Sunday, 21 November 2010

PEMBELAJARAN SENI RUPA BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Oleh Jajang Suryana




ABSTRAK

Seni sebagai alat pendidikan merupakan kunci kegiatan pembelajaran kesenian di sekolah umum. Tujuan utama pendidikan pada hakikatnya untuk mengantarkan anak menyelesaikan tahap-tahapan tugas perkembangannya. Perkembangan fisik, psikis, nalar, rasa, etika, perilaku, kesadaran sosial, kesadaran lingkungan, dan tata nilai, masing-masing pembinaannya dititpkan kepada bidang-bidang ajar tertentu. Semua bidang ajar tersebut hanyalah alat, bukan tujuan. Oleh karena itu, pembelajaran pendidikan seni, sama seperti pembelajaran pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan olah raga, pendidikan keilmualaman, dan bidang ajar pendidikan yang lainnya. Semua bidang kajian memiliki fungsi penting sendiri-sendiri dalam melengkapi pengembangan tugas perkembangan anak. Melalui bidang-bidang ajar tersebut, anak-anak akan mendapatkan pembiasaan yang menunjang penyelesaian masing-masing tugas perkembangannya.   

Kata kunci: tugas perkembangan; alat; tujuan



PENDAHULUAN

Masalah pendidikan seni rupa, di Indonesia, masih dianggap sangat sepele. Bukti tentang hal itu bisa dilihat berupa kebijakan Pemerintah dalam menentukan isi kurikulum pendidikan seni --pendidikan seni rupa merupakan bagian utama di dalamnya. Pendidikan seni rupa masih dianggap sebagai “selingan, pengisi waktu kosong”, sementara masalah seni secara umum belum juga dianggap sebagai masalah ilmiah. Kesenian belum dikategorikan sebagai bidang kajian keilmuan sebagaimana matematika, fisika, biologi, sosiologi, antropologi, hukum, ekonomi, dan sebagainya. Oleh karena itu, perhatian khusus kepada keberadaan kemampuan mengolah kegiatan seni yang dimiliki oleh masyarakat, baru ditanggapi sebagai suatu anugerah khusus dari Tuhan kepada orang-orang tertentu. Sementara pengajaran tentangnya masih dianggap sebagai hal yang sangat eksklusif, hanya untuk keperluan orang-orang tertentu, orang-orang yang memiliki pembawaan seni semata. Di sisi lain, penyelenggaraan pendidikan seni yang ideal masih dianggap sebagai “pendidikan yang amat mahal”, sementara “hasil utama kegiatannya belum setara dengan kepraktisan hasil pendidikan eksakta dan masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang umum”.  

Segala masalah yang berhubungan dengan bidang keilmualaman, seperti matematika, fisika, kimia, dan biologi, secara sombong ditempatkan dalam posisi bidang kajian utama yang paling rasional. Segala sesuatu yang rasional kemudian dihargai dengan nilai sangat tinggi. Bukti penghargaan tersebut bisa diperiksa dalam kenyataan kekeliruan yang lazim pada masa kini. Penyediaan jatah jam pembelajaran untuk bidang-bidang ajar yang “dianggap sangat rasional; yang dianggap bisa mengembangkan proses berpikir”, rata-rata sangat longgar. Bahkan, bisa dikategorikan, berlebihan. Ketidakadilan isi kurikulum itu telah menyepelekan sisi pengembangan kejiwaan siswa yang lain, sisi kreativitasnya, sisi sosialnya, sisi emosionalnya, sisi spiritualnya, sisi kesempurnaan kemanusiaanya.

Semua kemampuan kemanusiaan seseorang itu menuntut pemungsian semua belahan otak. Belahan otak, ternyata, memiliki fungsi yang berbeda. “Belahan otak kiri mengendalikan sisi tubuh kanan dan belahan otak kanan mengendalikan sisi tubuh kiri” (Atkinson, et. al. 1987: 62). Tahun 1861, seorang antropolog Perancis, Paul Broca, memeriksa otak seorang pasien yang menderita kehilangan kemampuan berbicara. Dia menemukan kerusakan pada bagian sebelah kiri tepat di atas celah lipatan frontal, yang kini disebut sebagai daerah Broca, yaitu daerah produksi suara ucapan (Atkinson, et. al. 1987: 62). Kondisi kerusakan itu kerap terjadi pada orang-orang yang belahan otak kirinya dominan (bukan kidal kiri). Sekalipun ada sementara orang yang memiliki pusat ujaran pada bagian belahan otak kanan, atau ada juga yang pusat ujarannya terbagi pada dua bagian belahan otaknya, orang-orang yang normal mempunyai bagian fungsi bahasa dalam otak belahan kirinya. Di samping sebagai pusat bahasa, belahan otak kiri memiliki fungsi kalkulasi, sedangkan belahan otak kanan memiliki fungsi kemampuan konstruksi spatial dan kemampuan nonverbal (Atkinson, et. al. 1987: 64).

