilah Prof. Sudjoko),
tetap dimunculkan sebagai gambaran pemilahan dua kubu masyarakat: akademis
dengan nonakademis. Bahkan kolaborasi yang mengaku seniman dan yang dituding nonseniman
(biasanya disebut perajin atau pengrajin saja) telah berlaku juga, tetapi tidak
pernah diekspos. Sebuah patung berukuran raksasa tak mungkin dikerjakan oleh pematungnya
sendirian, di situ banyak tenaga perajin yang berperan penting, tetapi hasilnya
tetap diaku sebagai karya pematungnya seorang. Berbeda dengan karya film, yang
bisa menjadi lebih terkenal biasanya pemeran tokoh utama film, sementara
penulis skenario, sutradara, ilustrator musik, dan pendukung kerja kelompok
lainnya, kadangkala tidak sempat dikenal sama sekali.
Manusia
adalah mahluk yang dibesarkan dan didewasakan melalui kegiatan aneka peniruan. Bahkan,
dalam kehidupan awal manusia yang sangat bergantung kepada
keberadaan manusia dewasa lain, manusia sepenuhnya
dibiasakan dalam peniruan-peniruan. Imajinasi dalam menampilkan manusia kera, seperti tokoh
cerita Tarzan, adalah terkait dengan kondisi bentukan dari hasil peniruan
lingkungan gorilla “penyayang” yang mengasuhnya. Begitupun dengan lahirnya tokoh Reo hasil bentukan
lingkungan serigala dalam cerita komik Ganes TH. Adanya kesadaran tentang peran
meniru hampir dalam keseluruhan hidup manusia itulah yang melahirkan model
pembelajaran copy the master.
Dalam kegiatan penelitian Budiaprilliana,
pembelajaran seni rupa pola dikte dibandingkan dengan pola copy the master.
Kegiatan tersebut diulang masing-masing dalam 8 kali pertemuan pembelajaran. Materi
ajar disesuaikan dengan materi resmi sekolah yang telah diatur secara kurikulum.
Kelompok kontrol tetap mengikuti pola pembelajaran dikte, sementara itu
kelompok eksperimen dikondisikan dengan pembelaran pola copy the master. Yang disebut
gambar master adalah gambar yang telah jadi yang dibuat oleh peneliti, yang
dijadikan pemancing kreativitas siswa. Gambar dengan pola dikte adalah gambar yang
dibuat oleh peneliti di papan tulis secara bertahap untuk diikuti langkah demi
langkah oleh siswa.
Proses kegiatan pembelajaran dah
hasil gambar dicatat sebagai bahan analisis bandingan. Analisis yang dilakukan
oleh peneliti adalah analisis situasi pembelajaran berupa catatan perilaku siswa
selama pembelajaran dan analisis kondisi visual gambar. Kondisi pembelajaran
dengan pola copy the master, pada pertemuan kesatu dan kedua belum menampakkan perbedaan
situasi yang mencolok bila dibandingkan dengan situasi pembelajaran pola dikte.
Begitupun hasil gambar yang dibuat oleh masing-masing siswa (kelompok kontrol
maupun kelompok eksperimen). Tetapi pada pertemuan pembelajaran lanjutan,
suasana kelas copy the master lebih hidup dan ramai dengan obrolan tentang
materi gambar maupun ekspresi siswa. Gambar hasil peniruan pun mulai banyak berubah,
lebih kaya dengan tambahan objek gambar sesuai dengan ekspresi siswa masing-masing.
Berbeda dengan siswa kelompok kontrol, mereka tampak lebih “tertib, diam, dan sunyi”
ketika menyelesaikan karya. Hasil gambar pun tampak kurang variatif, terutama
dalam hal bentuk yang digambar.
Pada pertemuan ke-8, peneliti melaksanakan
perlakuan yang berbeda kepada kedua kelompok, yaitu memberi kesempatan siswa untuk
menggambar tanpa tema dan tanpa contoh. Hasilnya di luar perkiraan peneliti.
Gambar karya siswa PAUD yang menjadi sasaran penelitian, kembali ke gambar “konvensional”
anak-anak Indonesia: gambar pemandangan dengan dua gunung kembar sebagai latar belakang!
Siswa pada kelompok kontrol (14 orang), 80% di antaranya menggambar pemandangan dengan
latar gunung kembar dan matahari sepertiga berisi berkas sinar yang mengintip
di antara dua gunung. Sisanya menggambar tema lain yang berbeda. Kelompok
eksperimen (17 orang), 50% di
antaranya menggambar pemandangan dengan latar gunung kembar, sisanya menggambar
tema-tema lain yang beragam. Kenyataan ini membuktikan bahwa gambar pemandangan
yang dilengkapi dengan gunung kembar sangat melekat sebagai ciri gambar yang
biasa dibuat oleh anak-anak Bali. Bahkan bisa dibuktikan melalui pengumpulan
gambar karya anak-anak Indonesia lainnya.
Saya
menyimpan ribuan gambar hasil penelitian kecil tugas kuliah mahasiswa yang
mengikuti mata kuliah yang saya ampu. Gambar-gambar tersebut didapatkan dari
Jakarta, Bandung, sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, semua kabupaten di Bali,
dan beberapa daerah di Lombok. Dalam kumpulan tersebut, karya anak-anak TK
hingga SMA banyak sekali yang bertema pemandangan dengan latar gunung kembar.
Bahkan, saya temukan juga dibuat oleh mahasiswa semester awal Jurusan
Pendidikan Seni Rupa.
Apakah
gambar pemandangan dengan latar gunung kembar itu arketif anak-anak Indonesia?
Unsur bentuk gambar lain yang kerap muncul adalah matahari (: ada yang muncul
di sela gunung, ada yang penuh bulat di atas gunung, ada juga yang muncul
setengah atau sepertiga di sudut atas kiri atau kanan kertas) yang digambarkan
memancarkan sinar, burung dengan bentuk dasar tanda silang, jalan lurus atau
berkelok ke arah gunung, sering dilengkapi gambar tiang listrik yang berderet
atau pohon-pohon semua digambar dengan sudut pandangan perspektivis. Hal lain
yang biasa ditemukan, di kiri-kanan jalan digambarkan hal-hal lain yang
beragam: ada kotak-kotak sawah diisi gambar rumpun padi dengan pola bentuk
seperti mata panah terbalik, ada juga gambar danau atau sungai lengkap dengan
perahu atau pemancing ikan di pinggirnya, atau gambar rumah khas yang
dilengkapi vas bunga berderet. Gambar awan, yang dibuat oleh generasi sebelum
ada ajaran Tino Sidin di TVRI Pusat, berbentuk deretan garis melengkung
setengah lingkaran yang disusun berjenjang menyerupai pola segitiga tumpul,
kini bentuknya seperti bentuk kapas meniru gaya awan dalam komik manga. Semua
pola tersebut tampil seperti seragam pada semua gambar dari beragam tempat asal
pembuat gambar.