Monday, 10 August 2015

Kembali ke Gambar Gunung Kembar

Oleh Jajang Suryana


Rasa penasaran kembali muncul ketika seorang mahasiswa yang saya bimbing menemukan kenyataan unik di lapangan. Dia melakukan penelitian quasi eksperimental terhadap dua kelompok (dua kelas) anak PAUD di sebuah sekolah swasta di Bali. Sekolah ini, sebagaimana sekolah-sekolah lainnya, menurut informasi yang dapat saya himpun, telah “mengikuti” pesanan orang tua siswa. Sekolah telah menyelenggarakan ekstra kurikuler berupa ekstra menggambar, ekstra bahasa Inggris, dan ekstra renang, untuk anak PAUD binaannya. Salah satu bidang ekstra yang dijadikan sasaran penelitian mahasiswa saya adalah ekstra menggambar. Kegiatan penelitian yang terkait dengan laporan skripsi ini, tentu, sangat  bisa dipertanggungjawabkan kandungan ilmiahnya.

Pada kegiatan ekstra menggambar, Budiaprillia nama mahasiswa peneliti ini, menemukan bahwa anak-anak PAUD ketika diajak menggambar kerap mengajukan sanggahan berupa kalimat: “Tak bisa menggambar Bu,”; “Gambar apa Bu?”; “Bagaimana caranya Bu?”; “Beri contohnya Bu!”; dan kalimat sejenisnya yang menunjukkan bahwa anak-anak kurang percaya diri. Data awal (dawal) yang bisa dia kumpulkan, guru PAUD biasa mengajar anak-anak dengan pola dikte. Anak-anak menggambar mengikuti tutorial guru langkah demi langkah. Misalnya, ketika menggambar bentuk burung, guru akan mengajak siswa mulai menggambar bulatan besar, kemudian bulatan kecil, dan seterusnya. Pola ajaran Pak Tino Sidin, sebuah acara tutorial menggambar tahun 70-an yang ditayangkan secara rutin di TVRI pusat, ternyata masih digunakan oleh para guru. Boleh jadi gurunya sempat merasakan nikmatnya cara menggambar dengan pola tersebut, atau mewarisi kegiatan dari generasi pembina guru gambar sebelumnya. Dan, siswa PAUD yang biasa dipandu dengan pola tersebut, selalu meminta panduan guru ketika mereka harus menggambar.

Budiaprillia memandang hal itu sebagai masalah yang sangat mengganggu. Sebagai seorang mahasiswa Pendidikan Seni Rupa, dia ingin mencoba mengubah pola ajar tadi dengan pola ajar lain yang diperkirakan bisa lebih efektif memberi pangalaman yang nyaman bagi anak-anak. Dia menemukan pola copy the master yang di dalam sejumlah sumber bacaan telah lama digunakan di dunia kesenirupaan Timur. Sebaliknya, dalam teori mengajar menggambar versi Barat pernah disebutkan bahwa kegiatan meniru adalah pembiasaan buruk yang tidak mendukung ajaran kreativitas bagi siswa. Intinya, teori pembelajaran seni rupa Barat dimotori dengan segala langkah kebebasan berekspresi, ajaran persuasif, hingga “pengharaman” kegiatan meniru. Dan, teori Barat itulah yang kerap dijejalkan oleh dosen mata kuliah teori pendidikan seni rupa kepadanya. Sementara itu, metode copy the master sudah biasa juga diterapkan dalam pembelajaran bahasa, lebih khusus dalam penulisan puisi.

Di lingkungan masyarakat seniman Bali, apapun jenis kegiatannya, bisa melukis, mematung, membuat karya kriya, peniruan demi peniruan terus dilakukan. Seniman yang menjadi pendahulu satu bentuk kegiatan (pola karya) tertentu, tidak pernah merasa keberatan jika gaya melukis atau mematungnya ditiru seniman lain. Mereka saling melengkapi temuan dalam membangun gambaran pola karya milik masyarakat Bali. Oleh karena itu, ketika satu pola karya muncul, kemudian jenis karya tersebut disukai pasar, tren itu akan menjamur di setiap sudut sentra kegiatan industri kreatif masyarakat Bali. Hal itu akan berjalan normal tanpa tuntut-tuding meniru, menjiplak, atau plagiat. Pola tersebut telah menjadi budaya masyarakat Bali secara umum. Bahkan dalam sistem cantrik yang dibangun di sanggar-sanggar, pola copy the master, seperti yang juga terjadi dalam dunia kesenirupaan Cina, telah banyak melahirkan seniman-seniman dengan ciri jatidiri yang baru. Mungkin, ciri masternya masih kental dalam karya para murid. Tetapi, lambat laun jatidiri seniman sebagai pribadi yang berbeda dengan pribadi lainnya, tetap bisa muncul sebagai hasil pencarian yang berkelanjutan. Dalam sejumlah kasus, hasil kegiatan di lingkungan pendidikan formal kesenirupaan pun masih banyak ditemukan karya mahasiswa yang menampakkan pengaruh warna guru-murid.