Bukti hasil penelitian menunjukkan bahwa “kedua belahan otak itu bekerja dalam cara yang sangat berbeda. Belahan kiri mengendalikan perilaku membaca, menulis, dan berhitung. Belahan ini bekerja dalam suatu cara yang logis dan analitik, berfokus pada setiap rincian dan mengamati ciri-ciri individualistik dan bukan pola keseluruhan. Sebaliknya, belahan otak kanan memegang peranan khusus dalam kemampuan musik dan kemampuan artistik, dalam berkhayal dan bermimpi, dan dalam mengamati pola geometrik yang rumit. Persepsinya holistik (menyeluruh), dan efektif, khususnya mengenai tugas yang membutuhkan visualisasi mengenai hubungan. Belahan kanan juga memperlihatkan lebih banyak emosi dan impulsif dibandingkan dengan belahan kiri” (Atkinson, et. al. 1987: 70). “Individu yang sangat logis, analitik, dan verbal mempunyai fungsi belahan otak kiri yang sangat efisien, sedangkan mereka yang luar biasa sifat holistiknya, musikal, intuitif, dan impulsif mempunyai kelebihan yang seimbang pada belahan otak kanannya” (Atkinson, et. al. 1987: 70).

Kreativitas terkait dengan kemampuan otak seseorang. Mengacu kepada fungsi belahan otak kiri dan kanan yang berbeda, maka kreativitas, pada dasarnya, bisa muncul pada setiap orang. Terbukti di lapangan, begitu banyak hasil gubahan terkait dengan bidang hasil fungsionalisasi belahan otak kiri maupun kanan. Banyak karya kebahasaan yang telah dihasilkan. Begitupun karya yang sifatnya kalkulatif seperti pada rumus matematika, fisika, dan kimia yang sangat logis, terinci, dan analitik. Di samping itu, sudah pasti, banyak karya seni yang telah dihasilkan. Banyak juga karya desain konstruktif yang holistik, yang mengandalkan fungsi ruang spatial pada belahan otak kanan.

Belum disadari oleh banyak orang, bahwa proses penggubahan segala sesuatu bertalian erat dengan begitu banyak hal, tidak sekadar dengan masalah pikir semata. Sebagaimana karya matematika, karya seni lahir melalui fungsionalisasi pikir dan rasa seseorang. Perimbangan peranan pikir dan rasa dalam penggubahan apa pun, sulit dikalkulasi. Sangat menarik dikemukakan di sini, apa yang dikumpulkan Brewster Ghiselin (1983) tentang proses kreatif beragam orang dari berbagai bidang kajian. Bunga rampai yang disusun oleh Ghiselin ini sangat penting untuk menunjukkan bahwa proses kreasi semua bidang kegiatan memiliki jalur yang sama, bahkan proses yang sama. Proses kreasi rumus fisika, kimia, matematika, sama dengan proses kreasi dalam penggubahan karya seni lukis, sastra, musik, dan lain-lain.

Satu sikap menyepelekan golongan masyarakat seni tertentu telah lama tumbuh dan dipelihara oleh para seniman akademisi. Sikap yang merupakan hasil comotan dari cara berpikir dan bertindak teoretisi seni Barat itu, telah meracuni masyarakat seni Indonesia. Mereka melecehkan kedudukan seniman otodidak, seniman “kampung”. Para seniman di luar kelompok akademisi, disebut oleh mereka sebagai “artisan (istilah pinjaman), perajin, tukang”, dan segala nama sebutan yang kurang terhormat. Padahal, begitu banyak kearifan lokal yang digubah oleh para tukang, para kipu, para juru, para pendahulu, para leluhur, yang hingga kini belum dapat tergantikan kedudukan nilai maupun fungsinya. Tanpa melalui sekolah formal, tanpa mengolah teori seni yang banyak diagungkan oleh para akdemisi, mereka bisa menghasilkan prestasi hidup yang sangat ramah lingkungan.

