Saturday, 7 July 2012

DATABASE SENI RUPA BALI

Oleh Jajang Suryana


Kegiatan berbagai bidang seni rupa di Bali, sangat kaya dengan ragam bentuk dan fungsi benda (seni lukis, seni patung, seni bangun, seni kriya [berbahan: kayu, bambu, logam, lilin, gading, kulit telur, tanduk, kulit, rotan, ata, lontar, pandan, ingka, batik, keramik, anyam, batu lahar, batu marmer, batu padas, plastik, fiberglas, silikon, dan bahan tenun]). Di samping hal itu, istilah yang biasa digunakan dalam kegiatan-kegiatan tersebut pun beragam dan menunjukkan kekayaan pikir dan rasa para penggubahnya. Para pelaku kegiatan seni rupa tersebut, adalah seniman tradisional Bali yang menerima pelatihan keterampilan secara contohan, serta mendapatkan pengetahuan tentang nama-nama kegiatannya melalui pewarisan lisanan.

Banyak karya seni rupa yang dibuat oleh masyarakat Bali masa lalu yang telah hilang, terutama catatan keberadaannya. Sebagian besar benda-benda seni rupa tersebut adalah benda fungsional yang terkait dengan teknologi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari. Beberapa contoh di antaranya bisa disebutkan seperti rumah adat yang penuh dengan nilai estetis maupun simbolis, benda-benda kebutuhan rumah tangga (perkakas kehidupan yang sesuai dengan lingkungan masyarakat pegunungan, dataran, maupun pesisir pantai), benda profan maupun sakral, ataupun benda komoditi dan hiasan.

Dalam laporan-laporan hasil penelitian mahasiswa maupun dosen Jurusan Pendidikan Seni Rupa (JPSR) FBS-Undiksha, yang membahas seni tradisional Bali, pewarisan contohan dalam bentuk tindakan dan (juga) lisanan kerap tampak mengemuka dalam pembuatan benda-benda seni rupa tesebut. Dalam proses pewarisan tersebut, tuntunan berupa naskah atau rujukan tertulis tidak gampang ditemukan. Budaya pencatatan materi ajaran dalam lontar yang pernah hidup subur dikembangkan oleh masyarakat masa lalu, kini tidak berlanjut dalam bentuk pencatatan yang sejalan dengan zaman. Sejumlah hasil penelitian di sekolah-sekolah formal kesenian belum bisa memenuhi keperluan pendokumentasian yang mudah diakses oleh masyarakat umum. Sementara itu, penggubahan masih terus berlanjut. Karya-karya lama sebagian ditinggalkan karena dianggap tidak sejalan dengan tuntutan kondisi zaman. Karya-karya baru terus muncul semakin beragam, karena masyarakat seni rupa di Bali tidak pernah berhenti menggubah karya untuk keperluan pariwisata. Di samping hal itu, telah banyak pula bentuk-bentuk karya baru hasil percampuran pengaruh akibat kepentingan pasar, yang menunjukkan bahwa karya-karya masa kini akan menyebabkan semakin sulit dalam pengelompokan asal, bentuk, maupun pelakunya. Pendokumentasian benda-benda hasil karya masyarakat ini semakin menjadi penting terkait dengan kebutuhan ilmiah kesenirupaan maupun persiapan materi pewarisan antargenerasi. 

Satu contoh penting tentang kesadaran pendokumentasian adalah adanya Museum Subak di Kabupaten Tabanan, Bali. Di dalam museum ini disimpan dokumentasi peralatan pertanian tradisional masyarakat Bali. Ada tenggala, wuluku, cangkul, posong, dan peralatan pertanian sejenis lainnya. Tetapi, sejalan dengan percepatan waktu, ketika pertanian telah bersentuhan dengan teknologi mesin masa kini, tenggala tidak banyak digunakan lagi dan diganti dengan traktor yang dianggap lebih efektif dalam pemanfaatan waktu kerja. Begitupun peralatan lainnya yang terkait dengan keperluan menangani panen. Ani-ani telah menghilang seiring pola panen padi “pendek” (usia tanam maupun fisiknya) yang mengharuskan penggunaan sabit sebagai alat potong. Ketika mesin heulleur untuk mengolah padi dianggap lebih efektif dari sisi waktu dan tenaga, budaya mendaray (menjemur) padi dalam bentuk ikatan-ikatan pun menghilang, karena padi bisa langsung diolah dengan mesin perontok bulir padi. Begitupun lesung dan sundung (pikulan padi) semakin menghilang. Isi museum, tampaknya, tidak pernah bertambah, hanya mengandalkan benda koleksi yang telah ada sejak masa awal pembangunannya. Begitu pun ketertarikan masyarakat yang lahir kemudian terhadap keberadaan benda-benda teknologi hasil olah pikir dan rasa para leluhur, telah semakin menipis, karena perubahan kondisi teknologis maupun kondisi lingkungan.      

Upaya pendokumentasian benda-benda milik bangsa, prestasi anak bangsa, perlu segera dilakukan. Penyusunan ensiklopedia yang merupakan bentuk inventarisasi dan sekaligus dokumentasi kekayaan milik bangsa menjadi amat penting. Hal itu terkait dengan alasan bahwa begitu banyak benda hasil gubahan masyarakat Bali yang telah hilang tanpa dokumentasi. Sejumlah upaya pendokumentasian yang dilakukan oleh masyarakat Barat telah mengemuka sebagai “bentuk ancaman” dan sekaligus sebagai gambaran ketidakpedulian masyarakat Indonesia terhadap kekayaan dan kearifan lokal miliknya. Begitupun peristiwa pematenan jenis karya yang dianggap milik bangsa Indonesia, semakin sering dilakukan oleh negara Jiran. Di sebuah perguruan tinggi Australia telah terkumpul data visual sebagian benda-benda tradisional milik masyarakat Bali. Ada upaya sejumlah ilmuwan dari negara tetangga itu untuk membangun museum peralatan tradisional Bali melalui pengumpulan lukisan-lukisan tradisional Bali yang bertema kehidupan masyarakat Bali masa lalu yang di dalamnya digambarkan lingkungan latar keberadaan peralatan-peralatan tradisional sesuai masanya. Kepedulian masyarakat luar untuk mendokumentasikan kekayaan hasil olah pikir dan rasa masyarakat Indonesia, seharusnya menjadi pendorong kuat upaya pendokumentasiannya secara segera dan mandiri, bukan oleh orang lain!