Maraknya tuntutan HaKI (hak atas kekayaan intelektual), hal itu juga muncul dari pikiran dan ego masyarakat Barat, merasuk juga ke wilayah masyarakat heterogen tradisi-modern. Wacana tentang masalah tersebut sempat ramai di lingkungan tradisi dan modern Bali. Bahkan menjadi polemik antarpendukung dan penolak paham tersebut.

Tradisi kutipan dalam karya ilmiah telah lama disetujui sebagai konvensi peminjaman buah pikiran orang lain yang dianggap sangat etis. Di lingkungan seni musik tari, dan teater, begitu banyak seniman musik, tari, dan teater yang dibesarkan karena memainkan karya orang lain, bukan karya sendiri. Semua itu seakan tak ada masalah. Tetapi dalam dunia seni rupa yang umum, dipengaruhi pikiran ego Barat, murni-terap, seniman-perajin, pekota-pedesa (istilah Prof. Sudjoko), tetap dimunculkan sebagai gambaran pemilahan dua kubu masyarakat: akademis dengan nonakademis. Bahkan kolaborasi yang mengaku seniman dan yang dituding nonseniman (biasanya disebut perajin atau pengrajin saja) telah berlaku juga, tetapi tidak pernah diekspos. Sebuah patung berukuran raksasa tak mungkin dikerjakan oleh pematungnya sendirian, di situ banyak tenaga perajin yang berperan penting, tetapi hasilnya tetap diaku sebagai karya pematungnya seorang. Berbeda dengan karya film, yang bisa menjadi lebih terkenal biasanya pemeran tokoh utama film, sementara penulis skenario, sutradara, ilustrator musik, dan pendukung kerja kelompok lainnya, kadangkala tidak sempat dikenal sama sekali.

Manusia adalah mahluk yang dibesarkan dan didewasakan melalui kegiatan aneka peniruan. Bahkan, dalam kehidupan awal manusia yang sangat bergantung kepada keberadaan manusia dewasa lain, manusia sepenuhnya dibiasakan dalam peniruan-peniruan. Imajinasi dalam menampilkan manusia kera, seperti tokoh cerita Tarzan, adalah terkait dengan kondisi bentukan dari hasil peniruan lingkungan gorilla “penyayang” yang mengasuhnya. Begitupun dengan lahirnya tokoh Reo hasil bentukan lingkungan serigala dalam cerita komik Ganes TH. Adanya kesadaran tentang peran meniru hampir dalam keseluruhan hidup manusia itulah yang melahirkan model pembelajaran copy the master.

Dalam kegiatan penelitian Budiaprilliana, pembelajaran seni rupa pola dikte dibandingkan dengan pola copy the master. Kegiatan tersebut diulang masing-masing dalam 8 kali pertemuan pembelajaran. Materi ajar disesuaikan dengan materi resmi sekolah yang telah diatur secara kurikulum. Kelompok kontrol tetap mengikuti pola pembelajaran dikte, sementara itu kelompok eksperimen dikondisikan dengan pembelaran pola copy the master. Yang disebut gambar master adalah gambar yang telah jadi yang dibuat oleh peneliti, yang dijadikan pemancing kreativitas siswa. Gambar dengan pola dikte adalah gambar yang dibuat oleh peneliti di papan tulis secara bertahap untuk diikuti langkah demi langkah oleh siswa.