Berapa banyak peralatan hidup sehari-hari masyarakat kita yang telah dibuat berdasarkan kepekaan mereka dalam merespon lingkungan. Mereka bisa membuat jembatan dan rumah tradisional tanpa pernah belajar di Fakultas Arsitektur dan Sipil. Mereka bisa membuat perkakas rumah tangga yang ramah lingkungan tanpa pernah belajar di Fakultas Desain. Mereka pun bisa melahirkan aneka kearifan lainnya tekait dengan kepekaan hitungan (jengkal, depa, hasta, dan sejenisnya), menemukan ramuan tradisional untuk upaya penyembuhan, membuat sarana transportasi laut yang hebat seperti perahu Phinisi, membuat peralatan pertanian seperti tenggala, garu dan cangkul, atau membuat karya yang penuh dengan kelembutan hati dan perbuatan seperti batik, tembang, musik, wayang, topeng, atau pun cerita penuh petuah (sastra dan tonil). Semua kearifan tadi masih belum banyak yang diindahkan sebagai kebanggaan prestasi bangsa, atau sekadar bahan ajar yang diwariskan kepada generasi muda. Bahkan, pencatatannya pun tidak banyak, atau tidak ada!

Segala prestasi hidup yang diejekkan oleh para seniman Barat sebagai hasil kegiatan waktu luang itu, sebetulnya adalah hasil kegiatan sungguh-sungguh, sepenuh hati, lengkap dengan kecintaan terhadap lingkungan, yang melahirkan karya-karya prestisius. Belum ada temuan baru sejenis rumah Gadang, rumah Batak, rumah Toraja, rumah Betawi, rumah Sunda, rumah Joglo, rumah Bali, selain upaya modifikasi atau penambahan-penambahan asesorisnya. Tidak ada peribahasa baru yang dilahirkan pada masa kini sebagai refleksi positif atas temuan-temuan penanda, simbol, ataupun gambaran kondisi lingkungan. Belum lahir konsep tradisi baru yang kental mencirikan suatu daerah tertentu, selain melanjutkan apa yang pernah digubah dan dikonsep olah para leluhur.

Penelitian tentang keterkaitan kegiatan seni dengan kecerdasan seseorang mulai banyak dilakukan orang. Seni sangat mempengaruhi aktivitas otak kanan, yang selama ini penggunaannya belum optimal. Tiadanya pelajaran kesenian bisa menghambat perkembangan otak anak-anak (Williams, 1977). Orang-orang yang memiliki daya cipta tinggi --peningkatan daya cipta bisa dilakukan melalui kegiatan-kegiatan seni-- memiliki kesempatan “hidup” yang lebih lama ketimbang yang hanya sekadar memiliki kecerdasan tinggi. Daya cipta memerlukan lebih dari sekadar kecerdasan (Paat, 1987).

Tentang pengoptimalan fungsi otak kanan, Primadi Tabrani (2006) merumuskannya dalam Limas Citra Manusia. Anugerah Tuhan kepada setiap manusia, tulis Primadi, adalah tiga kemampuan primer: kemampuan fisik, kreatif, dan rasio. Dan, kini, setelah lama orang berbicara tentang otak kiri dan kanan, talah muncul pula kondisi lain yang terkait dengan keberadaan otak tengah. Semuanya bertalian dengan kemampuan manusia dalam mengolah rasa, pikir, dan kesadaran atas lingkungannya, termasuk aktivitas seni di dalamnya.


PEMBELAJARAN SENI RUPA

Materi ajar seni rupa difungsikan sebagai media ekspresi, yaitu sebagai alat untuk melatih pengalaman estetis bagi siswa. Siswa SD dan SMP adalah siswa yang --secara umum-- bukan calon seniman. Oleh karena itu, mereka mendapatkan materi ajar seni rupa sebagai media pengalaman estetis, yang akan melengkapi pengalaman mereka dalam mengolah rasa, pikir, dan kesadaran terhadap lingkungannya. Melalui kegiatan ini anak-anak bisa mendapatkan kesempatan menyatakan perasaan (berekspresi, olah rasa), sehingga mereka akan memiliki dasar kemampuan mengungkapkan pendapat (olah nalar). Lewat aneka kegiatan seni pula bisa dikondisikan pengembangan kemampuan dasar --khusus untuk anak-anak kelas rendah-- psikomotorik (gerak tangan, lengan, kaki, tubuh, dsb.), cerap (lihatan, amatan), cipta (gagasan), sosial (hubungan antarteman dan lingkungan), pikir (nalaran), dan sikap penghargaan. Pengembangan pembawaan seni, sekaligus juga pengembangan kepekaan terhadap nilai artistik dan estetik, dapat terlaksana melalui kegiatan pembelajaran bidang seni ini.

