Kegiatan berbagai bidang seni rupa di Bali, sangat kaya dengan ragam
bentuk dan fungsi benda (seni lukis, seni patung, seni bangun, seni kriya [berbahan:
kayu, bambu, logam, lilin, gading, kulit telur, tanduk, kulit, rotan, ata, lontar, pandan, ingka, batik, keramik, anyam, batu
lahar, batu marmer, batu padas, plastik, fiberglas, silikon, dan bahan tenun]).
Di samping hal itu, istilah yang biasa digunakan dalam kegiatan-kegiatan
tersebut pun beragam dan menunjukkan kekayaan pikir dan rasa para penggubahnya.
Para pelaku kegiatan seni rupa tersebut, adalah seniman tradisional Bali yang menerima pelatihan keterampilan secara
contohan, serta mendapatkan pengetahuan tentang nama-nama kegiatannya melalui
pewarisan lisanan.
Banyak karya seni rupa yang dibuat oleh masyarakat Bali masa lalu
yang telah hilang, terutama catatan keberadaannya. Sebagian besar benda-benda
seni rupa tersebut adalah benda fungsional yang terkait dengan teknologi
pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari. Beberapa contoh di antaranya
bisa disebutkan seperti rumah adat yang penuh dengan nilai estetis maupun
simbolis, benda-benda kebutuhan rumah tangga (perkakas kehidupan yang sesuai
dengan lingkungan masyarakat pegunungan, dataran, maupun pesisir pantai), benda
profan maupun sakral, ataupun benda komoditi dan hiasan.
Dalam laporan-laporan hasil penelitian mahasiswa maupun dosen
Jurusan Pendidikan Seni Rupa (JPSR) FBS-Undiksha, yang membahas seni
tradisional Bali , pewarisan contohan dalam
bentuk tindakan dan (juga) lisanan kerap tampak mengemuka dalam pembuatan
benda-benda seni rupa tesebut. Dalam proses pewarisan tersebut, tuntunan berupa
naskah atau rujukan tertulis tidak gampang ditemukan. Budaya pencatatan materi
ajaran dalam lontar yang pernah hidup subur dikembangkan oleh masyarakat masa
lalu, kini tidak berlanjut dalam bentuk pencatatan yang sejalan dengan zaman.
Sejumlah hasil penelitian di sekolah-sekolah formal kesenian belum bisa
memenuhi keperluan pendokumentasian yang mudah diakses oleh masyarakat umum.
Sementara itu, penggubahan masih terus berlanjut. Karya-karya lama sebagian
ditinggalkan karena dianggap tidak sejalan dengan tuntutan kondisi zaman. Karya-karya
baru terus muncul semakin beragam, karena masyarakat seni rupa di Bali tidak
pernah berhenti menggubah karya untuk keperluan pariwisata. Di samping hal itu,
telah banyak pula bentuk-bentuk karya baru hasil percampuran pengaruh akibat
kepentingan pasar, yang menunjukkan bahwa karya-karya masa kini akan
menyebabkan semakin sulit dalam pengelompokan asal, bentuk, maupun pelakunya.
Pendokumentasian benda-benda hasil karya masyarakat ini semakin menjadi penting
terkait dengan kebutuhan ilmiah kesenirupaan maupun persiapan materi pewarisan
antargenerasi.
Satu contoh penting tentang kesadaran pendokumentasian adalah adanya
Museum Subak di Kabupaten Tabanan, Bali. Di dalam museum ini disimpan
dokumentasi peralatan pertanian tradisional masyarakat Bali. Ada tenggala,
wuluku, cangkul, posong, dan peralatan pertanian sejenis lainnya. Tetapi,
sejalan dengan percepatan waktu, ketika pertanian telah bersentuhan dengan
teknologi mesin masa kini, tenggala tidak banyak digunakan lagi dan diganti
dengan traktor yang dianggap lebih efektif dalam pemanfaatan waktu kerja.
Begitupun peralatan lainnya yang terkait dengan keperluan menangani panen.
Ani-ani telah menghilang seiring pola panen padi “pendek” (usia tanam maupun
fisiknya) yang mengharuskan penggunaan sabit sebagai alat potong. Ketika mesin heulleur untuk mengolah padi dianggap
lebih efektif dari sisi waktu dan tenaga, budaya mendaray (menjemur) padi dalam bentuk ikatan-ikatan pun menghilang,
karena padi bisa langsung diolah dengan mesin perontok bulir padi. Begitupun
lesung dan sundung (pikulan padi)
semakin menghilang. Isi museum, tampaknya, tidak pernah bertambah, hanya
mengandalkan benda koleksi yang telah ada sejak masa awal pembangunannya.
Begitu pun ketertarikan masyarakat yang lahir kemudian terhadap keberadaan
benda-benda teknologi hasil olah pikir dan rasa para leluhur, telah semakin
menipis, karena perubahan kondisi teknologis maupun kondisi lingkungan.
Upaya pendokumentasian benda-benda milik bangsa, prestasi anak
bangsa, perlu segera dilakukan. Penyusunan ensiklopedia yang merupakan bentuk
inventarisasi dan sekaligus dokumentasi kekayaan milik bangsa menjadi amat
penting. Hal itu terkait dengan alasan bahwa begitu banyak benda hasil gubahan
masyarakat Bali yang telah hilang tanpa dokumentasi. Sejumlah upaya
pendokumentasian yang dilakukan oleh masyarakat Barat telah mengemuka sebagai “bentuk
ancaman” dan sekaligus sebagai gambaran ketidakpedulian masyarakat Indonesia
terhadap kekayaan dan kearifan lokal miliknya. Begitupun peristiwa pematenan
jenis karya yang dianggap milik bangsa Indonesia, semakin sering dilakukan oleh
negara Jiran. Di sebuah perguruan tinggi Australia telah terkumpul data visual
sebagian benda-benda tradisional milik masyarakat Bali. Ada upaya sejumlah
ilmuwan dari negara tetangga itu untuk membangun museum peralatan tradisional
Bali melalui pengumpulan lukisan-lukisan tradisional Bali yang bertema
kehidupan masyarakat Bali masa lalu yang di dalamnya digambarkan lingkungan latar
keberadaan peralatan-peralatan tradisional sesuai masanya. Kepedulian
masyarakat luar untuk mendokumentasikan kekayaan hasil olah pikir dan rasa
masyarakat Indonesia, seharusnya menjadi pendorong kuat upaya
pendokumentasiannya secara segera dan mandiri, bukan oleh orang lain!