Proses kegiatan pembelajaran dah hasil gambar dicatat sebagai bahan analisis bandingan. Analisis yang dilakukan oleh peneliti adalah analisis situasi pembelajaran berupa catatan perilaku siswa selama pembelajaran dan analisis kondisi visual gambar. Kondisi pembelajaran dengan pola copy the master, pada pertemuan kesatu dan kedua belum menampakkan perbedaan situasi yang mencolok bila dibandingkan dengan situasi pembelajaran pola dikte. Begitupun hasil gambar yang dibuat oleh masing-masing siswa (kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen). Tetapi pada pertemuan pembelajaran lanjutan, suasana kelas copy the master lebih hidup dan ramai dengan obrolan tentang materi gambar maupun ekspresi siswa. Gambar hasil peniruan pun mulai banyak berubah, lebih kaya dengan tambahan objek gambar sesuai dengan ekspresi siswa masing-masing. Berbeda dengan siswa kelompok kontrol, mereka tampak lebih “tertib, diam, dan sunyi” ketika menyelesaikan karya. Hasil gambar pun tampak kurang variatif, terutama dalam hal bentuk yang digambar.

Pada pertemuan ke-8, peneliti melaksanakan perlakuan yang berbeda kepada kedua kelompok, yaitu memberi kesempatan siswa untuk menggambar tanpa tema dan tanpa contoh. Hasilnya di luar perkiraan peneliti. Gambar karya siswa PAUD yang menjadi sasaran penelitian, kembali ke gambar “konvensional” anak-anak Indonesia: gambar pemandangan dengan dua gunung kembar sebagai latar belakang!

Siswa pada kelompok kontrol (14 orang), 80% di antaranya menggambar pemandangan dengan latar gunung kembar dan matahari sepertiga berisi berkas sinar yang mengintip di antara dua gunung. Sisanya menggambar tema lain yang berbeda. Kelompok eksperimen (17 orang), 50% di antaranya menggambar pemandangan dengan latar gunung kembar, sisanya menggambar tema-tema lain yang beragam. Kenyataan ini membuktikan bahwa gambar pemandangan yang dilengkapi dengan gunung kembar sangat melekat sebagai ciri gambar yang biasa dibuat oleh anak-anak Bali. Bahkan bisa dibuktikan melalui pengumpulan gambar karya anak-anak Indonesia lainnya.

Saya menyimpan ribuan gambar hasil penelitian kecil tugas kuliah mahasiswa yang mengikuti mata kuliah yang saya ampu. Gambar-gambar tersebut didapatkan dari Jakarta, Bandung, sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, semua kabupaten di Bali, dan beberapa daerah di Lombok. Dalam kumpulan tersebut, karya anak-anak TK hingga SMA banyak sekali yang bertema pemandangan dengan latar gunung kembar. Bahkan, saya temukan juga dibuat oleh mahasiswa semester awal Jurusan Pendidikan Seni Rupa.

Apakah gambar pemandangan dengan latar gunung kembar itu arketif anak-anak Indonesia? Unsur bentuk gambar lain yang kerap muncul adalah matahari (: ada yang muncul di sela gunung, ada yang penuh bulat di atas gunung, ada juga yang muncul setengah atau sepertiga di sudut atas kiri atau kanan kertas) yang digambarkan memancarkan sinar, burung dengan bentuk dasar tanda silang, jalan lurus atau berkelok ke arah gunung, sering dilengkapi gambar tiang listrik yang berderet atau pohon-pohon semua digambar dengan sudut pandangan perspektivis. Hal lain yang biasa ditemukan, di kiri-kanan jalan digambarkan hal-hal lain yang beragam: ada kotak-kotak sawah diisi gambar rumpun padi dengan pola bentuk seperti mata panah terbalik, ada juga gambar danau atau sungai lengkap dengan perahu atau pemancing ikan di pinggirnya, atau gambar rumah khas yang dilengkapi vas bunga berderet. Gambar awan, yang dibuat oleh generasi sebelum ada ajaran Tino Sidin di TVRI Pusat, berbentuk deretan garis melengkung setengah lingkaran yang disusun berjenjang menyerupai pola segitiga tumpul, kini bentuknya seperti bentuk kapas meniru gaya awan dalam komik manga. Semua pola tersebut tampil seperti seragam pada semua gambar dari beragam tempat asal pembuat gambar.

Gambar pola gunung kembar memang arketif gambar anak-anak Indonesia. Anak-anak berkebutuhan khusus dengan spesifikasi retardasi mental pun menggambar menggunakan pola yang sama dengan kebanyakan anak-anak normal. Berulangkali surfing mencari gambar anak-anak di luar Indonesia, hingga kini belum menemukan gambar dengan pola pemandangan dengan latar gunung kembar. Hal ini semakin jelas mengindikasikan bahwa gambar pola gunung kembar adalah ciri khas gambar anak-anak Indonesia.