Dunia anak adalah dunia bermain. Melalui kegiatan bermain, anak-anak belajar mengenal dan merasakan peranannya dalam kehidupan. Mereka bermain peranan sebagai dokter, guru, polisi, orang tua, anak, jutawan, agamawan, bahkan kadang-kadang menjadi penjahat. Semua permainan itu sangat bermanfaat bagi anak. Bermain, dalam konteks kegiatan pembelajaran, adalah kegiatan yang sungguh-sungguh dilakukan sepenuh hati, tidak sekadar memenuhi kesenangan semata. Oleh karena itu, pada dasarnya, semua kegiatan pembelajaran, harus dikondisikan dalam situasi bermain, sehingga semua kegiatan yang dihadapi anak akan menjadi “kebutuhan”, bukan menjadi beban. Dalam kegiatan bermain juga selalu muncul bentuk-bentuk keterpaduan masalah. Hal ini mengisyaratkan bahwa pada kenyataannya, sebuah kegiatan pembelajaran selalu bisa mengandung keterpaduan antarbidang ajar, yang serumpun (bidang kesenian, misalnya) maupun lintas bidang (seni-agama; seni-pengetahuan alam; seni-etika, dsb.).

Pada semua kegiatan pembelajaran, untuk semua bidang ajar, memungkinkan penggunaan metode-metode pembelajaran yang umum. Metode ceramah, diskusi, tanya jawab, pemberian tugas, dan kerja kelompok misalnya, bisa saja digunakan dalam mengajarkan semua materi ajar. Tetapi, mata ajar-mata ajar tertentu menuntut kekhususan dalam kegiatan pembelajarannya. Contohnya mata ajar KERTAKES, kini Seni Budaya (dan Keterampilan).

Materi ajar KERTAKES terdiri atas materi seni rupa dan materi seni lainnya, serta materi yang menuntut keterampilan siswa. Dalam kegiatan pembelajaran seni rupa kita mengenal beberapa pendekatan yang mengacu kepada konsep belajar melalui kegiatan bermain.  Untuk melaksanakan belajar melalui kegiatan bermain, kita memerlukan lingkungan sebagai alat pembangkit minat dan pemancing kreativitas (daya cipta) anak. Cara membangkitkan minat dan kreativitas anak bisa dilakukan dengan pendekatan inspiratif dan pendekatan permisif. Kearifan lokal milik masyarakat adalah salah satu aset bahan ajar yang tak akan pernah habis.

Pendekatan inspiratif merupakan cara membangkitkan motivasi berkarya pada anak dengan menghadirkan inspirasi atau ilham. Guru bisa menceritakan suatu peristiwa rutin seperti hari raya, hari kelahiran, maupun peristiwa lain yang kejadiannya berulang pada waktu yang tetap. Guru juga bisa bercerita tentang sesuatu yang paling menarik perhatian anak. Boneka mainan kesayangan, mobil-mobilan baru, baju baru, sepatu hadiah ibu, tas biru kesukaan, dan aneka contoh topik yang berkaitan langsung dengan diri anak, bisa dijadikan sumber inspirasi bagi anak. Guru dituntut mampu memberi inspirasi kepada semua anak. Tetapi pada dasarnya, pendekatan inspiratif ini tidak selalu harus berbentuk kegiatan bercerita.Guru bisa juga melakukan sumbang saran dan memberikan alternatif, misalnya.Cara lain yang bisa digunakan dalam memancing kreativitas anak adalah dengan menggunakan pendekatan permisif. Pendekatan ini lebih banyak memberi kebebasan berkarya kepada anak sesuai dengan keinginan dan pandangan anak. Meskipun dianggap terlalu liberal oleh sementara ahli pendidikan di Indonesia, pendekatan permisif ini dalam kegiatan pembelajaran seni rupa akan sangat menolong anak dalam mendapatkan kebebasan berkreasi. Sikap permisif seorang guru tidak berarti membiarkan anak tanpa kendali. Kebebasan dimaksud adalah kebebasan terbimbing. Dalam sikap keserbabolehan, guru tetap menjadi pengarah, fasilitator, pembimbing, dan teman kegiatan anak.

Daya cipta, lebih umum dikenal dengan sebutan kreativitas, keberadaannya masih kurang mendapat penghargaan. Hurlock (1978) menyebutkan banyak hal yang terkait dengan alasan pengabaian masalah kreativitas, lima peramasalahan penting di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, keyakinan tradisional yang menyatakan bahwa kreativitas yang biasa disebut “kegeniusan” dianggap sebagai sesuatu yang diturunkan. Oleh karena itu, dari keyakinan tersebut muncul anggapan bahwa “tidak ada yang bisa dilakukan untuk membuat orang kreatif”. Kedua, karena yang kreatif itu diyakini jumlahnya sedikit, penelitian ilmiah lebih ditujukan kepada sesuatu yang bisa mempengaruhi sebagian besar penduduk saja. Ketiga, penghargaan yang miring terhadap nilai kreativitas itu terkait juga dengan adanya sejumlah kasus di lingkungan masyarakat bahwa seseorang yang kreatif cenderung menunjukkan perilaku berbeda dari yang lain. Di sini, dalam pembinaan daya cipta, proses menjadi penting!

Penilaian karya siswa, prestasi siswa, perilkau siswa, tidak sekadar diukur dengan satu ukuran yang kaku. Hasil akhir kegiatan kerap menjadi untutan utama penilaian. Tetapi hal itu sangat merugikan keberadaan siswa. Jika penilaian hasil akhir saja yang diutamakan, jejak kerja yang pernah dilakukan oleh siswa tidak pernah tercatat. Padahal, semua kegiatan kehidupan adalah sebuah proses menuju ke satu titik tertentu. Dan, secara keseluruhan, kegiatan siswa selama mengikuti pembelajaran di sekolah, adalah sebuah perjalanan proses. Proses itu melewati shelter-shelter semester, tingkatan kelas, yang akhirnya sampai pada penentuan kelulusan siswa. Jika proses pelulusan saja yang diukur, yang diutamakan pemeriksaannya, filosofinya menjadi lain. Kondisi inilah yang sering kita saksikan dalam pengeliminasian seorang siswa melalui peristiwa ujian nasional. anyak siswa yang tidak memiliki harga apapun ketika siswa yang bersangkutan tidak bisa lolos dalam menyelesaikan soal-soal ujian akhir.


PENUTUP  

Pendidikan yang mengutamakan proses, menuntut penetapan cara pandang yang berbeda dengan cara menilai yang sekadar mengutamakan hasil akhir. Dalam pola penilaian yang mengutamakan hasil akhir, ada penghilangan jejak hidup yang pada dasarnya adalah prestasi-prestasi yang menyertai lintasan waktu belajar siswa. Ukuran keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan proses pembelajaran yang dilaluinya adalah penghargaan terhadap tahap-tahap kegiatan mereka.

Hasil pembelajaran seni rupa yang kurang mementingkan proses penyadaran siswa atas lingkungannya akan melahirkan masyarakat yang kurang peduli terhadap prestasi hidupnya. Jejak-jejak prestasi yang pernah diraih oleh lingkungannya sama sekali kurang mendapat perhatian. Padahal semua tindakan adalah proses yang tidak tiba-tiba sampai di satu tujuan tertentu. Oleh karena itu, kesadaran akan sebuah proses dan jalan panjang yang dilewati dalam proses itu, seharusnya ditanamkan kepada siswa, agar siswa memiliki rasa penghargaan atas proses kerjanya, sekaligus proses kerja yang pernah dilakukan para pendahulunya.



PUSTAKA RUJUKAN

Alisjahbana, S. Takdir (Ed.). 1983. Kreativitas. Jakarta: Dian Rakyat
De Bono, Edward. 1989. Berpikir Lateral. Diindonesiakan oleh Sutoyo. Jakarta: Erlangga
Garha, Oho. 1979. Pendidikan Kesenian Seni Rupa II Untuk SPG. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Atkinson, Rita L. (et. al.). 1987. Pengantar Psikologi. Diindonesiakan Agus Dharma (Ed.). Jakarta: Erlangga
Ghiselin, Brewster. 1983. Proses Kreatif. Jakarta:
Gunarsa, Singgih D. dan Y. Singgih D. Gunarsa (Ed.). 1986. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Hurlock, Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak. Jilid 2. Diindonesiakan oleh Meitasari Tjandrasa. Jakarta: Erlangga
Lowenfeld, Viktor & W. Lambert Brittain. 1970. Creative and mental Growth. London: The Macmillan Company
Wilson, Marjorie and Brent Wilson. 1982. Teaching Children to Draw. Engelwood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.